Foto Karya Sang Fotografer Majalengka/Kang Ari Fizza Hits Majalengka. Diambil dari postingan akun FB miliknya. Foto hanya sekedar untuk mendukung alur cerita.
Cerita oleh : Ceng Ahmar Syamsi
Kerajaan Sindang Kasih adalah kerajaan yang hidup dalam kemakmuran. Meskipun bukanlah termasuk kerajaan besar, namun tidak mengurangi ketentraman seluruh penghuni Sindang Kasih. Di bawah kekuasaan ratu cantik nan muda bernama Nyi Rambut Kasih, Negeri tersebut berjalan laksana dipimpin oleh seorang raja yang gagah dan berwibawa.
Pemimpin dari kalangan wanita tidak menjadi penghalang bagi kemajuan sebuah negeri atau kerajaan. Jadi, emansipasi wanita sudah mulai berlaku di Kerajaan Sindang Kasih. Meskipun istilah emansipasi belum membumi pada saat itu.
Nyi Rambut Kasih memang tidak pernah menginginkan sebuah gelar ratu. Dia pun tidak pernah membayangkan sebuah kerajaan berikut rakyatnya akan ada dalam genggaman kekuasaan dan kebijakannya. Dia masih terlalu muda untuk menjadi pemimpin. Bahkan beberapa kalangan sempat meragukannya. Rambut Kasih bahkan sempat menolak, ketika sang Ayah, Prabu Gedeng Kasih menyematkan mahkota kerajaan di atas kepalanya.
“Aku tidak bisa, Ayah” tolak Rambut Kasih.
“Ayah yakin. Kamu pasti bisa” Gedeng Kasih memberinya keyakinan.
Rambut Kasih tahu. Ini sebuah amanah. Tapi jujur, ini terlalu berat. Terlalu dini. Kalaupun ia siap, mungkin itu masih beberapa tahun lagi. Usianya masih belum cukup untuk menyandang gelar ratu. Apalagi untuk mendapat segala penghormatan dari seluruh rakyat Sindang Kasih.
Tidakkah ayah berpikir, betapa sulitnya berbuat bijak terhadap rakyat. Jangan dia yang masih nol besar soal pengalaman mengatur negeri ini, ayahandanya saja yang sudah berpuluh-puluh tahun memegang kekuasaan, masih saja mengalami kendala saat harus memutus sebuah perkara.
Tapi mungkin ayahnya memang tidak punya pilihan lain. Hari-harinya kian diliputi rasa kecemasan. Siapa yang akan meneruskan kekuasaannya jika suatu hari nanti ia tiada.
“Rambut Kasih, lihatlah ayah dengan matamu! Bukankah ayah semakin hari semakin tua?” ujar Gedeng Kasih.
“Tapi tidak sekarang, Ayah. Mungkin sepuluh atau lima belas tahun lagi, baru aku siap meminpin negeri ini” Rambut Kasih bersikeras.
“Bagaimana kalau seandainya tuhan memanggil ayah besok atau sekarang? Apa kau juga tetap tidak mau menggantikan ayah?”
“Ayah jangan berkata seperti itu”
“Tapi ini kenyataan, Kasih. Ayah hanya memiliki satu anak, yaitu kau, Kasih. Sekarang atau nanti sama saja. Engkau tetap akan memimpin negeri ini”
“Tapi tidak secepat ini, Ayah”
“Lebih cepat akan lebih baik, Kasih”
Rupanya penolakan dalam bentuk apapun tidak akan pernah mempan. Prabu Gedeng Kasih adalah raja yang disegani oleh rakyatnya. Tidak ada yang berani melanggar titahnya. Dan akhirnya Rambut Kasih memang harus menyerah pada kenyataan. Bagaimana mungkin ia harus melanggar titah sang ayah, sementara orang lain saja takut dan hormat pada Gedeng Kasih.
Rambut Kasih benar-benar dilematis. Di satu sisi ia tidak siap. Sementara di sisi yang lain, perempuan cantik itu tidak mau mengecewakan ayahnya.
Tapi itu dulu. Sekarang, saat semuanya sudah dalam genggaman Kasih, ia berhasil menjadi ratu yang adil dan bijaksana serta dicintai rakyatnya. Segenap rakyat Sindang Kasih merasa bangga dipimpin oleh seorang ratu yang adil, cerdas dan juga cantik.
***
Sementara Negeri Sindang Kasih diliputi ketentraman, berbeda dengan yang dialami Negeri Cirebon, sebuah negeri besar yang letaknya di sebelah utara Sindang Kasih. Cirebon sedang mengalami musibah. Banyak dari rakyatnya yang mengalami penyakit menular yang sangat membahayakan. Negeri itu dipimpin oleh Prabu Sunan Gunung Jati.
Prabu Sunan Gunung Jati kian resah menghadapi cobaan untuk negerinya. Sebab sampai saat ini, belum ditemukan satu penawar pun yang dapat mengobati penyakit tersebut.
“Tidak adakah tabib yang dapat mengobati penyakit yang melanda negeriku ini? Aku khawatir akan semakin banyak rakyatku yang meninggal akibat penyakit menular itu. Hal ini tidaklah baik bagi kelangsungan hidup di Negeri Cirebon” ujar Prabu Gunung Jati pada cucunya, Gusti Pangeran Muhamad.
“Aku sudah mengerahkan semua prajurit untuk mencari penawarnya. Tapi sampai detik ini, penawar itu masih belum ditemukan” sanggah cucunya.
“Aku yakin, tidak semata-mata Alloh menciptakan suatu penyakit, sehingga Dia pun menyediakan obatnya”
“Tapi…….”
“Kita tetap berdo’a dan ikhtiar”
Dalam kebingungan itu, datanglah seorang prajurit menghampiri keduanya.
“Ampun, Gusti”
“Ada apa, prajurit? Adakah sebuah kabar gembira yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Prabu Sunan Gunung Jati.
“Benar sekali, Gusti”
“Mengenai apa?”
“Penawar untuk penyakit yang sedang melanda Negeri kita, Gusti”
“Benarkah, prajurit? Apa nama penawar itu? Dan di manakah keberadaannya? Bisakah kita mencari obat itu sekarang?” Sunan Gunung Jati terkesiap. Sampai-sampai ia terbangun dari duduknya. Begitu gembira ia mendengarnya.
“Di negeri seberang, Gusti”
“Negeri seberang yang mana, prajurit? Cepatlah katakan! Aku benar-benar tidak sabar. Cepatlah katakan! Jangan bertele-tele! Agar rakyat Cirebon segera terbebas dari penyakit mematikan itu”
“Penawar itu bernama buah Maja. Keberadaannya di Negeri Sindang Kasih. Negeri yang terletak di sebelah selatan Negeri kita, Gusti”
“Buah Maja? Tidak adakah buah itu di sini?”
“Tidak ada, Gusti. Buah itu hanya ada di Negeri Sindang Kasih”
“Jika benar penawar itu adalah buah Maja dan keberadaannya di Negeri Sindang Kasih, maka tidak ada pilihan lain. Kita harus mengambil buah itu secepatnya”
Prabu Sunan Gunung Jati berpikir sejenak. Sebutuh apapun buah itu, tetap saja harus meminta izin terlebih dahulu pada pemilik kekuasaan. Prabu Sunan sudah mengetahui siapa pemegang kekuasaan di Negeri Sindang Kasih itu. Seorang ratu cantik nan muda, namun cerdas dan bijak bernama Nyi Rambut Kasih.
Sang Prabu sudah cukup tahu banyak informasi mengenai Negeri itu. Tentang pemimpinnya, rakyatnya, bahkan keyakinan yang dianutnya. Sindang kasih adalah negeri dengan penganut Budha. Berbeda dengan negerinya yang masyarakatnya mayoritas menganut agama islam.
Namun entahlah. Apakah islam sudah sampai ke negeri itu atau belum. Ada sedikit ganjalan yang membuat Prabu Sunan tampak lama berpikir. Akankah sang Ratu Sindang Kasih sudi membantu negerinya yang mengalami darurat penyakit, sementara agama mereka berbeda?
Mungkinkah dia mempunyai sikap toleransi yang tinggi? Bagaimana jika sebaliknya? Ratu Sindang Kasih malah tidak mau memberinya buah maja itu.
“Maaf, Kek. Apa yang membuat Kakek berpikir lama?” tanya Gusti Pangeran Muhamad.
“Aku mempunyai sedikit keraguan” jawab Prabu Sunan.
“Keraguan tentang apa? Bukankah kita tidak memiliki waktu banyak. Rakyat Cirebon sudah banyak yang menderita akibat penyakit itu”
“Kita tidak boleh gegabah. Buah Maja itu terletak di negeri orang lain. Selain kita harus meminta izin terlebih dahulu, kita juga harus mengetahui karakter pemimpinnya”
“Bukankah Negeri itu dipimpin oleh seorang wanita?”
“Benar”
“Aku dengar juga dia ratu yang adil dan bijak terhadap negerinya”
“Itu juga benar”
“Lantas apa yang membuat kakek menjadi ragu?”
“Dia memiliki keyakinan yang berbeda dengan kita. Itulah yang membuatku ragu, Muhamad. Aku takut dia tidak memiliki rasa toleransi terhadap yang bukan bangsanya”
“Dia…”
“Dia bukan Muslim seperti kita”
“Tapi apa salahnya kalau kita mencoba. Ratu Sindang Kasih sudah terkenal akan keadilan terhadap negeri dan rakyatnya. Aku kira keadilannya juga akan dirasakan oleh orang yang bukan dari negerinya. Bukankah begitu pemimpin yang baik?”
“Baiklah. Beri aku waktu untuk berpikir lagi. Sementara yang aku tugaskan untuk mengambil buah Maja adalah kau dan istrimu. Bersediakah kau jika aku tugaskan ke sana?”
“Dengan segala hormat aku pasti bersedia”
“Baiklah. Tunggu perintahku selanjutnya! Aku akan mengatur waktu untuk kepergianmu”
***
Malam yang sunyi. Kerajaan Cirebon masih diliputi duka mendalam. Penyakit menular semakin banyak memakan korbannya. Tadi siang dua warga dilaporkan meninggal dunia akibat penyakit itu.
Prabu Sunan Gunung Jati baru saja keluar dari langgarnya. Lama ia berada di sana. Dari sebelum Maghrib tadi ia sudah duduk terpekur. Hatinya memanjatkan do’a. Meminta petunjuk pada Ilahi Robbi.
Sementara para pembesar kerajaan, termasuk cucunya sendiri sudah menunggu di ruang rapat. Mereka sudah menunggu sangat lama di sana. Seorang perempuan lalu datang dan duduk di samping Pangeran Muhamad. Di adalah Siti Armilah. Istri dari Pangeran Muhamad.
“Kakek masih belum datang juga?” tanya Siti Armilah.
“Belum. Kita beri kakek dulu waktu”
Prabu Sunan tiba di ruangan rapat. Semua yang hadir memberi hormat ta’dzim padanya. Dia duduk di tempat yang sudah tersedia. Tempat itu sudah sedari tadi menunggu untuk diduduki.
Semua hening.
“Baiklah. Aku sudah mengambil sebuah keputusan. Aku akan menugaskan cucuku sendiri, Gusti Pangeran Muhamad dan istrinya untuk mengambil buah penawar itu ke Negeri Sindang Kasih”
“Apa perlu pengawalan untuk bisa mengantar keduanya?” tanya seorang patih.
“Ng…….. Aku rasa tidak perlu, paman patih. Aku kira cukup kami berdua saja yang pergi ke sana?”
“Tapi bagaimana dengan keselamatanmu, Gusti Pangeran?”
“Jangan khawatir. Aku dan Siti Armilah insya Alloh bisa menjaga diri. Do’akan saja agar aku dan istriku selamat dan bisa membawa pulang buah Maja itu”
“Benar apa yang dikatakan oleh Pangeran Muhamad. Jika terlalu banyak orang yang ikut ke sana, aku takut justru akan menimbulkan kecurigaan. Mereka akan mengira kita akan menjajah negeri mereka atau mengajak mereka berperang”
“Ampun, Gusti. Saya patuh terhadap perintah Gusti” Patih mengalah.
“Ingat Muhamad! minta izinlah terlebih dahulu pada Ratu Sindang kasih. Katakan padanya negeri kita sedang dilanda musibah. Negeri kita diserang penyakit menular yang mematikan. Dan ambilah buah Maja itu secukupnya saja!”
“Baiklah…….”
***
Sepasang kuda sudah dipersiapkan oleh para pengawal kerajaan. Hari masih gelap. Pangeran Muhamad sedang mempersiapkan bekal untuk ia bawa ke sana. Sementara istrinya sibuk menyiapkan makanan untuk di perjalanan.
Gusti Pangeran Muhamad duduk di bibir ranjangnya. Pikirannya mulai liar tak tentu arah. Kalimat kakeknya mengenai Ratu Sindang Kasih yang bukan beragama islam berputar-putar di kepalanya.
Kini perasaannya mulai dihinggapi niat lain untuk pergi ke Negeri Sindang kasih. Hatinya mulai bersiasat. Begitulah manusia, selalu berusaha menggali lubang lebih besar saat melihat celah sebesar jarum.
“Alangkah baiknya jika aku datang ke sana sembari menyebarkan islam. Aku harus bisa menaklukkan Ratu Sindang Kasih”
Andai Prabu Sunan Gunung Jati mengetahuinya. Ini adalah kesalahan. Hal yang sebenarnya menyalahi aturan. Karena sesungguhnya Sang Prabu Sunan menugaskannya hanya untuk mengambil buah Maja guna penawar penyakit, bukan ditugaskan untuk menyebarkan agama islam.
Ada yang dilupakan oleh Pangeran Muhamad. Yakni pembelotan sebuah amanah.
***
Siang yang panas. Angin yang berdesir tak mampu mendinginkan suasana hati Rambut Kasih. Ia sudah tahu tentang akan datangnya tamu dari negeri seberang. Dan dia akan mengizinkan tamu itu untuk mengambil buah Maja di wilayahnya.
Tapi itu bukan sekarang. Hatinya sudah berubah. Kini ia murka pada calon tamunya itu. Rambut Kasih rupanya mengetahui niat lain dari kedatangan Pangeran Muhamad ke negerinya.
“Kurang ajar. Rupanya orang dari negeri seberang itu hendak membawa ajarannya ke negeriku. Dan dia akan mencoba menaklukan aku. Padahal aku sudah berniat mau menolongnya”
Rambut Kasih segera pergi ke tempat pertapaannya. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia melenyapkan begitu saja buah Maja yang tumbuh subur di dataran Sindang Kasih. Hanya beberapa saja yang masih bisa terlihat.
“Rasakan, Muhamad. Itu karena tingkahmu sendiri. Kau tidak amanah. Kau ingin mencoba mendayung tiga pulau sekaligus. Kau serakah, Muhamad” ujarnya murka.
Setelah sebagian besar pohon buah Maja lenyap dari dataran Sindang Kasih, sang ratu mengumpulkan semua pembesar kerajaan.
“Aku sengaja menyuruh seluruh pembesar hadir pada siang ini. Ada yang hendak aku katakan pada kalian semua”
Sebenarnya seluruh pembesar kerajaan diliputi rasa bingung. Rapat ini dibuat mendadak. Ini seperti sebuah rapat darurat. Ada apa dengan Negeri Sidang Kasih? Adakah yang mengajaknya berperang? Sebab sebelumnya tidak pernah terdengar desas-desus, bahwa negeri mereka ini dilanda musibah atau semacamnya, yang membuat sang ratu harus mengumpulkan pembesar kerajaan dalam keadaan mendadak.
“Apa yang membuat ratu memerintahkan kami semua berkumpul di sini secara mendadak?” tanya salah satu yang hadir. “Aku hanya ingin mengabarkan kepada kallian semua, bahwa kita akan kedatangan tetamu dari negeri seberang” jawab Rambut Kasih.
“Siapa dan darimana mereka itu, baginda ratu?” tanya yang lainnya.
“Mereka adalah utusan Prabu Sunan Gunung Jati dari Negeri Cirebon”
“Untuk tujuan apa mereka datang kemari, baginda ratu?”
“Mereka hendak mengambil buah Maja untuk penawar penyakit menular yang sekarang sedang melanda Negeri Cirebon”
“Lantas apa yang harus kami lakukan, baginda ratu? Apakah kami harus menghadang mereka?”
“Tidak perlu” jawab Rambut Kasih.
“Lantas apa yang membuat baginda ratu mengumpulkan kami?”
“Salah satu dari mereka ada yang mempunyai niat lain dengan datangnya ke negeri kita ini”
“Nia lain apa? Apakah mereka berniat menjajah Negeri Sindang Kasih, ratu?”
“Bukan”
“Lantas apa?”
“Mereka hendak menyebarkan agama baru di dataran Sindang Kasih ini. Aku, kalian dan rakyat Sindang Kasih harus waspada dengan kedatangan mereka”
“Agama baru?”
“Ya. Agama baru itu adalah agama Islam”
“Aku tidak suka niat lain yang dibawa salah seorang mereka itu. Padahal aku sudah hendak menolong mereka. Tapi aku batalkan. Maka dari itu, aku lenyapkan sebagian besar pohon buah Maja yang ada di dataran Sindang Kasih ini. Hanya beberapa saja yang aku sisakan. Hal itu sengaja aku lakukan, agar mereka tidak ragu dengan keberadaan buah Maja di Negeri kita ini”
Semua pembesar diam.
Rambut Kasih hendak meninggalkan ruang berkumpul.
“Tunggu, baginda ratu!” tahan seorang patih.
“Jadi kita bagaimana menghadapi mereka?” tanya yang lain.
Rambut Kasih tak langsung menjawab. Ia mondar-mandir mencari jawaban yang tepat. Dalam keadaan apapun keputusan seorang pemimpin haruslah tetap bijak. Begitulah yang ada dalam benak sang ratu.
“Begini saja. Sebagai pemimpin Negeri Sindang Kasih. Aku tidak melarang kalian atau rakyat Sindang Kasih untuk mengikuti ajaran yang dibawa utusan Prabu Sunan Gunung Jati itu. Tapi aku tetap tidak ingin bertemu dengan dia”
“Tapi, baginda…….”
“Cukup, Patih. Itu sudah menjadi keputusanku”
“Mohon ampun, Baginda ratu”
Rambut Kasih berlalu begitu saja. Ia keluar dari ruang berkumpul dengan sangat tergesa. Para pembesar kerajaan pun membubarkan diri dengan perasaan tak menentu.
Matahari semakin terasa panas. Sepanas gejolak hati Rambut Kasih di tempat pertapaannya.
***
Pangeran Muhamad dan Siti Armilah tiba di perbatasan Negeri Sindang Kasih. Ada beberapa prajurit yang akhirnya terpaksa dibawa dalam perjalanannya. Setelah melalui pertimbangan, beberapa prajurit itu akan dibutuhkan untuk membawa buah Maja.
“Kita sudah masuk wilayah Negeri sindang Kasih, Gusti” ujar salah satu prajurit.
“Mana buah Maja yang kita cari. Katanya buah itu di sini banyak sekali” sahut Siti Armilah pada suaminya.
“Mungkin sebelah sana” tunjuk Pangeran Muhamad”kita jangan langsung memetik buahnya. Kita harus meminta izin terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan kakek kemarin” lanjutnya.
Hingga sampailah rombongan dari Cirebon itu ke istana Sindang Kasih, tapi buah mujarab itu tak jua ditemukannya. Bersamaan dengan itu, sang Ratu Sindang Kasih pun lenyap entah ke mana.
Saat itu para prajurit Negeri Cirebon saling berteriak heran karena buah Maja yang dicari tak dapat ditemukan.
“Maja…….. hilang……..langka. Maja…….. langka”
“Benar. Buah Maja…….. langka…….”
***
“Aku tahu ini salahku” ujar Pangeran Muhamad.
“Salahmu? Mengapa?” tanya Siti Armilah.
“Saat aku hendak berangkat ke sini, terbersit dalam pikiranku untuk melakukan hal lain di negeri ini, selain mengambil buah Maja”
“Hal lain apa?” Siti Armilah kian heran.
“Aku hendak menyebarkan agama Islam di negeri ini”
Siti Armilah pun terdiam mendengar pengakuan suaminya.
“Apa yang engkau lakukan memang tidak salah. Tapi kau menyalahi aturan dalam menjalankan amanah. Bukankah kau diutus ke negeri ini untuk mencari buah Maja?”
“Benar……. Seandainya Kakek tahu apa yang aku lakukan, pasti dia pun akan sangat sedih. Apa yang kita cari untuk obat rakyat Cirebon tak kita temukan. Mungkin Ratu Rambut Kasih murka mengetahui niatku. Jadilah dia melenyapkan pohon buah Maja”
Akhirnya untuk menebus semua kesalahannya, Pangeran Muhamad meminta kepada istrinya untuk meninggalkannya di sebuah pertapaan bernama Marga Tapa. Sementara istrinya, diperintahkan untuk membimbing warga Sindang Kasih yang kehilangan ratunya.
Teriakkan Maja hilang atau Maja langka menjadi awal tercetusnya nama sebuah daerah bernama MAJALENGKA. Dan tempat pertapaan Pangeran Muhamad saat ini di kenal dengan Gunung Marga Tapa. Di sanalah pula terdapat Makam yang konon katanya makam Mbah Pangeran Muhamad.
Sedangkan istrinya, Siti Armilah dikenal dengan sebutan Eyang Badori, karena konon katanya, ia mulai membuka padepokan untuk belajar agama Islam di Bawah Pohon Badori.
Sementara Rambut Kasih, sang ratu Negeri Sindang Kasih hingga saat lenyap tak berbekas entah ke mana.
**** Cerita ini pernah diikutsertakan dalam lomba sayembara cerita rakyat nusantara. Hanya saja tidak lolos.
Penulis tinggal di Majalengka. Sejumlah karyanya telah terbit dalam buku antologi cerpen.
Comment here