Mereka Menolak RKUHP yang akan Mengancam Kebebasan Kerja Jurnalistik
MAJALENGKA – Oki berjalan tegap. Namun penampilannya tak sesuai. Ke atas rapih dengan setelan jas berdasi. Ke bawah mengenakan kolor.
Hasan pun berjalan kaki. Ditarik paksa seperti gogog yang manut pada majikannya. Hasan membawa kotak bertuliskan RKUHP. Penampilan Hasan lebih parah. Gaya gembel.
Ono berpakaian lebih tegap. Tampaknya bos besar yang juga atasan dari Oki. Ketiganya mendatangi gedung DPRD dan Pendopo Majalengka, bersama puluhan orang yang mengiringinya.
Di halaman gedung perwakilan rakyat dan pendopo itu, Oki, Hasan dan Ono dicegat. Mereka tak boleh masuk. Lantas, perwakilan dari pemerintah, Ibin dan Tedi menemui mereka.
Ibin juga berpakaian seperti Oki. Memakai jas dan berdasi. Namun ke bawahnya mengenakan kolor. Orang ini di pihak yang berbeda. Disamping Ibin, ada Tedi yang menemaninya. Sama juga memakai jas dan berkolor.
Mereka berlima bernegosiasi. Sepertinya membahas tentang tarik ulur pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sang pengusaha, Ono dan Oki, tampak membawa map besar. Sewaktu dibuka, amplop tebal disodorkan kepada Ibin disaksikan Tedi. Amplop tebal itu dibuka. Lalu kembali disodorkan ke Ono. Ono pun menyerahkan ke Oki. Gerakan mata Ono menyiratkan bahwa Oki harus menyediakan isi amplop yang lebih tebal. Namun Oki menggeleng kepala.
Transaksi dan negosiasi itu gagal total. Pertemuan itu pun bubar. Demikian aksi teatrikal dari Kelompok Jurnalis Majalengka Membara (Kejam) yang menolak sepuluh Pasal RKUHP.
Aksi teatrikal pantomim itu tak pernah dilatih sebelumnya. Mereka berlima adalah Jurnalis Majalengka yang sengaja mengusung tema aksi teater. Tak ada latihan walaupun sehari. Hanya instruksi dan semangat teman-teman seprofesi. Hasilnya, mereka menghayati setiap aksi dengan sepenuh hati.
Mereka, para jurnalis dari berbagai organisasi wartawan seperti PWI, IJTI dan Jajaka, sengaja turun melakukan aksi damai dan sejuk.
RKUHP ini merupakan bahasan DPR periode 2014-2019 yang rencananya akan disahkan akhir bulan September ini.
Hampir semua profesi jurnalis menolak RKUHP ini. Terutama sepuluh Pasal yang dianggap mengekang dan mengebiri kebebasan pers.
Pasal-pasal dalam RKUHP itu dinilai akan berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan melindungi kerja-kerja pers.
Sementara Kemerdekaan Pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi dalam demokrasi.
Tanpa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi, maka demokrasi yang telah diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, akan berjalan mundur.
Rancangan pasal-pasal karet dalam RKUHP akan mengarahkan para jurnalis pada praktik otoritarian, seperti yang terjadi di era Orde Baru, yang menyamakan kritik pers dan pendapat kritis masyarakat, sebagai penghinaan dan ancaman kepada penguasa.
Sepuluh Pasal yang mengancam kebebasan pers itu diantaranya :
1. Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
2. Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
3. Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa.
4. Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong.
5. Pasal 263 tentang berita tidak pasti.
6. Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan.
7. Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama.
8. Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
9. Pasal 440 tentang pencemaran nama baik.
10. Pasal 446 tentang pencemaran orang mati.
Kordinator Aksi, Andi Ajis Muhtarom mengatakan aksi teatrikal pantomim dan tutup mulut puluhan jurnalis itu memang harus dilakukan. Pihaknya mengumpulkan tanda tangan petisi menolak sepuluh pasal dalam RKUHP yang dinilai tak berpihak pada kebebasan pers.
“Aksi kita fokus pada menolak RKUHP itu. Kita pun mengumpulkan tandatangan petisi penolakan sepuluh pasal,” ungkapnya, Kamis 26 September 2019.
Ketua PWI Majalengka, Jejep Falahul Alam mengatakan jika sepuluh pasal itu disahkan oleh DPR, maka dipastikan kritik sehalus apapun kepada pemerintah akan dianggap menghina. Sementara tugas profesi jurnalis dimanapun, harus ada kontrol sosial dan mengkritisi pihak legislatif maupun eksekutif.
“Sepuluh pasal ini jelas-jelas akan menyusahkan kerja jurnalistik nantinya,” ungkapnya.
Terpisah, mewakili pimpinan DPRD Majalengka, H. Asep Eka Mulyana mengatakan tandatangan petisi dari jurnalis gabungan “Kejam” sudah diterimanya. Pihaknya telah meneruskan ke sejumlah fraksi.
“Sudah kami share ke setiap fraksi dan akan kita sampaikan ke pusat,” ungkapnya. ( Acil)
Comment here