MAJALENGKA – macakata.com – Sebulan lalu, muncul wacana Bupati dari kalangan kepala desa. Pro-Kontra di kalangan pemimpin tingkat desa ini terus bergulir. Begitupun terdengar di tataran internal birokrasi pemerintah Kabupaten Majalengka.
Bahkan, pihak pendopo, telah memanggil satu-dua kepala desa, yang dianggap pencetus, yang mula-mula menggulirkan wacana Bupati jadi Kepala Daerah ini.
Obrolan empat mata pun terjadi di istana pendopo. Tapi pada intinya, wacana tersebut, sedikitnya membuat gerah pihak yang saat ini tengah manggung.
Di kalangan kepala desa lainnya, wacana ini diterima, Yes, alias mendukung penuh. Sebagian lainnya No, alias menolak dengan wacana Bupati jadi kepala daerah ini.
Namun, konsep dan wacana apapun, semua bisa saja terjadi. Nuansa politik bisa memungkinkan wacana apapun. Tergantung kesiapan yang punya gagasan dan modal yang siap rugi. Politik, tak bisa dipisahkan dengan donasi yang super besar. Big Donatur harus terlibat.
Akun FB Sis Ka, contohnya, lebih menarik lagi. Dia menawarkan konsep kesejahteraan dan ekonomi serta kesehatan. Bumdes bersama yang menawarkan adanya bus travel dengan sistem patungan setiap desa Rp. 100 juta. Tujuannya untuk bisnis. Travel tersebut bisa disewakan, lengkap dengan hitungan penghasilan perhari, perbulan dan dikali setahun. Jumlah kalkulasi yang menggiurkan. Tapi itu masih tataran konsep. Dan, hitungan matematika dalam konsep, seringkali hanya angka-angka yang jauh panggang dari api.
Konsep lain yang ditawarkan, yakni adanya rumah sakit bersama milik desa. Modalnya masih sama, patungan tiap desa, dikali jumlah desa se-Majalengka. 300 lebih desa. Hitung saja. Akun FB Sis Ka, seolah yang punya gagasan, telah menjelaskan itu secara rinci dan detail. Aku suka konsepnya. Suka banget malah. Namun itu hanya sebuah gagasan pengetahuan yang cerdas.
Konsepnya memang menggiurkan dan fantastis. Ciri dari seorang calon pemimpin yang punya mimpi, visi dan misi yang jelas. Namun satu hal dari sebuah konsep maupun ribuan konsep, punya kekurangan. Konsep tanpa realisasi hanya omong kosong. Dan merealisasikan sebuah konsep, tentu butuh modal yang tidak sedikit. Juga keberanian untuk mengambil resiko.
Kepala desa jadi bupati, bisa saja terwujud. Namun, menyatukan 50 persen kepala desa saja, untuk sefaham dengan konsep ini, itu tidak mudah. Butuh pendekatan dan juga uang. Apalagi, dalam tataran politik, ada istilah yang lumrah dan tutup mata, yakni DOA, kepanjangan dari Dana Operasional Awal. Doa ini harus selalu ada, dalam setiap pertemuan. Minimal, ngopi dan udud harus keluar dari yang punya gagasan.
Tidak mudah menyatukan semua kepala desa, untuk sefaham dengan konsep ini dan mewujudkannya menjadi kenyataan.
Saya hanya melihat, dari sosok kepribadian dan konsep. Saya punya teman yang selalu merencanakan sesuatu lengkap dengan manejemennya yang rinci, selalu diobrolkan dan terus digaungkan, namun satupun tak pernah terealisasi. Konsep itu hanya konsep. Akhirnya diklaim oleh orang lain. Siapa yang menanam, malah orang lain yang memanen. Biasanya begitu dalam politik.
Kabar baiknya, saya pun punya teman yang selalu diam saja. Lalu suatu ketika, tiba-tiba mewujud. Dia, tak pernah berkoar-koar tentang konsep dan rencana. Baik kepada teman maupun posting-posting di akun Instagram maupun Facebook. Namun ia tiba menampakkan hasil nyata. Ini lebih canggih, membuat semua yang di sekitarnya terkagum-kagum bangga. Juga bikin iri dan dengki. Ini yang disebut pepatah, dia yang menanam, dia yang memanen.
Saya melihat konsep yang digelorakan dan terus menerus diposting di media sosial FB, ataupun sosial media lainnya, sama persis dengan adanya guntur yang menggelegar, tapi hujannya tidak jadi turun. Alam kembali damai setelah gemuruh itu reda. Ceuk sunda, istilah itu akrab dengan sebutan kalimat, ah padu guludug na hungkul.
Saya melihatnya seperti itu. Konsep yang detail, yang terus digelorakan dan terus diposting, suatu saat akan diambil oleh orang lain, yang punya modal lebih besar melihat konsep cerdas. Mengambilnya dan segera merealisasikannya. Tanpa banyak cing cong. Tanpa banyak kata-kata. Lalu terlaksana dan terwujud. Oleh karena itulah, saya memberi judul tulisan ini “Omong Kosong” konsep wacana bupati dari kalangan kepala desa. Tak usah tersingung bagi yang merasa. Cermati saja. Atau buat sanggahan tulisan seperti ini.
Tentang wacana ini, sebagian kepala desa di sejumlah desa di beberapa kecamatan juga terbagi dua. Satu mendukung satunya menolak.
Contoh, sebagian kepala desa di Kecamatan Sukahaji, mendukung penuh adanya wacana bupati dari kalangan kepala desa. Alasannya, kepala desa sudah banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Tapi kepala desa lainnya, sebagian kepala desa di wilayah Kecamatan Leuwimunding, justru menolak dan acuh tak acuh dengan konsep bupati dari kalangan kepala desa. Alasannya, konsep tersebut dibawa ke ranah politik, untuk kepentingan politis, dan hanya mengibarkan sekelompok orang saja.
Di kecamatan lainnya juga sama, Kecamatan Kasokandel, Dawuan, Kadipaten, Jatitujuh, juga Kecamatan lainnya di wilayah bagian atas, seperti Maja, Banjaran dan Talaga, wacana ini menimbulkan pro-kontra. Tapi hal itu, kini telah biasa di alam demokrasi Indonesia.
So, bagi saya, membaca konsep dan wacana adalah pengetahuan baru. Vitamin dan relaksasi sekaligus bermimpi sesuatu yang baru. Teruslah berwacana dan bermimpi, karena nyaris semua hal baru di dunia ini bermula dari impian. Lantas terwujud menjadi nyata. Namun, jangan sampai konsep yang banyak dan bagus itu, lalu diklaim oleh calon pemimpin lainnya, yang lebih berpengalaman dan punya modal lebih besar. Jangan sampai gigit jari, hanya karena terus menerus berkoar-koar tentang konsep yang bagus dan patut direalisasikan itu.
Tapi jika tujuannya menarik nama lembaga tertentu. Ya apa boleh buat, politik itu punya kepentingan dua arah, bahkan di zaman milenial ini, kepentingannya menjadi lebih dari dua arah. ***
**** Diana HA, penulis adalah pemerhati, pembaca dan pemimpi. Seorang mahasiswa
Comment here