Jeritan Wanita Tunasusila yang Tak Punya Kerjaan Lain Selain Mangkal dan Menjajakan Diri
Macakata.com – Telah tiga pekan lebih kami menganggur. Di rumah saja. Biasanya kami mangkal di tempat-tempat tertentu. Biasanya di perbatasan.
Kadang, kami di Kuningan, Cirebon, Majalengka dan Indramayu. Belakangan, saya betah di satu tempat di wilayah Majalengka. Tapi itu dulu, sampai Februari 2020.
Setelah ada wabah Corona di Wuhan sana, dampaknya mulai terasa. Pelanggan mulai berkurang. Pemasukanpun berkurang. Saya tak laku lagi. Begitupun teman-teman saya.
Kami, memang PSK yang mencari receh untuk biaya dapur kami, dan anak-anak kami. Kami tidak mengemis. Kami tidak munafik. Kami terbuka. Siap buka baju dan celana jika sudah ada transaksi. Begitulah kami.
Surat curahan ini saya tuliskan. Teman-teman saya pun menulis juga. Nyatanya, dengan mencatat gaya manual, itu terasa menyenangkan. Bagaimana mau chating, kuota saja tak terbeli. Kami sampaikan ini kepada seorang teman.
Pesan kami adalah, suruh siapa saja yang punya akun. Atau sampaikan juga kepada pihak media. Tak masalah bagi kami bila tulisan ini menyebar. Itu sudah seijin kami. Kami punya akun. Meski abal-abal. Tapi saat ini tak terbuka, karena kuota.
Ini hanya murni curahan hati kami. Pekerja seks komersial. Yang sengaja berdandan untuk gaya-gayaan, tetapi itu semua semacam standar operasional prosedur (SOP). Mamih kami menganjurkan, mewajibkan kami berdandan menor dengan gincu yang menawan.
Lipstiknya tidak terlalu menor amat sih, kami ini setengah ABG dan setengah ibu-ibu. Update terkini gaya milenial itu, justru dengan polesan sederhana. Sehingga bibir kami pun memakai lipsgols yang disesuaikan dengan warna kulit.
Tetapi, meski sudah berdandan gaya milenial pun, itu semua percuma. Sia-sia saja. Lokasi tempat kami nongkrong sepi. Bila ada yang terlihat kumpul-kumpul, pihak aparat langsung membubarkan semua kongkow-kongkow.
Meski bisnis kami di kamar tertutup, tapi mamih-mamih kami ketakutan. Saran mamih, daripada mengambil resiko terciduk, lebih baik pulang ke rumah.
Dan bukan hanya itu, alasan lainnya yakni pada informasi seputar penularan virus. Kami sudah akrab dengan virus HIV. Bisa diakali dengan kondom. Tapi virus Corona ini, jarak satu meter sudah bisa menularkan.
Pelanggan setia kamipun, hanya me-read chatingan ajakan kami. Ada satu dua yang bilang. “Maaf ya Ini sedang Corona.” Atau, “Kita harus jaga jarak.” Serta kalimat pendek lainnya, yang ada hubungannya dengan lockdown.
Deg. Sebegitu hebatkah virus ini. Sampai-sampai untuk beli susu, beras pun, kami tak mampu. Standar murah kami pun, saya coba turunkan, ketika masih ada kuota, saya coba iseng menawarkan diri kepada pelanggan setia saya, yang royal, tidak pelit, juga pejabat.
Responnya menyedihkan. Jawabannya singkat-singkat. Semi Lockdown. Corona. Di rumah saja. Kamipun di rumah jaga jarak dengan anak dan istri. Apalagi kamu. Sedih hatiku. Ini semua gegara si Corona.
Kami hanya bisa menangis. Kami berharap sama seperti kebanyakan orang dengan jenis pekerjaaan lainnya. Semoga Corona ini cepat berlalu. Susah sekali mencari sesuap nasi dan sekilo beras. Padahal tarif saya sudah diturunkan.
Situasi kami yang memaksa, karena situasi sebelum Corona membuat kami terjun mendagangkan tubuh ini. Setidaknya kami jujur. Tapi jujur pun sekarang tiada guna. Corona ini membuat semuanya tutup. Termasuk kami tak bisa mangkal. Kalaupun di rumah, kami juga sepi pelanggan. ***
Ditulis oleh tiga orang kupu-kupu malam. Dikirimkan oleh seorang teman yang dekat dengan kami.
Comment here