Mendengarkan Buya Syakur Ceramah
Oleh : Hedi Yana
Jarang-jarang saya betah mendengarkan da’i berceramah. Tapi kemarin dalam sebuah acara haul di Desa Rajawangi Kecamatan Leuwimunding, seorang ulama sederhana dari Indramayu, H. Buya Syakur menuturkan hal menarik dari mengulas sebuah ayat, ayat kursi.
Inti dari bahasan itu, Buya menuturkan bahwa masih banyak orang tertipu oleh penampilan luar. Masih banyak warga tertipu oleh semua asesories yang ada pada badan. Masih banyak masyarakat yang terpedaya ketika penipu datang dengan kendaraan mewahnya.
Buya juga menceritakan, bahwa dia kagum kepada salah satu ustadz kenalannya. Ustadz kenalannya itu bercerita bahwa istri harus diperlakukan sehalus mungkin, disayang dan dicintai. Akan tetapi, ketika Buya bermain ke rumah sang ustadz itu, nyatanya, perkataannya tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya. Ustadz itu terlihat sedang membentak bentak istrinya. Itu salah satu contoh tentang penampilan luar. Ucapan yang manis-manis dan terdengar baik, termasuk penampilan yang sering dilakukan kebanyakan orang.
Untuk itu, menilai orang yang kemungkinan pasti kebenarannya, hanya bisa dilihat dari sikap dan perilaku serta tingkah lakunya. Hanya itu. Adapun busana, jubah, asesoris yang menempel pada tubuh, itu tergantung selera. Hanya saja orang jujur tak pernah berlebihan dalam berkostum. Penipu biasanya melebih-lebihkan, sebagai tanda bahwa dirinya kompeten. Padahal tidak, karena tujuannya menipu orang. Mengelabui kebanyakan orang butuh modal penampilan.
Selanjutnya, yang tak kalah menarik, Buya juga menyinggung tentang Kabupaten Majalengka dan sebutan kota. Ini baru bagi saya. Sebab jarang-jarang seorang ulama mengulas tentang kronologi dan tekstual tentang devinisi sebuah kata.
Buya menjelaskan bahwa sebuah tempat dikatakan kota bukan karena di wilayah itu sudah berdiri banyak gedung pencakar langit. Sudah berdiri bandara. Bukan itu. Sambil menyebutkan referensi kajian kenapa sebuah wilayah disebut kota, Buya mengatakan sebuah wilayah disebut kota, ketika masyarakat di wilayah itu terdiri dari berbagai komunitas, golongan, perkumpulan.
Ya. Singkatnya, wilayah disebut sebagai sebuah kota ketika wilayah itu heterogen. Ada komunitas muslimnya. Ada kristennya. Ada Tionghoanya. Ada Budha-nya. Serta komunitas lainnya yang ternyata hidup rukun di wilayah itu. Sebuah wilayah jika sudah demikian adanya, itu adalah kota. Sebuah Madinah. Jadi sekali lagi, kata Buya, kota bukan karena ada infrastruktur yang mewah macam gedung pencakar langit.
Kota, menurut Buya, lebih pada struktur masyarakatnya yang lebih kompleks. Lebih heterogen.
Mendengarkan Buya ceramah nyatanya cukup berbeda. Masih kata Buya, kewajiban seorang penceramah, da’i, ketika diundang ceramah, tugasnya cuma satu, yakni menyampaikan. Hanya menyampaikan. Pendengar (mau ratusan ataupun ribuan massa) boleh menyimak atau tidak. Terserah. Karena sifatnya hanya menyampaikan, maka tidak memaksakan.
Jadi, pendengar mau mengikuti materi si penceramah atau tidak mengikuti materi si penceramah, ketika ceramah itu selesai, tidak jadi masalah. Karena tugas penceramah hanya menyampaikan. Dengan kata lain, salah besar jika ada ustadz, Kiayi, ulama, ajengan…justu malah mengajak mengajak sambil memaksa. Sekali lagi, tugas si penceramah hanya menyampaikan, tidak ada pemaksaan.
Saya lihat, ketika menyampaikan ceramahnya itu, tim Buya Syakur, sudah menempatkan dua kamera dari depan dan samping. Berikut petugas kameranya. Dalam gawai temanku, live streaming youtube dengan branding tertentu, H. Buya Syakur tengah ceramah secara live. (****)
Comment here