Oleh: Rendy Jean Satria*
MACAKATA.COM – “Hanya ada satu cara untuk menghindari kritik: tidak melakukan apa pun, tidak mengatakan apa pun, dan tidak menjadi apa pun” Aristoteles.
Tentu saja perkataan dari seorang filsuf Aristoteles, membuat kita berpikir tentang cara dan sikap kita dalam menjadi yang siap disuplai oleh berbagai macam kritik. Sikap Menjadi selalu ingin mencapai tujuan (talos) dari apa yang sudah dilakukan. Aristoteles mengajak kita untuk senantiasa bergerak, dan melumpuhkan berbagai rasa takut dalam berbuat kerja besar.
Sikap Menjadi dan berbuat bisa dalam kerja kemanusiaan apapun. Termasuk menjadi seorang pemimpin. Aristoteles tercatat juga pernah menjadi guru utama pemimpin besar legendaris Alexander yang Agung dari Makedonia, yang mempengaruhi cara berpikir Alexander dalam berdiplomasi dan mencari titik temu bagi kemaslahatan rakyatnya.
Pada saat ia menjadi raja dan memimpin sebuah kekaisaran terbesar yang kekuasannya, terbentang luas dari Laut Ionia sampai kawasan Himalaya, usia Alexander the Great baru tiga puluh tahun. Masih sangat muda.
Saat tatanan dunia baru, dibentuk dan dipulihkan kembali pasca perang dunia ke-2 saat Nazi Jerman yang dipimpin Adolf Hitler berhasil dikalahkan oleh pihak sekutu tiga pemimpin dunia, Franklin Delano Roosevelt (Amerika), Winston Churcill (Inggris) dan Josep Stalin (Uni Soviet) dunia berubah dengan cepat. Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan, deklarasi pertemuan demi pertemuan dilaksakanakan untuk menentukan nasib sendiri secara demokratis.
Pun arah tatanan itu juga berpengaruh kuat bagi jalannya Kepimpinan modern di Indonesia yang selalu menciptakan ilklim kompetitif setelah gerbang demokrasi dibuka, dengan segala macam variabel-variabelnya.
Mencari sosok pemimpin lewat jalur pemilihan yang ketat, dinamis dan serba banyak
kemungkinan harus dilandasi konsekuensi dari partai-partai pemenang pemilu yang banyak massa.
Media social juga turut andil dalam menentukan sosok pemimpin baru tersebut lewat followers mereka. Pendukung virtual yang tak kasat mata itu kini menjelma partisipan yang sangat menentukan. Mereka seperti penyusup yang sulit dibendung, keberadaannya. Dunia hari ini terus bergerak, generasi muda terbaik kian waktu bermunculan dengan cara jamannya.
Namun lain halnya, mencari sosok pemimpin yang berada di pelosok desa, yang kerap masih mempertahankan nilai kulturalnya. Salah satunya di desa-desa di kab. Majalengka. Pemimpin desa biasa disebut Kuwu (kepala desa). Pemangku jabatan tertinggi di sebuah desa. Yang tugasnya sebagai penengah, juru bicara ke pemerintahan kota, pemimpin sekaligus otak untuk memikirkan kemajuan desa.
Bagi saya desa adalah lokasi pertama untuk menciptakan sebuah sistem negara yang kuat dan berintegritas. Dari desa semua bermula. Dari desa juga pemimpin negara dilahirkan.
Soeharto dari sebuah desa di Bantul, Habibie dari desa di Pare-Pare, Gus Dur dari desa di Jombang, SBY dari desa terpencil di Tremas dan Joko Widodo dari desa di Solo. Dari sebuah pelosok desa di Bandung juga Soekarno menelurkan ide Marhaenisme. Ketika desa maju, makmur rakyatnya, ketika makmur rakyatnya, yang terdampak adalah negara tersebut.
Lalu ujung tombak sebuah desa ada pada sosok Kuwu. Yang konotasinya bereferensj pada cara kepimpinan klasik, khas dan moderat. Sistem penunjukan untuk kuwu masih menggunakan layaknya sistem monarki. Jabatan yang dijabat secara turun temurun. Rembuk antar keluarga turunan Kuwu. Dialektika etika masih dijunjung tinggi.
Bobot, bibit, bebet dari keturunan kuwu layaknya penentu masa depan desa, walaupun mereka hidup berbaur dengan masyarakat desa setempat, tiada perbedaan signifikan di antara keturunan kuwu beda halnya dengan sistem pemerintahan kraton atau kerajaan.
Kehidupan para kuwu dan keluarganya sangat sederhana. Masyarakat desa mengenal mereka sebagai kerabat. Sistem kelas, tiadalah mereka kenal. Semua berjalan secara kutural. Menariknya calon seorang kuwu dipilih bukan karena usianya yang sepuh, melainkan dari rekam jejaknya selama menjadi masyarakat desa, prestasinya baik secara intelektual maupun spritualitas.
Komposisi ini menjadi ruang bagi calon kuwu untuk diharapkan bisa saling mengenal, menghayati dan membantu warga desa. Lebih aktif dan kreatif dalam membangun jejaring, mengendus potensi desa, mengikat sumber daya manusia dengan efisiensi.
Seorang kuwu juga harus memiliki kadar intelektual yang cerdas, cerkas dalam mengambil keputusan, memperbanyak membaca peristiwa ekonomi dan budaya agar membantu paradigma para kuwu dalam menentukan tujuan (talos) masa depan desanya. Dengan begitu seorang kuwu bisa diajak berdiskusi terkait warga yang ingin mengadu permasalahan kepada kuwunya.
Selain itu, seorang kuwu yang notabane adalah simbol Kebersahajaan dan pemimpin desa, harus aktif mempelajari critical discourse analysis, seperangkat metodolgi untuk mempelajari hubungan wacana hari ini dan ideologi. Menganalisis keberadaan modus politik yang terjadi dilapangan, agar kuwu tidak salah jalan mengambil kebijakan. Belajar dari sejarah pemimpin dunia, mengambil poin penting dari tatanan dunia baru, sampai bersikap layaknya seorang kuwu yang arif dan intelektual, karena dunia berubah sangat dinamis***
***Rendy Jean Satria, adalah seorang penyair dan essais. Bergiat di Komunitas Budaya Minggu di Ciremai, komunitas yang beralamat di Desa Singawada, Kab. Majalengka.
Comment here