CERPEN

Oyot

Foto hanya ilustrasi

                                        Oyot

Cerpen karya : Ceng Ahmar Syams

Sang lelaki hanya terisak melihat perempuan terkasihnya terbujur kaku. Mata itu sekarang tertutup rapat. Tak berbinar lagi seperti saat pagi tadi. Bahkan senyum yang selalu jadi penghias bibir, kini terkatup. Dia berharap keajaiban, jika perempuan yang ada di hadapannya bisa hidup kembali. Berulang kali, ia membuka kain penutup yang dikurungkan pada tubuh kaku itu. Memandang iba wajah bersih tetapi pucat pasi. Lalu menangis sesenggukan.

Sementara orang-orang lalu-lalang. Mereka tak hanya mengucap bela sungkawa, tetapi penasaran melihat tubuh kaku yang dirimbun kain batik itu. Sedikit membuka di bagian wajah. Lalu merafal doa.

Hari kian merangkak petang, namun lelaki itu masih saja enggan beranjak. Beberapa orang bergantian berbisik ke kupingnya. Tubuh kaku itu harus segera dimandikan. Tetapi ia tak peduli. Ia masih ingin berlama-lama memandangi wajah pucat itu.

“Maafkan aku, Inah…..!! maafkan aku…!!” sang lelaki ambruk pada tubuh kaku itu.

Di menit berikutnya, malah terdengar suara raungan. Bukan lagi sesenggukan.
***
“Perkenalkan… nama saya Lestari. Dan ini teman saya, Akbar”
“Oh iya. Saya Saeful. Saya kepala desa di sini”
“Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih. Kami disambut dengan sangat baik” Akbar menimpali.

“Sama-sama. Tapi ya…. saya mohon maaf. Di sini segala sesuatunya serba terbatas. Maklum ini di pelosok” sang kepala desa berulang kali meminta maaf atas kondisi desanya, yang dalam pandangan pribadinya masih jauh dari berkembang. Ini permintaan maaf yang ketiga kalinya dari semenjak bertemu lima belas menit lalu.

Padahal desa ini tidak terlalu buruk. Dalam pandangan Lestari maupun Akbar, Desa ini lumayan tertata. Hanya saja akses jalan menuju desa masih sangat parah. Jalanan sepanjang hampir enam kilometer menuju desa ini masih belum terbalut aspal. Alhasil, di musim apapun jalan selalu tampak mengerikan. Bila musim kemarau, jalan itu akan pekat dengan debu dari tanah yang setengah berpasir. Sedang bila musim penghujan tiba, akan lebih parah lagi. Selain becek, jalan akan tampak seperti tempat pemandian kerbau. Kubangan air kotor akan tampak di sepanjang jalan.

Selebihnya, rumah-rumah penduduk masih banyak yang menggunakan anyaman bambu. Ada yang setengah bangunan, ada pula yang seluruh bangunan. Tapi setidaknya masih masuk kategori layak huni. Karena, meski dari anyaman bambu, rumah-rumah itu terlihat enak dipandang. Entahlah, apa mungkin karena mayoritas rumahnya sama, atau karena apa? Yang pasti bukan menjadi hal yang patut dikhawatirkan melihat hunian para penduduk di desa yang baru setengah jam lalu mereka jejaki.

Di desa itu, bangunan berdinding tembok bisa terbilang oleh jari tangan. Hanya rumah kepala desa, balai desa, mesjid dan sekolah. selebihnya ada beberapa rumah penduduk lainnya.
“Tapi desa ini tidak masuk desa tertinggal kan, pak? Buktinya listrik sudah ada di sini” tanya Akbar.

“Mungkin kalo tertinggal tidak. Hanya ketinggalan zaman saja” seloroh sang kepala desa.
Lestari dan Akbar hanya saling berpandangan.

“Ketinggalan zaman karena tidak memiliki akses jalan yang mulus?” Lestari mencoba menjabarkan.
“Salah satunya itu”
“Tapi desa ini bagus ya, pak. Pemandangannya juga keren. Enggak ada lho di kota yang kayak beginian” Akbar mencoba memuji desa itu dari sisi lain.

“Ya jelas tidak ada. di kota mana ada jalan yang mirip tempat mandi kebo” tukas Kades yang tersemat di dada kanannya dengan nama Saeful.
“Ng…. A-anu…. maksud saya, yang enggak ada di kota itu pemandangannya, pak. Di sini tuh pemandangan gunungnya keren banget, terasering sayurannya juga Amazing, udaranya juga seger, banyak pepohonan, tanaman-tanaman sayuran. Itu semua enggak nemu kalo di kota, pak” terpaksa Akbar menjelaskan panjang lebar soal ucapan sebelumnya.

Orang nomor satu di desa ini, sepertinya lebih sering salah tangkap saat meladeni lawan bicaranya. Atau memang sengaja diplesetkan supaya lebih terkesan ironi. Mengingat lawan bicaranya adalah dua mahasiswa dari kota.
Entahlah….. keduanya malah terlihat menggaruk kepala.
Jangan-jangan lagi ngetes. Gumam mahasiswa berkacamata tebal itu.

Pak Saeful hanya tersenyum satire. Barangkali dia malu kedatangan dua mahasiswa dari kota, sementara desanya masih semrawut. Tapi itu semrawut versinya. Atau mungkin sang kades punya ekspektasi tinggi soal membangun desa, hanya saja realissasinya terhalang banyak birokrasi. Jadilah desanya mandek tidak berkembang. Termasuk soal jalan yang masih berbalut tanah.
Entahlah juga…

Lestari sesekali membidikkan kamera SLRnya ke beberapa arah. Ke arah perbukitan yang memanjang, tanaman-tanaman sayuran yang ternyata banyak tumbuh juga di pekarangan rumah. Tanaman kol yang sudah siap panen pun tak luput dari bidikan kameranya.
“Itu cuma tanaman kol kali. Enggak usah difoto-foto. Enggak sekalian tuh difoto sama uletnya” cibir Akbar.
“Sirik aja. Bilang aja mau difoto juga”
Pak Saeful tersenyum melihat tingkah dua mahasiswa itu.
“Rencananya Neng Lestari berapa hari di sini?”
“Mungkin dua minggu, pak”
Pak Saeful mengangguk.
“Kalo begitu Neng Lestari sama Kang Akbar menginap di rumah saya saja ya”
“Waduh jadi merepotkan. Kami bisa mencari kontrakan di sini. Atau mungkin bisa menyewa kamar di rumah penduduk”
“Daripada menyewa mending di rumah saya saja. Gratis..”
“Wah tambah merepotkan atuh, pak” ujar Akbar sedikit sumringah saat mendengar kata “gratis”.
“Tidak apa-apa. Kebetulan di rumah saya ada dua kamar kosong”
“Sekali lagi terima kasih atas tawarannya” Lestari tersipu.
“Nah itu rumah saya” tunjuk Pak Saeful ke arah rumah lumayan besar dengan halaman yang luas. Pohon alpukat yang berbuah lebat menyambut ketiganya di halaman awal rumah.
Lestari tersenyum saat melihat pohon alpukat yang sudah siap petik. Buah favoritnya.
“Kalo Neng suka. Tinggal ambil saja” Pak Saeful seakan bisa membaca apa yang ada dibenak Lestari.
Lestari mesam-mesem. Hatinya agak tersentil. Apa mungkin wajah mupengnya memang sangat terlihat jelas saat melihat alpukat, sehingga Pak Saeful bisa dengan mudah menerka apa yang dalam benak gadis berjilbab merah marun itu.

Saat memasuki ruang utama rumah, ketiganya disambut seorang perempuan berciput. Senyum ramah menjadi awal perkenalan dua mahasiswa dengan istri Pak Saeful itu.
“Ini pasti Neng Lestari. Iya kan?” tebak perempuan yang belum terlihat gurat ketuaannya.
“ Iya, bu…” Lestari menyalaminya.
“Dan yang ini pasti Kang Akbar” tebaknya lagi.
“Betul, bu” Akbar pun menyalaminya.
“Silahkan duduk! Saya mau buatkan minuman dulu”
“Tidak perlu repot-repot, bu. kami sudah minum di balai desa” tahan Lestari.
“Tidak apa-apa. Siapa tahu haus lagi” selorohnya seraya pergi ke ruang belakang.

Sementara Pak Saeful entah pergi kemana. Lestari dan Akbar hanya duduk tenang. Barulah detik berikutnya Lestari mengedar pandang ke sekililing ruangan. Sementara sahabat lelakinya, memilih menyibukkan diri dengan gadget. Rumah ini terbilang besar untuk ukuran rumah di pedesaan. Bahkan boleh dikatakan mewah. Hanya saja barang-barang di dalamnya tak terlalu banyak. Di ruang tamu milik Pak Saeful hanya ada empat buah kursi plus meja, televisi, bufet berisi beberapa gelas dan selebihnya ada foto-foto Pak Saeful dan istrinya.

Selain itu, rumah ini terkesan sunyi. Lebih tepatnya sepi. Tak ada kegaduhan. Tak ada suara riuh anak-anak. Apa mungkin anak-anak dan cucunya Pak Saeful dan istri berada di kota lain? Atau keduanya malah tidak memiliki anak? Jadi mereka tidak punya cucu.

Lestari terus mengedar pandang. Mencari sesuatu yang lain. Yang mungkin ada barang atau benda kuno koleksi milik sang pemilik rumah. Kalau diizinkan ia berniat ingin mengabadikannya. Keris mungkin? Atau pedang?
Tapi tak ia temukan. Namun matanya tiba-tiba berhenti pada sebuah foto seorang laki-laki muda memakai pakaian wisuda lengkap dengan toganya. Sementara di sudut lain, ada juga foto lelaki yang sama, namun diapit oleh Pak Saeful dan istrinya. Ukurannya tiga kali lebih besar dari foto yang tadi.

Aneh… kenapa foto-foto itu sebelumnya luput dari perhatian?
“Saya sebenarnya kurang paham dengan penelitian yang akan dilakukan Neng Lestari dan Kang Akbar” tiba-tiba suara Pak Saeful mengagetkan kedua tamunya.
Lestari reflek menoleh ke arah asal suara itu. Sementara Akbar langsung memasukkan gawainya ke dalam saku baju.

“Tentang apa itu?” lanjutnya bertanya.
“Penelitian hutan, pak” jawab Akbar.
“Kami perlu meneliti keadaan hutan, tentang pohon-pohon, lingkungan, kualitas tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan hutan” Lestari menerangkan.
Sang kepala desa manggut-manggut.
“Apakah hutan di sini masih terjaga dengan baik? Terutama hutan yang wilayahnya dekat perkampungan penduduk?” tanya Akbar.

“Sejauh ini masih terjaga dengan baik. Penduduk di sini juga tidak ada yang berani mengambil kayu dari hutan”
“Kenapa, pak? Takut terkena kutukan ya?” celetuk Akbar.
“Sudah turun temurun. Kecuali hanya mengambil ranting atau kayu yang tumbang”
“Bagus itu, pak. Dengan sendirinya penduduk desa ini berarti memiliki kesadaran memelihara lingkungan. Terutama hutan”
“Mungkin warga tidak mau kejadian dulu terulang lagi”

“Kejadian dulu? Kejadian apa, pak?” Akbar membetulkan letak duduknya. Pikiran pemuda itu melayang kemana-mana. Apa mungkin kampung ini dulunya pernah terjadi sesuatu yang berhubungan dengan hal mistis? Kutukan? Sihir? Atau hutan angker? Kalau benar kejadiannya seperti itu, sepertinya ia harus membuat opsi. Membuat penelitian di hutan penuh kutukan atau pulang dan mencari hutan yang aman.

“Dulu di kampung ini……”
“Maaf lama ya. Ibu menggoreng ubinya mendadak. Biar bisa dinikmati panas-panas. Maaf cuma seadanya” istri Pak Saeful memenggal kalimat suaminya.
“Dinikmati saja dulu. Nanti sore kita lanjutkan cerita-ceritanya”

Lestari membuang nafas meski dengan bibir yang tetap tersenyum. Sementara Akbar menepuk pahanya sendiri. Seakan misteri yang hampir terpecahkan gagal terungkap.
***
Lelaki tua itu duduk di beranda rumah. Hal yang biasa ia lakukan setiap hari. Sudah puluhan tahun rumahnya sepi. Tak ada anak. Apalagi cucu. Karena memang ia tak punya anak. Istrinya pun sudah pergi. Bukan kabur, tetapi Tuhan memanggilnya lebih dulu. Membuat lelaki berambut putih itu sering merana. Bahkan menyesali hidupnya yang sudah setua ini.
Kenapa Tuhan tidak memanggilnya lebih dulu dibanding istrinya?
Kenapa Tuhan masih memberinya umur hingga hari ini? Hingga setua ini?
Padahal ia sering sakit. Batuk yang tak pernah berhenti setiap malam harusnya sudah mengantarkannya pada liang kubur. Atau mungkin ia mati tanpa diketahui siapa-siapa. Mengingat ia hanya hidup sebatang kara. Lelaki sepuh itu selalu berharap kematian datang segera. Tak perduli dia mati diketahui orang ataupun sudah membusuk saat diketemukan.

Segelas air panas tersuguh di depannya. Sebenarnya ingin minum kopi. Tapi kopi sachet pemberian tetangganya sudah habis. Jadilah ia hanya meminum air panas. Tiba-tiba ia menghela nafas panjang. Setiap pagi istrinya yang sibuk menyediakan segala kebutuhan. Makanan, minuman dan segala perangkat pekerjaan. Tapi itu puluhan tahun lalu. Dan puluhan tahun lalu pula, di beranda ini, terakhir kali ia melihat istrinya tersenyum sebelum akhirnya tak pernah melihat lagi senyum perempuan terkasihnya.

Dulu atau mungkin juga hingga sekarang, orang-orang masih ada yang menganggapnya gila. Tetapi beberapa dari mereka, justru menaruh iba pada lelaki sebatang karang itu. Makanan dan minuman mereka hantarkan bergantian. Atau kadang ia yang menjual kemampuannya yang tak seberapa. Ia hanya bisa membuat alat-alat rumah tangga. Bakul, kipas bambu, ataupun nampan untuk menampi beras. Itupun tak produktif.

Rumahnya yang terpencil dari kawasan pemukiman penduduk kian menegaskan bahwa hidup lelaki tua itu seolah benar-benar terisolir. Yang disebut tetangga olehnya mungkin jaraknya tidak kurang dari seratus meter. Hanya jalan setapak yang mungkin membuat rumahnya tampak tak sepi sepanjang siang. Di belakang rumah bambunya, sebuah bukit berdiri angkuh. Bukit itu juga yang menjadi gerbang menuju hutan yang akan menjadi tempat penelitian Lestari dan Akbar.
Ini hari kedua mereka bolak-balik ke hutan. Bukan hanya berdua. Selalu ada penduduk setempat yang ikut menemani. Pak Saeful yang mengutus langsung.

“ Bagaimanapun juga Neng Lestari dan Kang Akbar ini adalah tamu. Dan saya sebagai tuan rumah wajib melindungi dan membuat tamu harus merasa nyaman”
Penelitian ini merupakan penelitian ketiganya. Dua penelitian sebelumnya di daerah Jawa Tengah dan Bogor. Manfaat dari penelitiannya adalah mampu mengetahui keadaan geografis tanah. Dan berkat kemampuannya, dua wilayah yang masuk penelitian dapat diselamatkan dari bencana. Meski konsekuensinya, sebuah kampung atau desa harus direlokasi. Tapi itu lebih baik ketimbang peradaban kampung lenyap hanya dalam satu malam, karena tersapu longsor.

Maka dari setiap akhir penelitiannya, gadis energik itu selalu mengkampanyekan pentingnya menanam pohon, pentingnya reboisasi dan pentingnya menjaga kelestarian hutan. “Hutan adalah paru-paru dunia. Sebagian besar oksigen yang menopang kehidupan kita bersumber dari hutan. Akan tetapi, hutan juga perlu dikelola agar tak habis diambil manfaatnya saja” Lestari memberi pesan.

“Maaf, kang saya boleh nanya?” tanya Lestari pada Kang Iman, orang yang dua hari ini mengantarnya ke dalam hutan bersama Akbar.

“Boleh. Silahkan saja”
“Saya penasaran dengan gubuk itu. Eh… maksud saya rumah itu” Lestari segera meralat kalimatnya sebelum ada respon lain dari Kang Iman.
“Itu rumah Oyot, Neng”
“Jadi benar ya itu rumah? Ada penghuninya?”
“Ada. tapi dia jarang keluar”
“Berapa orang?”
“Satu orang”
“Oyot itu….??”
“Iya, Neng. Oyot itu laki-laki”

“Rumahnya terpencil di sini?” pertanyaan Lestari berikutnya lebih tegas lagi. Maksudnya ia heran saja, kok seorang kakek renta dibiarkan tinggal seorang diri di rumah yang sudah mirip gubuk. Bagaimana kalau dia sakit? Bagaimana kalau terjatuh? Bagaimana kalau dia….? Apa tidak ada orang peduli satu pun di kampung ini? Atau minimal merelokasi tempat tinggalnya ke tempat yang lebih aman dan dekat dengan rumah penduduk?

“Aku harus bicara dengan Pak Saeful” gumam gadis yang tak pernah lupa membawa pulpen dan buku saku.
Lestari melirik ke arah bukit yang berada tepat di belakang rumah Oyot.

Kesimpulan sementara dari penelitiannya, tekstur tanah di bukit itu tidak terlalu stabil. Ada kemungkinan suatu saat nanti bisa amblas dan menimpa rumah Oyot. Ditambah ada penemuan tak terduga dari dalam hutan yang cukup mencengangkan. Beberapa pohon dibabat sengaja. Sepertinya Pak Saeful kecolongan. Bukankah hutan yang gundul rentan menimbulkan erosi dan tanah longsor?
Saat melewati rumah Oyot, Lestari berhenti sejenak. Lalu menengok sebentar ke arah rumah itu, sebelum akhirnya Akbar memberikan kode dengan suara mulutnya. Pintu rumahnya tertutup rapat. Hanya terdengar suara batuk. Itu suara batuk Oyot. Sosok yang tak pernah ia tahu. Tapi sedikit mengusik batin gadis itu.
***
“Dia gila?” tanya Akbar pada Pak Saeful.
“Lebih tepatnya depresi” lelaki yang memiliki kumis tebal itu lebih menyederhanakan kalimat Akbar “Cerita saya tempo hari tentang kejadian tiga puluh tahun lalu di kampung ini, ya Oyot itu”

“Allah…..” Lestari merafal.

“Sejak istrinya meninggal, Oyot seperti kehilangan separuh hidupnya. Dia selalu tampak murung. Malah kadang berbicara sendiri. Makanya orang-orang kadang menyangka dia gila”

“Lantas darimana dia makan? Apalagi sekarang sudah srenta itu?” Lestari penasaran.

“Kami, para warga selalu memberinya makanan dan minuman. Bergantian saja. Kalaupun tidak ada, ya saya yang turun tangan”

Astaghfirulloh…. menyesal ia sudah berprasangka kurang baik pada lelaki yang memiliki wibawa besar di kampung ini.

Sejurus kemudian suara sesuatu terdengar memberondong genting rumah. Hujan lebat mengepung kampung. Sepintas benaknya menerawang rumah reyot yang tadi siang ia lalui. Sedang apa Oyot malam ini? Lelaki yang bahkan belum bertatap muka dengannya.
Pintu rumah tiba-tiba terdengar diketuk. Akbar gesit membuka. Seorang lelaki muda dengan pakaian basah kuyup berada di balik pintu. Lestari mencoba mengingat dimana ia melihat sosok itu?
Bukankah ia lelaki yang dalam foto itu? Yang memakai pakaian wisuda?
***
Oyot menggigil kedinginan. Beberapa sudut rumahnya basah karena genting yang bergeser. Tak terkecuali tempat ia sekarang meringkuk. Inah, mampir dalam bayangannya. Perempuan terkasihnya itu tampak tersenyum. Oyot berharap Inah datang menjemputnya malam ini.
Mungkin hujan lebat malam ini yang akan mengantarnya pada kematian.

“Maafkan aku, Inah. Maafkan….!!! kau dulu mati tertimbun tanah longsor. Dan akulah penyebabnya. Akulah dulu yang mencuri kayu-kayu itu di hutan. Hutan itu marah dan mengutukku. Dia mendendam dengan mengambil kau sebagai tumbalnya dan aku dibuatnya sengasara” gumamnya dengan nada bergetar. Seketika siluet wajah Inahnya berubah menjadi redup. Senyumnya berganti sedih.

Oyot menangis. Bukan sesenggukan. Tapi meraung-raung. Seakan menantang suara hujan yang kian lebat. Berteriak sekerasnya, meski suaranya terdengar parau. Hingga pada menit berikutnya, suara gelegar seperti halilintar terdengar menggema. Hingga menenggelamkan suara Oyot sekaligus meluluhlantakkan gubuknya yang reyot. (***)

Comment here