Buku dan Radio, Menyatu Dalam Studio Rarama Kedaton Cibasale
Bagi yang pertama kali melihatnya, orang tak akan menyangka bahwa dirinya suka membaca buku. Ribuan koleksi bacaannya bermacam-macam. Bahkan, ia bisa mengutip kalimat atau kata-kata mutiara dari buku yang telah dilahapnya puluhan tahun lalu.
Buku-buku Inggris maupun terjemahannya, novel, maupun buku-buku tentang budaya sunda melekat dalam cara bicaranya. Terkesan apa adanya. Jangan menilai buku dari sampulnya. Begitulah kesan jika bertemu dengan sosok nyentrik, Oom Somara. Dia adalah penulis, penerbit, penyiar, dan suka pada hal-hal yang berhubungan dengan tradisi dan budaya asli kedaerahan.
Akrab dipanggil Gan Oom. Pria dengan postur seperti pemain film Angling Darma ini seolah menyepi dari hiruk pikuk dunia birokrasi. Meskipun begitu, nyaris sebagian seniman, budayawan, maupun pejabat di lingkungan pemerintah Majalengka mengenalnya. Faktanya, beberapa pejabat masih ada yang suka mendengarkan suaranya melalui saluran radio Rarama Kedaton Cibasale. Ada juga yang bertemu langsung tatap muka, tak sengaja, pejabat itu langsung menyapanya.
Gan Oom sendiri tidak pernah memedulikan itu. Namun ketika ada orang yang mengenalnya dan menyapanya, ia kembali menyapa ramah.
“Tanggal 31 Desember 2018 lalu, Radio Rarama Kedaton Cibasale ini resmi mengudara. Radio ini konsen menyiarkan tentang budaya Sunda. Memutar lagu-lagu lama, maupun cerita wayang kulit dan golek. Semua edisi dan beragam versi, di sini ada. Koleksi lagu-lagu legendaris Indonesia juga masih saya pelihara baik dan saya jaga,” ungkapnya, suatu sore di bulan September 2019.
Mantan Ketua Forum Lingkar Pena Majalengka (2010-2015) ini juga pernah pergi ke Malaysia awal tahun 2019 lalu. Sebulan yang lalu, ia pun rekreasi ke Bali. Itu semua dalam rangka bonus karena telah berhasil mempromosikan merek obat herbal tertentu.
“Mungkin itu bagian rezki yang saya dapat.” ungkapnya singkat.
Di sela-sela obrolannya, ia pun harus berpindah ruang menuju ke ruangan studionya. Tidak seperti ruangan studio radio pada umumnya. Ruangan kecil namun memanjang itu, pada dinding yang berhadapan dengan peralatan mikrofon, pengatur suara dan telpon dengan fans atau pendengar radio, ribuan buku-buku ditata seperti bata-bata yang tersusun.
Dari tampilan rak dan penataan bahan bacaan tercetak itu, kecintaannya pada buku-buku terlihat jelas. Beragam penghargaan pun sebagian ada di ruangan studio itu. Agak sumpek memang, tapi percayalah itu masih terasa nyaman.
Kemudian, Gan Oom juga berharap pada kemajuan wisata Majalengka. Pengalamannya menjadi pemandu wisata memunculkan persepsi bahwa di lokasi wisata Majalengka, itu masih kurang dalam hal brosur maupun buku informasi tentang pariwisata di kota angin ini.
“Saya memimpikan wisata-wisata di Majalengka ini banyak brosur atau buku yang detail membahas semua wisata. Dan selayaknya, sebuah tempat wisata itu menyediakan home stay yang nyaman dekat lokasi obyek wisata. Supaya nantinya, pengunjung tidak lagi mengeluh soal menginap. Ataupun mengeluh soal jalan yang sempit dan rusak.” ungkapnya.
Gan Oom juga terlihat makin mantap karena menyediakan kopi sangray tradisi baheula. Kopi sangraynya itu berasal dari kopi gunung Manglayang Wetan. Dicap menggunakan foto dirinya – Cap Lalaki Digelung – kopi tersebut juga bernama Kopiagan. Harga satu kemasannya dibanderal Rp. 50 ribu.
“Saya ke Malaysia, juga bawa kopi ini. Laku pisan, banyak yang suka.” ujarnya. (EDA)
Comment here