CERPEN

Sungai dan Aplikasi Baru

Sungai dan Aplikasi Baru

 

Cerpen : Imron Nauval

 

Macakata.com – Menjadi ayah yang baik, rupanya tidak cukup hanya memberi kasih sayang dan uang jajan kepada anaknya. Oleh karenanya, Dedi, selaku ayah dari anak pertamanya itu, jika hari Minggu atau Sabtu, ia meng-cancel semua agenda kerja maupun meetingnya. Bahkan ia sengaja menempatkan dirinya, meniru jadwal kerja seperti para PNS, yakni Sabtu dan Minggu, libur total, alias tidak berangkat kerja ke kantor.

Profesinya sebagai pengacara hukum, membuatnya kerap menerima telpon tidak terduga. Bahkan pada jam malam, termasuk dua hari yang menurutnya harus ada di tengah-tengah keluarga, Sabtu dan Minggu, selalu saja ada calon klien yang menelponnya minta pertemuan. Tujuannya untuk menyelesaikan persoalan hukum calon klien itu.

Untungnya, Dedi telah selalu memberikan nomor ponsel asistennya. Kartu nama yang ia berikan kepada sembarang orang merupakan nomor pribadi yang dipegang oleh asistennya di kantor. Juga selalu dibawa oleh asistennya ketika wekend itu.

Jika Sabtu-Minggu, Asistennya yang bernama Dewi ini hanya bertugas meneruskan informasi calon klien, melalui aplikasi sosmed terbaru. Dibuat khusus untuk komunikasi antara asisten dengan sang bos. Komunikasi itu efektif, karena tidak mengganggu, dan bisa dijawab kapan-kapan, setelah Dedi meluangkan waktu bersama keluarganya.

“Hari ini kita main ke sungai, Haidar,” ajakan itu, sengaja ia cetuskan kepada anak pertamanya yang baru berusia 5 tahun. Yang diajak terlihat antusias. Dan sempat bertanya apa itu sungai? Dan apa perbedaannya dengan kolam renang.

Dengan antusiasme yang positif, Dedi menjawab.” sungai itu air alami yang mengalir dari pegunungan ke dataran rendah. Bedanya dengan kolam renang, sungai tak punya bentuk bulat atau kotak. Bentuknya tergantung banyaknya bebatuan, struktur tanah. Dedi menjelaskan seperti kepada rekan kerjanya. Ia sadar itu salah, karena belum difahami oleh anaknya.

“Ah, sudahlah, nanti kau juga akan tahu sendiri dengan melihatnya. Anak seseumurmu itu harus lebih banyak melihat, tanpa perlu mengetahui detail maupun memahaminya. Besok lusa setelah kau cukup umur, kau pasti faham.

“Tapi di sana bisa berenang seperti di kolam, kan Yah?”

“Bisa, tentu saja. Tapi sungai saat ini terlalu dangkal. Apalagi saat ini musim kemarau. Banyak sampah juga. Sudah tercemari.”

Mendengar kata bisa berenang di sungai, Haidar langsung mengucap horee. “Bilang sana kepada ibumu. Minta ijin. Kita cuma sebentar saja. Paling satu jam. Sungainya masih tidak jauh, perjalanan cuma sepuluh menit.”

Di kampungnya memang ada sebuah sungai. Sungai itu sewaktu Dedi masih kecil, selalu dijadikan sebagai ajang bermain. Dulu, belum ada kolam renang atau watter boom, maka anak-anak kampung di Desa Harapan Mekar, selalu berenang di sungai tersebut. Bukan hanya kedalamannya yang masih terjaga, kejernihan airnya masih oke. Jika musim kemarau, bahkan airnya terlihat lebih jernih.

Orang memancing pun, dulu selalu dapat ikan-ikan yang cukup besar. Kini, sungai tersebut berubah drastis. Terlihat bebatuan Cadas besar-besar. Satu titik, yang, lima belas tahun lalu, terlihat sangat dalam, kini hanya sedalam selutut orang dewasa. Bahkan, si Haidar, bisa berdiri dengan ajegnya, ketinggian air itu hanya sedadanya.

“Asyik, Yah.”

Hanya itu kalimat yang muncul. Perbendaharaan kalimatnya, hanya sebatas itu. Dedi hanya tersenyum bangga dan puas. Ia cuma ingin mengenalkan kepada anaknya, tentang bagaimana berinteraksi langsung dengan sungai. Caranya dengan mendatangi lokasinya. Sebelumnya, sudah enam kali, Haidar bersama ibunya (istrinya) diajak ke watter boom berbeda yang ada di kecamatan tempat tinggalnya, ataupun di luar kecamatan atau pergi ke luar kabupaten. Hal itu sekaligus mencari suasana baru. Liburan rekreasi keluarga.

Dedi mengajak Haidar menyusuri batuan terjal. Tentu saja dengan persiapan yang matang. Secara langsung dan tidak langsung, Dedi ingin mengajarkan keterampilan lapangan, mendidik anaknya keberanian di medan yang cukup berat.

“Sekarang kita pulang, makan.”

“Horee, kita makan Yah. Dede juga lapar.”

“Iya, ibumu telah menyiapkan makanan khusus. Dia telah memasak telor kesukaanmu.”

Dengan sepeda kayuh merek terkenal, Dedi membawa serta Haidar di depan sadel. Mengayuh sepeda pada Sabtu pagi itu membuatnya rileks, sekaligus membuatnya gembira, karena dapat menunjukkan pengalamannya dulu kepada anaknya.

Sesampainya di rumah. Haidar langsung ke dapur. Ibunya yang diharapkan sudah memasak telor kesukaannya, terlihat duduk lunglai.

“Dede ingin makan, tadi sudah diajak main ke sungai bersama ayah.”

Sang ibu balas tersenyum masam. “Belum matang, sebentar lagi. Mana ayahmu?”

“Tuch di depan!”

“Oke. Haidar mandi dulu ya.”

“Siap. Tapi ibu nanti masakin telor ya!”

Sang ibu mengacungkan jempolnya. Tanda setuju. Lalu dia cepat cepat menghampiri sang suami.

“Tolong jelaskan siapa cewek yang lima kali menelponmu?” istrinya menunjukkan ponsel cerdas sang suami.

Dedi yang baru saja memarkirkan sepeda kesayangannya, kaget. Tidak biasanya Istrinya marah-marah begitu.

“Hey. Memangnya ada apa. Jangan marah-marah dulu. Jelaskan dulu persoalannya.”

Wati, sang istri lalu memperlihatkan bagian panggilan dalam ponsel cerdas itu. Ada lima kali panggilan tak terjawab. Setelah dilihat, itu nomor dirinya, yang sengaja dibawa oleh asistennya. Itu berarti ada klien penting.

Tapi Dedi hanya ingin menguji kecemburuan istrinya. Kapan lagi ada situasi macam ini.

“Iya, lalu kenapa? Itu bisa saja calon klien. Pengacara sudah biasa dihubungi calon klien.” sang suami berargumentasi. Dedi memasang wajah siap berdebat.

“Tapi ini sudah ada namanya. Ini pasti wanita. Sebab yang menelpon langsung muncul fotonya.” memang betul aplikasi terkini, memunculkan nomor telpon bersama wajah si pemilik nomor. Kali ini, Dedi terpojok. Apa yang harus kujelaskan.

“Oke-oke. Mamah jangan marah dulu. Tolong dengarkan dulu penjelasan ayah.”

“Dijelaskan bagaimana? Ini sudah jelas-jelas, ayah main serong dengan wanita lain.”

Sialan. Maksud hati mau menguji tingkat kecemburuan istrinya. Malah ia sendiri yang kalut. Tak bisa melerai kemarahan sang istri.

“Coba sini ponselnya. Mau ayah telpon. Biar ibu tau sendiri siapa dia sebenarnya.”

Istrinya agak ragu.

“Kalau perlu video call. Biar semuanya jelas. Supaya ibu tidak curiga. Tapi saya perlu pastikan dulu, Haidar dimana?”

“Aman. Dia lagi mandi sendiri. Cepat telpon. Saya belum masak karena sewaktu saya mau masak, dia yang mulus itu malah menelpon tak henti-hentinya. Sampai lima kali. Tapi pas mau ibu angkat, dia berhenti menelpon. Lalu saya mencoba menelpon, gak diangkat-angkat.” istrinya terus nyerocos.

“Baik. Sini!”

Ponsel itu diangsurkan oleh tangan lembut istrinya.

Dedi mulai menyentuh panggilan nomor telpon itu. Memijit gambar video. Selang beberapa detik kemudian, muncul Dewi dalam panggilan itu. Dia berpakaian sangat tertutup, tapi modis. Hanya saja wajahnya tidak seperti yang ada dalam tampilan aplikasi itu. Jauh sekali perbedaannya. Dewi ternyata berwajah bulat, gadis dengan perawakan gemuk.

“Iya pak ada apakah. Oh iya, maaf tadi salah pijit. Itu anak saya pak. Saya mohon maaf. Beribu maaf. Untuk hari ini tidak ada telpon atau pesan dari calon klien, maupun klien yang sedang kita selesaikan kasusnya.”

“Oh kirain ada klien besar. Ya sudah. Itu ibu negara, sepertinya cemburu kepada kamu, karena kamu menelpon terus ke ponsel ini.”

“Oh iya, maaf bu. Saya sudah bersuami. Juga sudah punya anak. Ini hanya kesalahan teknis. Anak saya yang memainkan ponsel. Lain kali saya akan taroh di tempat bagian atas. Biar ponselnya tidak diambil anak saya. Sekali lagi saya mohon maaf. ”

Wajah Wati mulai mengurangi kecutnya, kini dia mulai sedikit tersenyum, cuma masih terlihat malu-malu.

“Nah, selesai sudah drama itu. Apakah mamah mau meneruskan rasa cemburunya? Ataukah mau memasak. Ayah lapar sekali.”

Sang istri malu-malu tertunduk. Setelah memastikan tidak ada Haidar ataupun orang yang melihat di balik kaca luar. Dedi mulai memeluk istrinya. (***)

Comment here