Uncategorized

Cerpen *Bunga mekar di musim Pemilu*

*Bunga mekar di musim pemilu*

Siang menjelangsore terlihat pemandangan alam pegunungan begitu mempesona, tak terasa panasdan gerah, yang ada hanyalah tiupan angin yang sejuk dari arah pohon-pohon teh yang tersusun rapih. Tak banyak kendaraan yang melintas disini selain kendaraan-kendaraan milik para petani perkebunan yang mengangkut hasil pertanian mereka. Ya memang jalan ini tidak dilalui kendaraan angkutan umum.

Alangkah beruntungnya aku ini terlahir dan dibesarkan di desa yang damai dan kaya dengan hasil bumi, desa penghasil sayur-sayuran.  Bukan real estate yang berhimpitan, yang nampak hanyalah hamparan kebun kol, tomat, cabai, kentang, jagung , wortel dan juga teh. Tidak ada polusi udara disini, sangat berbeda dengan kondisi kota besar dimana aku kuliah dulu. Sepuluh tahun aku merasakan kebisingan macetnya kendaraan di tengah kota, berbagai polusi telah memenuhi pendengaran dan pernapasan, entah itu dari berjubelnya kendaraan maupun dari pabrik-pabrik textile yang berjejer.

Banyak kenangan indah tersimpan rapi di tempat ini, kala ku masih kecil hingga remaja dulu bersama teman-teman. Kadang terlintas di pikiran ini seandainya saja waktu bisa diputer kembali.

“Silahkan diisi buku tamunya pak, bu!” sahut seorang perempuan duapuluh taunan yang  mempersilahkan masuk di sekretariat Panwascam.

“Iya terimakasih… Maksud kedatangan kami berdua ke sini pertama ingin memperkenalkan bahwa kami adalah agen sosialisasi pilkada yang bermitra dengan KPU, untuk selanjutnya ingin kerkoordinasi dengan pihak panwascam di sini tentang agenda kami ke depan.“

“Benarkah dia…..” Pandanganku terperangkap di papan struktur organisasi, terlihat satu photo yang tiba-tiba mengungkit memori masa lalu, membuatku gagal fokus dalam obrolan.

Sementara teh Eci panjang lebar ngobrol dengan orang panwascam, aku bangkit, kudekati photo itu. Hatiku terhenyak menyadari kalau ternyata yang kulihat adalah masalaluku yang tak pernah bertemu lagi sejak 20 tahun  yang lalu…

***

“Kamu itu ya… orang tadi lagi bertamu ngobrol sama panwas kok malah mondar-mandir plango-plongo, liatin apa sih…. ?” ketus teh Eci ditengah perjalanan pulang.

“Heeee… gini teh Ci, tadi aku liat di organigram ada poto mantan aku loh, Kami ga pernah ketemu udah 20 tahun ini, duh ada peluang ketemu nih….” timpalku dalam canda.

“Hmmmm, curiga mau celebek-celebek nih.”

“Ya gak mungkin lah, anak-anaknya juga udah pada gede mungkin, nikahnya aja udah dari dulu.” Pungkasku menyudahi obrolan  karna tak terasa udah nyampe depan rumah teh Eci.

“Gak mampir dulu nih?”

“Ga ah makasih udah sore. Terus agenda kita mau k mana dulu nanti?” tanyaku sembari memutar arah sepeda motorku.

“Emmmh koordinasi ke PPK udah, ke Panwas udah, ya tinggal sosialisasi terserah mau ke mana dulu? Mau ke ibu-ibu PKK dulu, Majlis Ta’lim, atau ke Sekolahan….?”

“Ya udah nanti deh kontek-kontek aja ya!”

“Sip deh, makasih ya udah dianterin.”

“Sama-sama.” jawabku sambil kutancap gas.

“Udah jam lima lebih nih,” gumamku menyadari belum shalat ashar. Diperjalanan pulang kusempatkan mampir disebuah mesjid yang terlihat cukup bersih.

***

“Beres bos? “ kemunculan Yoga mengejutkanku di ruang kerja.

“Nih tinggal print out, coba cek dulu barangkali ada salah ketik.” kutunjukan format surat tugas di layar laptop yang kubuatkan buat perjalanan dinas luar dia.

“Udah lah percaya , ayo cepet mau berangkat nih.” Yoga nampak terburu-buru.

“Eh Ga kamu kan PKD ya, berarti tau dong Susan?” tanyaku memancing info tentang seseorang yang photonya kulihat di papan struktur organisasi Panwascam”.

“Susan jahe? ya tau lah, ngapain bos nanyain dia? ayo ada apa….?” Yoga terlihat agak ngeledek.

“Minta no WA nya sini! ada perlu nih.” pintaku sambil kuambil secarik kertas yang baru keluar dari mesin printer.

“Emh curiga nih…..” timpal Yoga sambil keluarin HP dari saku celananya.

“Udah jangan banyak omong aku ada perlu sama Dia, kalo ga ngasih ni surat tugas gak bakalan ditandatangan nih.” Ancamku sambil kutinggalkan ia menuju ruang Kepala Sekolah.

“Iya-iya ni dikirim, pake ngancam segala.” Yoga mengikuti hendak menemui Kepala Sekolah.

Gak terasa udah empat jam lebih di meja kerja berhadapan dengan laptop ngurusin administrasi sekolah yang gak ada habis-habisnya, “perih juga nih mata.”

***

“Sekali lagi ibu-ibu, jadilah pemilih yang cerdas, pandai memilah pintar memilih! jangan mau di iming-iming,  jangan mau diomong-omong, jangan mau diamang-amang, tolak politik uang bu! Ibu-ibu boleh saya tanya? Apa bedanya Pilkada sama Pilkabe coba….? nampak Ibu-ibu PKK yang hadir kebingungan, tak ada yang menjawab selain cengengesan lirik kanan-kiri.

“Pilkada itu bu kalau jadi suka lupa, nah Pilkabe mah kalau lupa suka jadi, bener gak bu….? hee becanda dikit boleh kan…?” gemuruh suara tawa memenuhi ruang bale desa.

Bukan tanpa alasan kuselipkan humor seperti itu di materi sosialisasi, sindiran itu sengaja kukemas untuk menyadarkan masyarakat supaya waspada, agar menjadi pembelajaran dan waspada akan rayuan-rayuan gombal para calon anggota Dewan ataupun calon Kepala daerah yang selalu mengumbar janji-janji manis di mana-mana. Pernah suatu saat calon anggota dewan dari salah satu parpol berkampanye di satu desa, dia berjanji akan membangun jembatan yang lebar dan kokoh jika terpilih nanti, tak disangka dari peserta yang hadir ada yang nyeletuk bahwa di desa ini tidak ada sungai. Mendengar hal itu sang calon anggota Dewan tersentak merasa malu, untuk mengurangi rasa malunya dia melanjutkan pembicaraannya bahwa kalaupun tak ada singai di desa ini maka akan saya buatkan pula sungainya sekalian. Sontak semua yang hadir tertawa riuh. Lha yang namanya calon anggota dewan ya harus pintar lah. Asal jangan pintar mengelabui rakyat.

“Mungkin itu saja ibu-ibu yang bisa saya sampaikan, Wallahulmuafiq illa aqwamithariq Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh……” kuahiri pembicaraanku yang telah berlangsung cukup lama bergantian dengan rekanku teh Eci.

“Hmmmm asyik juga nih kerjaan sosialisasi kaya gini bisa nambah kenalan.” Ujar teh Eci diperjalanan sebelum kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.

***

“ping…” kulihat WA masuk dari nomor baru.

“Jadi kapan nih mau sosialisasi di sini?” Ternyata Susan, nampak photo profilenya kuhafal betul wajahnya.

“Hai Susan apa kabar? Ada jadwal pengajian rutin ibu-ibu hari apa aja?”

“Yang pasti mah tiap hari jum’at sih abis jumatan, ditunggu ya kalomau ke sini kabarin dulu.”

“Iya Insya Allah.” Seneng rasanya bisa japrian sama Dia.

“Bos ada salam tuh dari mantanmu.”Tiba-tiba suara Yoga mengagetkanku dari arah belakang.

“Ah kamu ngagetin aja, mantan yang mana?Aku belum paham siapa yang dimaksud Yoga.

“Euh pake pura-pura lagi, kamu kan minta no WA nya kemarin.”

“Ups Susan makdudnya… so tau luh mantan apaan? Nih lagi chatingan dari tadi, hee.” Kutinggalkan Yoga sambil tertawa kecil.

“Busyeeeet langsung samber aja boss.”

***

“Silahkan Pak Herman masuk!”

“Makasih pak, maaf terlambat nih.” Ucapku sambil bergegas menempati tempat duduk yang masih kosong, nampak pa  Komisioner KPU di depan sedang menyampaikan evaluasi terahir terkait kinerja Agen Sosialisasi Pilkada. Beliau juga menyampaikan apresiasi atas kerjasama kami selama ini.

“Iya gak apa-apa, jadi begitu rekan-rekan Gensos semuanya,  kami haturkan banyak terimakasih setelah lima bulan menjalankan tugas, bermitra bersama Kami,mungkin selama itu pula bapak-ibu mengalami luka-liku, pahit-manisnya perjalanan tugas, jadikanlah kenangan, cerita, dan sejarah demokrasi kita.” Begitulah salah satu ungkapan Dr. H. Diding Bajuri Divisi SDM dan Sosialisasi yang belakangan kuketahui ternyata aku pernah jadi muridnya ketika di sekolah dasar, namun hanya setahunan,  waktu itu tempatku sekolah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain mengikuti ayah bertugas. Hal itu semua kuketahui saat aku dengan Pak Haji ngobrol di loby Luxuary Hotel bulan-bulan kemarin pada kegiatan KPU di Bandung. Aku tak menyangka Pak Haji yang dulunya mengajar di Sekolah dasar kini telah menjadi Pejabat penting di Universitas dan merangkap sebagai Komisioner KPU.

“Hai Herman…. mau terus kemana nih buru-buru amat? pada kemana yang lain?”

“Eh Pa Dosen, nih mau nyusul teman-teman tuh lagi pada ngumpul ngobrolin rencana buat acara perpisahan kita nanti.” Jawabku sambil terus melangkah menuju salah satu kafe tak jauh dari komplek KPU.

“Sedih juga ya Her kalo denger kata perpisahan, yu kita gabung.” Sahut Pak Yuda sembari menepuk pundakku, Bliau adalah seorang dosen salah satu Universitas di kota ini, bukan materi yang menjadi kejaran Pak Yudi, di usianya yang sudah menginjak 50 tahunan beliau bergabung di Gensos ini, panggilan jiwalah yang membuat beliau rela menyisihkan waktu dan tenaganya guna mengabdi pada negara, ikut serta mensukseskan tahapan pesta demokrasi. Terasa nuansa haru disaat kami semua sebagai team work yang sedang hangat-hangatnya bersahabat kini harus berpisah dan kembali pada pekerjaan pokok masing-masing.

***

Pagi ini penampilanku terasa spesial dengan stelan putih-hitam lengkap dengan dasi. Kehadiranku di tengah-tengah para pengawas pemilu senior terasa sedikit kaku meski ada beberapa orang diantara mereka sudah aku kenal sebelumnya. Terutama satu orang perempuan berparas cantik yang sejak aku datang terlihat beberapa kali menatap ke arahku dengan senyuman manis dan sedikit menggetarkan hati ini.

“Selamat bergabung di keluarga besar Panwascam ya!” Ucap Dia menghampiri dari arah belakang, aku hanya tersenyum sambil mengulurkan tangan bersalaman.

“Gak nyangka ya Her kita dipertemukan lagi dalam kondisi seperti ini,” lirihnya suara itu seolah melemparkan ingatan ini ke masa lalu, di masa kami berdua pernah bersama menjalin rasa.

“Iya, masih dalam perasaan yang sama setelah 20 tahun gak ketemu.”Kuberanikan diri untuk mengungkit memorinya, sembari menyelidik masih adakah perasaan yang sama di hatinya?

“Heee, Kamu masih tetap aja begitu Her.” Kalimat itu menghentikan percakapan, Susan bergegas menghampiri rekannya yang lain dan bersiap memulai acara pelantikan Pengawas Pemilu baru.

Dengan hidmatnya kuikuti kegiatan ini hingga selesai bersama rekan-rekan Panwas baru lainnya, sebut saja namanya Didi, Subhan, dan satu orang perempuan cantik bernama Dea. Meski baru bertemu tapi ikatan persahabatan kami sudah terasa mencair, mungkin karna kami berempat senasib atau berstatus sama yaitu anggota Panwas baru, terlebih dengan Dea sejak sebelumnya kami telah saling kenal, aku dan Dea kebagian jadwal interview di hari yang sama seminggu sebelumnya.

***

Teriknya matahari di siang bolong terasa begitu menyengat, ditambah pantulan hawa panas dari aspal badan jalan. Terbakar rasanya tubuh ini, memang makin sini suhu udara kota Majalengka semakin panas sejalan dengan makin pesatnya pembangunan di Kota ini, pelebaran jalan mau tidak mau harus mengorbankan pohon-pohon perindang jalan ditebang habis, nyaris tak ada tempat berteduh dipinggir jalan kini.  Belum lagi pembangunan Bandar Udara Internasional Kertajati yang memakan ratusan hektar pesawahan. Bukan Cuma itu bendungan besar Jatigede Sumedang yang berbatasan dengan kota ini ikut menyumbang pula pemanasan global, dan terahir kudengar rencana pembangunan Bendungan Kadumalik yang akan memakan lahan beberapa Desa di dua Kecamatan Kota ini juga akan segera terealisasi.

Cukup jauhnya jarak Kabupaten dari Desa terkadang membuatku malas untuk mengurus kebutuhan administrasi seperti sekarang ini, Kami berdua mendatangi Kantor Polres, RSUD, dan Pengadilan untuk membuat SKCK, Keterangan Bebas Narkoba, dan Pernyataan tidak pernah terlibat tindak Pidana.

Untuk sedikit menghindar panasnya matahari kuambil arah jalan pulang alternatif lewat perkampungan, jalur ini lumayan agak sejuk, banyak pohon-pohon rindang di sepanjang kiri-kanan jalan, meski jalan agak sempit dan sering melawati terjalnya bebatuan dan tanah tak beraspal. Untung saja musim kemarau, kalau saja musim penghujan mungkin saja roda ini sering terselip dan terpeleset karna licinnya tanah merah.

Kemunculan kendaraan lain dari arah berlawanan di tikungan tajam tiba-tiba mengagetkan dan membuat laju kurem mendadak.

“Coba kalau tak ada tas diantara kita pasti beda deh sensasinya.” Ucapku melepas ketegangan.

“Iiih kamu nakal sih…”protesnyasembari melepas cubitan di pinggang kiri.

“Iya becanda atuh ih,” kan pengen juga boncengannya kayak Dilan tuh… gumamku dalam hati.

Terlihat di spionase senyuman manisnya yang khas tertahan rasa malu membuat detak jantung ini berhenti sejenak.

“Hmmm… masa kita gak makan dulu atau apa ke, emang gak laper?”

“Nggak ah, kan tadi udah jajan mie bakso,takut kesorean.” Sejujurnya dalam hati ini tak mau kutolak ajakan Dea, ingin rasanya beristirahat di warung pinggir jalan sambil menghabiskan hari bersamanya, tapi entahlah yang terucap justru ku menolak ajakannya.

“Ya udah atuh, makasih aja y!.”

“Sama-sama.”

“Hati-hati bawa motornya ya…. ngantuk nih, boleh tidur ga?”

“Sok aja kalo bisa mah.” Terasa beban kendaraan sedikit berat ke kanan dan pegangan tangannya di pinggiran jaket melemah.

“Eh beneran kamu tidur…? awas jatuh loh!”

“Hmmmm……”

***

Terlihat jarum pendek jam dinding mengarah ke angka sebelas, jemariku belum juga berhenti menari-nari di atas keyboard laptop sejak pagi. Entah sampai kapan kupertahankan pekerjaan ini, kadang rasa jenuh melanda, bukan tak ingin kucari pekerjaan lain yang berpenghasilan lebih pantas. Tapi entah kenapa terasa berat setiap kuberpikir untuk menyudahi pengabdianku sebagai tenaga honorer di lembaga ini. Ya sudahlah mungkin suratan takdirku seperti ini, toh kebahagiaan itu tidak hanya dinilai dari gaji besar saja, yang penting ikhlas saja dulu Allah maha tau segalanya, Allah juga yang akan mencukupi rijki hamba-Nya.

“Her sini temenin aku di Sekre!” senang rasanya baca WA dari Susan. Segera kusudahi pekerjaanku yang tak pernah ada tuntasnya.

“Ok deh siap, bentar ya.” Kumatikan laptop dan kubiarkan di atas meja, biarlah nanti kuambil sebelum jam pulang.

“Ijin dulu sebentar ya Pa, ada perlu nih ke Panwascam!” sambil bergegas pergi tanda menunggu jawaban Pak Budi rekan kerjaku.

Memang tanpa diminta datangpun aku sering ke Sekre setiap pulang kerja. Menjelang sore beberapa teman-teman Panwas biasanya kumpul, sambil melepas lelah kami bercengkrama dan tertawa ditemani kopi, dan pastinya bisa ketemu Susan.

“Hai Susan, sendiri aja…? Nih ada sedikit makanan oleh-oleh keluargaku kemarin abis berwisata”

“Duh sang mantan baik banget….” sambil tersenyum dia terima pemberianku dan kembali melanjutkan pekerjaan di laptopnya.

“Loh ko mantan sih? Emang dulu kita pernah putus? Enggak kan? Heee” godaku memulai obrolan.

“Oh ya udah atuh kita lanjut aja! Heee.”

“Ashyiaaaaap” kami berdua tertawa malu-malu dan saling menggoda.

Aku dan Susan saling berbagi cerita mengenang masa lalu, saling bercarita apa yang terjadi selama 20 tahun tidak saling bertemu dan tak ada kabar.Kami pacaran ketika duduk di bangku SMA, awalnya baik-baik saja, setiap hari minggu aku datang ke rumahnya, maklum kami sekolah di SMA yang berbeda dan tempat tinggalpun cukup jauh. Ketika lulus pun kami melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang berbeda pula di Bandung. Ku sempat bantu dia mencarikan tempat kos dan membantu beres-beres perlengkapan.

Seiring waktu dan kesibukan  masing-masing Kami jadi jarang bertemu, komunikasipun jarang, ya karna waktu itu belumbanyak yang punya handphone termasuk kami, jika ada perlu sekali-kali pergi ke wartel menghubungi nomor telepon kosan, itupun kalau kebetulan sedang ada di kosan. Sering ibu kos saja yang ngangkat dan ngasih tau jika Susan lagi di Kampus.

“Tau gak Her kalo Aku pernah nelpon ke kosan tapi yang nerima Cewek namanya Permata..” pertanyaan susan membuatku serbasalah menjawabnya.

“Emmm..” kucoba mengingat-ingat dan mencari jawaban yang tepat, mungkin ini kesempatan buat berterus-terang hal yang sebenarnya terjadi. “Oya aku ingat Sus, baiklah aku jujur tapi jangan marah ya..!”

“Ngapain juga harus marah? itu kan masa lalu”

“Permata itu Pacar aku, dia sering datang ke kosan, nah waktu itu terdengar ibu kos mangil, ada telpon dari Susan katanya. Aku suruh Permata nerima telpon biar kamu tau kalau aku udah punya pacar lagi. Maaf ya aku ga ada niat menyakiti hati kamu, tapi aku gak ingin kamu terus berharap dan aku ingin kamu mendapatkan yang lebih baik dari aku, itu yang kupikirkan waktu itu”. Kujelaskan panjang lebar dengan hati-hati, aku takut dia kecewa atas penjelasanku.

“Aku sudah tau semuanya kok Her”

“Lah tau dari mana?”

“Uswan, dia selalu cerita tentang kamu dan Permata tiap datang ke kosan, hee.” Terkejut aku mendengarnya.

“Selalu? Ke kosan?” heran aku mendengarnya, Uswan sahabatku dari kecil dan kuliahpun kami ngekos bareng, dia orangnya sangat alim, aktivis mesjid, kegiatannya di luar kuliah latihan Nasyid, orang bilang dia kutu buku, kok bisa yah.”

“Heee, maaf ya Her, awalnya aku selalu tanya tentang kamu ke Uswan setiap nelpon ke kosan jika yang ngangkat telponnya Dia. Setelah aku tau semuanya tentang hubungan kamu dengan Permata komunikasi aku dengan Uswan jadi tambah sering, Aku sering curhat ke dia, terus dianya sering main ke tempat aku hingga ahirnya aku dan Uswan jadian.” Antara percaya dan tidak aku mendengar semua itu, kok bisa Uswan sahabatku yang tiap hari bersama di kosan menyimpan rahasia itu, kenapa juga dia tidak berterus terang.

“Kenapa bengong Her? Gak terima ya…?”

“Eh, apa…? Emmm, ya ga apa-apa sih, cuman gak habis pikir aja kok bisa ya?” Terlintas juga di benak ini satu waktu ketika naik angkot di daerah Dago pas duduk di jok terdengar sapaan yang suaranya kukenal, ternyata aku berhadap-hadapan dengan Susan, aku sempat kikuk dibuatnya dengan penampilanku dan teman-temanku saat itu. Jeans robek, kaos serba hitam dan rambut gondrong sepinggang. Aku dan teman-teman baru saja manggung Teater di salah satu gedung kesenian di Sana.

Terdengar suara bising beberapa sepeda motor berhenti di luar, benar saja teman-teman PKD baru pada tiba. Kedatangan mereka otomatis menyudahi perbincangan Aku dan Susan.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, banyak sudah cerita aku dengan Susan tertoreh di perjalanan hidup ini. Beberapa kali ku berkunjung ke rumahnya bersama teman yang lain. Di satu saat  Susan pun tak sungkan menghubungiku lewat telpon minta tolong dijemput ke rumah. Pernah satu ketika dia ketagihan buah rambutan yang kubawakan buatnya, tapi sayang pohon rambutan di kebunku sudah tak nampak lagi buahnya saat kulihat esok harinya.Hingga satu ketika teman-teman ngadain acara makan bareng di rumah Susan, aku datang lebih awal bersama teman perempuannya membantu masak dan mempersiapkan segalanya. Ku ikut sibuk di dapur entah itu bantu iris bawang hingga goreng ikan. Sampe-sampe Susan menertawakan tingkah laku dan stile aku membuat sambal. Di sela-sela kesibukan, Susan membicarakan masalah pribadinya bahwa tak lama lagi dia akan melangsungkan pernikahan kedua kalinya dengan seseorang yang masih dirahasiahkan identitasnya, kemungkinan besar setelah beres Pemilu nanti katanya.

Entah perasaan apa yang timbul di hati ini saat itu, yang jelas aku harus bisa menerima kenyataan ini, toh dia bukan siapa-siapa aku, hanya ada hubungan masa lalu. Aku hanya bisa memberi suport dan doa sama Susan, “Semoga kamu lebih bahagia bersama keluarga baru nanti” kataku. Akupun menawarkan kado apa yang ia inginkan dariku di hari pernikahan nanti.

Sejak pertemuan hari itu sedikit demi sedikit kukurangi intensitas chating dengan Susan, tak pernah lagi janjian bertemu di sekretariat selain pertemuan di rapat rutin dan ngobrol sepentingnya saja.

***

“Brow rakor brow.”  kulihat  WA masuk dari Jaya.

“Ashiiiiiap, Jam satu kan?”

“Yup”

“Nebeng ya!Motor akoh dipake babeh nih,akoh stanby di school.”

“Ok. Jam tigaan lah biar teduh da suka ngaret.”

“Jih… terserah lah.” Kukerjakan tugas administrasi sekolah melebihi jam pulang sambil menunggu jam tiga sore. Seperti biasanya disela-sela kesibukanku selalu kusempatkan untuk chat dengan Dea.

“Teh mau hadirkah rakor nanti?”

“Insya Allah de.” yah panggilan ade dan teteh aku sama Dea sudah terbiasa semenjak dia tahu nama kecilku Ade, awalnya dia bercanda panggil aku Ade karna aku selalu panggil dia Teteh, itu karna usia Dea sedikit lebih senior dari aku.

Menjelang jam tiga tiba-tiba langit mendung pertanda tak lama lagi akan turun hujan, di awal musim penghujan ini hujan turun hampir setiap sore.

“Jay udh jam tiga nih tapi hujan.” kuingatkan Jaya takutnya dia ketiduran, maklumlah cuaca seperti ini cocok banget abis kerja tarik selimut.

“Hooh….Ya udah tunggu reda dulu aja.” Kuperkirakan Jaya santai aja malas-malasan di kasur, dia emang gitu orangnya.

“Teh udah di sekre?”

“Udah dari jam satu de.” Sudah kuduga, Dea selalu datang tepat waktu, mau hujan ke mau angin kenceng semua itu tak pernah jadi alasan bagi Dia. Andai saja sepeda motorku gak dipakai Ayah sudah dari tadi aku meluncur ke sana.

“Duh keburu ujan nih, Nunggu dijemput Jaya ga da motor.”

“Ya udah santai aja da belum mulai.” Jawab Dea, tapi bukan masalah mulai atau belumnya garutuku dalam hati, aku kangen kamu, yang jelas Dea gak ngerti apa yang aku rasakan saat ini. Entahlah rasa ingin selalu bertemu, rasa nyaman kala berdekatan dengan dia tiba-tiba muncul ahir-ahir ini. Rasa ini hadir semenjak aku dan Susan jarang ngobrol dan chatingan lagi, seiring bertambah seringnya chatingan aku dengan Dea.

Kudengar suara adzan, bergegas ku menuju Mesjid. Sehabis shalat Ashar kembali kulanjut aktivitasku di Kantor, sekalian bereskan meja kerja. Kulihat jam dinding telah menunjukan setengah lima.

“Dingin teh ujannya gak kunjung reda.” Kutenangkan rasa gelisah ini dengan chat lagi sama Dea.

“Di sini mah anget da bnyak orang.”

“Duh enak kayaknya duduk disamping teteh” Kugoda ia sambil bercanda seperti biasa. “Dingin-dingin empuk.. hee.”

“Ayo atuh cepetan.”

Dengan rasa gelisah kulihat keluar, memastikan cuaca.

“Jay yo ah brangkat keburu beres rakornya.Gak apa apa hujannya udah kecil banget kok.”

“Ok dech kaka… hee”

Komputer di kantor tiba-tiba padam, rupanya mati lampu. Kurapihkan meja kerjakudan berkemas sambil menunggu Jaya sahabatku.

“Sial lama banget dia.” Gerutuku ditengah kegelisahan tak sabar rasanya pengen ketemu dengan seseorang di sekre sana.

“Tiiiiiit….”  klakson berbunyi di luar gedung, dengan segera ku menghambur ke luar.

Diperjalanan hujan yang awalnya rintik-rintik terasa makin lebat ditambah tiupan angin kencang membuat basah jaket dan rambut.

“Gimana nih lanjut atau berteduh dulu?” teriak Jaya dengan suara sedikit gemetar tertiup angin kencang.

“Lanjut aja lah tanggung bentar lagi sampe.”

Kutanggalkan jaket yang basah sebelum masuk ruang sekre yang terlihat gelap tanpa sinar karna mati lampu.

“Wa’alaikumsalam….” Serempak peserta rakor menjawab salamku, terlihat remang-remang mereka duduk bersila bersandar membentuk lingkaran seperti biasanya.Cuaca yang setadi dingin tiba-tiba berubah menjadi panas serasa terbakar, jantung serasa terhenti berdetak, darah membeku, keringat dingin membasahi telapak tangan. Lemas lunglai rasanya melihat pemandangan yang tak diinginkan, diantara peserta yang duduk berdempetan dalam kegelapan nampak Dea duduk disamping Erwan yang selama initerlihat inten perhatian sama dia. Jika saja ruangan ini ada cayaha yang menyinari, nampaklah pucat pasi wajah ini, aku hanya bisa duduk bersandar tertunduk tak kuasa memandang ke arah sana lagi.

“De kamu maksa ujan-ujanan ya?” kubaca WA masuk dari Dea, tapi tak bubalas.

“Kenapa Kamu sakit? Ko diem aja…?”

“Ga papa teh.” Jawabku singkat sambil berusaha menenangkan hati, kusandarkan punggung ini ke dinding, tak sepatah katapun terucap dari bibir ini sehingga teman-teman menyangkaku gak enak badan karna masuk angin. Ya benar aku gak enak badan plus gak enak hati, epeknya badan terasa demam panas dingin.

“Aku tau perasaanmu de..Ini sungguh di luar kendali.”

“Tak mengapa teh,Aku hanya merasa pusing mungkin masuk angin sepanjang jalan keujanan.” Kucoba sembunyikan rasa kecewa ini.

Aku sendiri tak habis pikir kenapa timbul rasa ini, padahal aku dan Dea tak ada hubungan lebih selain sahabat, ya memang persahabatan kami berdua terasa spesial, ada saling perhatian diantara kami berdua, saling emphaty bahkan simpaty itu semua mengalir bagai air secara spontan. Sering aku dan Dea saling bantu menyelesaikan pekerjaan, hingga saling minta pendapat masalah pribadi. Bahkan beberapa kali ku obrolkan tentang hubungan aku dengan Susan. Terlintas memori indah kala musim liburan, aku, Dea dan dua orang teman lainnya mengisi waktu luang berjalan-jalan ke sungai. Ah.. masih banyak lagi kenangan-kenangan indah bersama Dea.

***

Kukenakan jaket seragam panwas warna hijau ala militer, tak salah jaket itu dipilih untuk melakukan pengawasan terutama pengawasan lapangan di malam hari, selain tebal kedap udara, anti air juga. Di lapangan kami bisa bertahan di cuaca ekstrim bahkan ketika turun hujanpun jika hanya gerimis kecil tidak lantas terburu-buru mencari tempat berteduh. Malam inipun aku sudah bersiap dengan tugasku pengawasan rekapitulasi perolehan suara di Kecamatan.

“Udah di rumah tadi pulang sebelum magrib.”Dea baru membalas chatinganku yang kukirim sejak tadi.

“Oh ya udah istirahat aja, lagian malam mah giliran cowok.”Sejujurnya ku kecewa dengan balasan dia seperti itu, aku kira dia bakalan pengawasan semalam suntuk seperti yang lain, dengan begitu aku bisa bersama dia malam ini. Tau begitu dari sore aja aku berangkat.

“Pa di mana? aku mau ngambil buku rekening nih.”

“Oh iya sok ditunggu di sekre,aku ada di sekre sampe jam sembilan.” Baru inget malam ini di sekre ada agenda pengambilan buku rekening honor para pengawas TPS. Meskipun itu tugas orang kesekertariatan kupikir gak ada salahnya jika kubantu, biarlah berangkat ke kecamatan agak maleman toh Dea nya juga udah pulang gumamku dalam hati.

“Boss mau berangkat jam berapa kita?” Tanya Yoga yang baru datang sambil berjalan ke arahku.

“Santai aja lah baru jam setengah sembilan.”

“Ya udah, mending karoke dulu di dalam yo!” seperti biasa dia mengisi waktu luang di sekre dengan menyalurkan hobinya teriak-teriak bernyanyi karoke dangdut.

Sambil ngobrol dengan teman-teman PTPS yg abis ngambil buku rekening kubaca postingan-postingan di WAG, ada banyak postingan gambar yang belum kebuka karna sinyal yg kurang bagus, setelah  beberapa waktu kemudian kulihat di grup panwas ada postingan photo kegiatan pengawasan rekapitulasi, nampak sosok perempuan anggun berbaju putih di sana, ”itu kan Dea”. Terperanjat ku dibuatnya, “dia tadi bilang udah di rumah kenapa aku gak sedari tadi berangkat ke sana…”

Kutarik tangan Yoga dan Jaya, “Ayo berangkat coy!”

“Santai dong… biar kita giliran tengah malam ngawasnya.”Sahut Jaya.

“Ah dingin perjalanannya coy kalo kemaleman. Ayo cepetan…”

“Iya deh brangkaaaat….”ujar mereka menghambur ke luar.

Diperjalanan tiba-tiba Yoga berhenti di pedagang kue martabak perempatan, rupanya dia hendak beli kue martabak pesanan seseorang dan mau dianterin sambil lewat. “Lama sekali tukang martabak itu melayani” pikirku. Rupanya gelagatku tak sabar menunggu terbaca oleh mereka berdua.

“Sabar napa.Ohhhhh aku tau, pasti ada seseorang di sana.” Keduanyapun tertawa entah apa maksudnya.

“Apaan sih?”

“Woi jangan ngebut…. motor aku kurang fit nih…” teriakku mengingatkan mereka, aku hawatir dengan kondisi sepeda motorku, pernah beberapa kali mogok di tanjakan seperti ini, terlebih aku sadar motor ini udah hampir dua bulan belum ganti oli mesin.

“Ah elu tadi ngajak buru-buru, ayo balapan!”

“Busyet sialan mereka berdua.” Kuhabiskan tarikan gas, namun apa daya motor butut ini lemah menghadapi tanjakan yang luar biasa ini, rasa panik ini mulai muncul ketika mereka berdua tak nampak lagi ditelan gelapnya malam nan berkabut. Angin malam yang mengencang menggoyangkan pepohonan hutan belantara menambah seramnya malam yang mencekam, jantungku tersentak ketika tiba-tiba motor mati, tak bisa hidup lagi, dan aku tau penyebabnya yaitu kekeringan oli, sudah dua bulan motor ini gak ganti oli.

Ku amati tempat sekeliling yang hanya nampak bayang-bayang pepohonan, kulawan rasa takut ini, sejenak terlintas halusinasi kalau-kalau ada binatang buas menghampiri, duh pucat rasanya tubuh ini. Kucari nomor kontak kedua temanku di handphone, ah sialan gak ada sinyal sama sekali. Pasrah rasanya menghadapi situasi ini, dan pupus sudah harapan bisa bertemu dan ngawas bareng si dia, mungkin Dea sudah pulang lagi, kulihat jam sudah hampir pukul sebelas. Terpikir untuk berbalik  arah kembali ke sekre atau setidaknya nyampe puskesmas, perkiraan bisa sampe sana dengan menggelinding dalam keadaan mesin mati, tapi niat itu urung karna tak nampak cahaya sedikitpun, batas kanan kiri jalanpun tak kelihatan, bahaya banget bisa-bisa motorku terjun ke jurang atau menabrak tebing.

Kutenangkan kembali pikiran dan hati ini, sambil tetep duduk diatas jok kucoba lagi menghubungi mereka. “Nah ada sinyal nih”, gumamku.“Ayo angkat dong…..”

Kucoba kontak lagi teman yang satunya..Ah kenapa pula mereka gak mau angkat  telephon.Pengen nangis rasanya, kuteringat Dea yang selalu fast respon kalau ada panggilan masuk atau membalas WA..

“Hallo de ada apa?”

“Teteh masih di kecamatankah?”

“Iya De masih. tadi abis Isya aku disuruh  datang lagi.”

“Tolong dongapakah Yoga sama Jaya udah nyampe sana?”

“Belum lihat tuh, emang kenapa de?”

“Tolong dong cariin, aku mogok nih perjalanan ke sana, mereka udah duluan, dibell gak ada yang ngangkat.”

“Ya Allah…. iya tunggu tar aku coba hubungi mereka.” Kututup telpon dengan mengucapkan terimakasih sebelumnya.

Kembali ku termenung dalam kebingungan, tak lama telpon berbunyi, “Ya hallo gimana teh…?”

“Sama gak diangkat juga, mungkin masih perjalanan ke sini.”

“Ya udah aku tunggu aja.”

Bunyi telpon mengagetkan lamunanku di tengah gelap-gulitanya malam hutan belantara yang sepi ini, “Hallo de masih di sana…?”

“Iya teh…”jawabku berharap ada kabar gembira.

“Barusan nyambung, udah dikasih tau kok,  mereka mau balik lagi jemput Ade.”

“Iya teh makasih ya.”

“Iya Ade hati-hati ya!”

Setelah sekian lama menunggu ahirnya mereka datang juga, dengan tertawa terbahak-bahak mereka mengejek. Rasa kesal, dan gembira menyatu, ditemeni mereka kuantar motor ini untuk dititipkan di Puskesmas, kusimpan saja dihalaman parkir untuk diambil esok pagi.

Setibanya di Kecamatan  kulihat kegiatan rekap perolehan suara masih berlangsung. Nampak sosok yang selalu kurindukan tengah duduk manis bersama para penyelenggara pemilu di sela kesibukan. Kupandangi ia, berharap senyuman darinya, hanya itu yang ku inginkan disetiap pertemuan, bisa melihat ia tersenyum padaku.

***

“Cieee mesra banget….” Nur komen postingan photoku dengan Dea.

“Sini atuh, aku sama Dea lagi kondangan nih, gak jauh kan dari rumahmu?”

“Akunya ada acara nih. Eh mau tanya nih, tapi jawab jujur ya…!”

“Tentang apa…?” tanyaku penasaran, aku merasa ada sesuatu yang sedang Nur pikirkan, Nur itu temanku waktu SMA, kosan kami dulu tetanggaan, seminggu sekali  kami pulang bareng naik angkutan umum yang sama karna desa kami juga berdekatan. Lama aku dan Nur gak pernah berjumpa hingga  ahirnya momen Pemilu mempertemukan, dia daftar Pengawas TPS kemarin dan ternyata Nur bersahabat dengan Dea semenjak Kuliahnya dulu. Sejak kutahu semua itu aku sering cerita ke Nur tentang persahabatanku denagn Dea.

“Tentang perasaaan kamu ke Dea sebenarnya.”

“Yang pasti salut dan bangga, Dea itu enak diajak ngobrol, terbuka, aesy going, emphaty pada orang lain.Ada satu hal, entah itu perasaan apa namanya, yang jelas aku sering merasa kangen kalau lama gak ketemu, bahagia ketika sedang bersama dia, dan ada rasa cemburu jika ia sedang dekat dengan laki-laki lain.Bukan kali ini saja aku jalan sama Dea, dari awal masuk panwas kita udah sering jalan bareng kok.”

“Iya, dia juga udah cerita banyak kok tentang semua itu.”

***

“Udah berangkat belum de.?”

“Belum baru mau mandi nih.”

“Barengan kesananya, gak tau tempatnya nih..”

“Sama aku juga belum tau, ya udah ditunggu di tempat biasa ya!”

Ingin rasanya ku boncengan lagi dengannya seperti biasa, biar motorku terparkir saja di emper toko. Tapi kuurungkan niatku, pertama gak enak sama orang- orang yang ada di sana, kedua gak enak juga sama teman-teman panwas yang sudah hadir di sana, terutama sama Erwan , sebagai sesama lelaki aku dapat merasakan perasaan dia nantinya.

“Yuk teh berangkat!” diapun mengikuti arah motorku dari belakang, sekali-kali kuperhatikan dia dari kaca spion, nampak sosok perempuan modis mengendarai honda beat dengan stelan jeans dan jaket kulit warna coklatnya.

“Kok belum banyak yang datang ya? Padahal udah siang nih.”

Sambil bersenda gurau dengan teman yang sudah hadir seperti biasa kucuri-curi pandang memperhatihan kecantikannya, kali ini dia berbusana casual nuansa putih, iseng ku ambil beberapa photo dari berbagai sudut.

Selama berjalannya acara perpisahan, selama itu pula pikiranku plash back, teringat masa-masa dimana aku baru mengenalnya, dia menjadi penyemangat setiap ada kegiatan, entah berapa banyak gurauan dan gombalan yang selalu aku lontarkan dalam tiap kesempatan bertemu, tak jarang kalimat-kalimat puitisku menghiburnya lewat chatingan di WA. Dia tak pernah merasa bosan membalas japrian aku setiap saat. Teringat ketika aku dalam perjalanan ke Bandung dengan menggunakan bis umum, kala itu aku hendak mengikuti tahapan seleksi komisioner KPU Kabupaten, sepanjang perjalananku ditemani dengan chatingan dengannya, ngobrolin banyak hal tanpa arah penuh dengan candaan hingga tak terasa telah sampai ke tempat tujuan. Dan yang lucunya aku janjian dengan teman lama disuatu tempat yang telah disepakati, berjam-jam menunggu tidak kunjung datang dan aku gak bisa menghubungi dia karena baterai HP ku abis, ya terang saja aku chatingan sepanjang perjalanan.

Teringat di satu kesempatan ketika itu aku, Dea, Erwan dan Susan sedang berada di sekre entah dalam rangka apa, kami belum bisa pulang karna terjebak hujan yang cukup deras. Erwan dan Dea asik ngobrol berdua di ruang loby, sementara aku dan Susan bernyanyi duet karoke di ruang rapat, perasaanku dengan Dea waktu itu masih biasa-biasa saja layaknya sebagai sahabat, meskipun ada sedikit rasa iri melihat mereka berduaan dalam suasana syahdu. Dengan syahdu pula aku dan Susan bernyanyi berdua agak baper,  sambil menunggu hujan reda. Padahal sejujurnya kuberharap hujan jangan dulu reda. Iseng kujapri Erwan, “jarang banget kita dapat moment terindah seperti ini, hee.” “haha, kapan-kapan kita cari lagi moment seperti ini” balasnya, persahabatanku dan Erwan sedang kompak banget waktu itu, orang bilang kami berdua soulmetan.

Akupun tak habis pikir kenapa setelah itu rasa cemburuku selalu muncul kalau mendapati  Dea berdekatan dengan Erwan, pikiranku terbawa ke suatu moment mancing bersama yang diadakan Panwascam, aku gak bisa fokus mancing saat itu, selalu saja pandangan ini ingin menatap ke arah Dea, bahkan beberapa kali kusempatkan chat dengannya, alhasil setelah berjam-jam mancing gak da satu ekor pun ikan yang nyangkut, ada sih satu ikan berhasil kutarik lumayan agak besar hingga teman-teman sorak-sorai melihat ke arahku, namun karna lagi-lagi mataku melirik ke arah Dea dan bermaksud memperlihatkan keberhasilanku tiba-tiba ikan itu jatuh lagi ke kolam terlepas dari genggaman, ya begitulah akibatnya kalau gagal fokus.

Kuhampiri Dea yang sedang mempersiapkan sajian makan, sambil ngobrol ngaler-ngidul kukasih ia sebotol minuman teh yang kubeli di warung diperjalanan, teringat pancinganku masih terpasang dipinggir kolam bergegas kupergi untuk mengambilnya takut ada ikan yang nyangkut. Sekembali dari kolam kudapati Erwan sudah berada di dalam bergabung duduk disamping Dea, dahiku berkerut katika melihat Erwan meneguk minuman Dea yang kuberikan tadi, kok bisa…. apakah Dea gak minum minuman pemberianku sehingga dikasih ke Erwan…? entahlah aku gak mau larut dalam keheranan itu walau hati ini terasa sedikit sesak.

Saking tidak maunya kehilangan moment bertemu Dea dan gak rela ada Dea dan Erwan tanpa ada aku, suatu ketika ada postingan Erwan di grup WA, nampak Erwan dan Dea  sedang berada di rumah Didi hendak masak bareng, segera aku ajak Jaya untuk segera merapat ke rumah Didi, kami meluncur kesana mengendarai motor masing-masing, namun sial ditengah perjalanan hujan turun agak lebat, kamipun berteduh di warung kopi pinggir jalan menikmati kopi susu sambil menunggu hujan reda. Sekian lama kami berdua menunggu redanya hujan, belum ada tanda-tanda hujan segera berhenti, kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan berhubung hari sudah hampir petang. Kami berdua kebasahan diperjalanan pulang menembus gerimis hujan dan angin pegunungan yang menghembus tubuh.

“Dengan berahirnya tugas kita sebagai pengawal Demokrasi yang  melahirkan pemimpin baru di Negeri ini kita bersyukur, bakti kita kepada Negara telah selesai, sukses tanpa ekses.” Kalimat penutup Ketua menyadarkanku dari lamunan.

“Kutitip setitik jiwaku bersemayam di relung hatimu yang paling dalam sekalipun.” kujapri Dea sebelum berpisah. Terlihat ia tersenyum manis membaca chatinganku.

“Kan kusimpan dan kujaga setitik jiwamu di hati ini, terimakasih atas segalanya.” Kalimat balasan Dea selalu kuingat menemani hari-hari di babak kehidupanku yang baru.

***

Karakter: Aku, Dea, Susan, Yoga, Jaya, Nur, Erwan, Uswan, Permata, Eci, Didi, Subhan, Yuda, Ketua, Komisioner KPU.

Comment here