OPINI

Merenung

Oleh: Rendy Jean Satria

MACAKATA.COM – Bagi kebanyakan orang, kegiatan merenung adalah aktifitas yang membosankan. Mubazir. Anfaedah.

Namun lain halnya, bagi Francois Mitterand, negarawan yang pernah menjadi Presiden Perancis ini, adalah orang yang gemar merenung, mensunyikan dirinya, menjauhi khalayak ramai. Bagi dia, dengan merenung, menghindari mic, sorot kamera dan pengawal kepresidenan itu memiliki spirit tersendiri.

Dengan begitu, Mitterand, bisa lebih leluasa mengambil keputusan penting bagi negaranya. Di penghujung bulan, negarawan yang dicintai rakyatnya ini sering menghabiskan perenungannya di barat daya Perancis, tepatnya di Desa Latche.

Di Latche, desa yang jauh dari kota Paris, dengan latar tebing-tebing tinggi dan hamparan rumput-rumputnya yang menyegarkan mata itu, selain berpikir dan menyepi, Mitterand biasa menghibur dirinya dengan keledai-keledai kesayangannya. “Keledai itu punya kepribadian” begitu jawabnya, ketika ditanya oleh paparazzi, mengenai keledai-keledai yang dia cintai.

Tidak ada yang tahu, kapan sebenarnya aktifitas merenung dimulai. Di dunia modern seperti sekarang ini, orang yang merenung di sisi jalan atau di trotoar, sambil memegang kepalanya dengan sorot mata yang tajam, kening yang mengernyit – sering dianggap aneh – khoriqul ad’ah kalau dalam bahasa literature pesantren. Batas antara dunia yang riuh dengan dunia lamun, tersekat oleh semacam degradasi intelektual.

Berabad-abad lalu, filosof Socrates gemar merenung di alun-alun, di pasar, di pinggir jalan kota Athena. Bukan hanya merenung, tapi sang filsuf mengajukan banyak pertanyaan kepada warga yang melintas di hadapannya.

Dunia bagi Socartes dipenuhi dengan pertanyaan yang belum tuntas. Warga Athena pusing dengan pertanyaan Socrates. Pertanyaan mengenai apa itu Kesalehan, Kejahatan, Kebaikan, sampai dewa-dewa sering diajukan sebagai keran pembuka diskusi. Anak-anak muda Athena mencintai Socrates. Para petinggi kota membencinya – karena menganggap Socrates – menyebarkan dogma untuk ingkar kepada dewa-dewa.

Pria tambun, yang berusia 70 tahun itu akhirnya harus dihukum mati. Plato mengajukan keberatan, dia mau membayar uang jaminan untuk gurunya. Socrates menolak. Selanjutnya adalah sejarah. Socrates tetap dihukum mati – sebagai bentuk pembelaannya pada apa yang dia anggap benar. Cerita pengadilan dramatis dan pidato terakhir Socrates menjelang mati, dicatat dan diabadikan oleh Plato, dalam tulisan buku-buku yang berjudul Phaedo, Crito, dan Apology.

Dunia perenungan adalah dunia awang, pikiran seperti diajak mengembara ke lubang terjauh, tak terjamah, tak tergenggam. Orang-orang kreatif dan genius. Menjadikan lamunan sebagai ‘tangan tak terlihat” yang bisa membawa apa pun, ketika ia sedang merenung.

Gus Dur, sang kyai dan negarawan masyur dari Jombang itu, punya cara tersendiri. Ia gemar berziarah, berdoa, dan merenung di makam-makam keramat. Sesaat setelah ia – penggemar musik Ummi Kultsum ini dilantik menjadi presiden ke-4 Indonesia. Gus Dur langsung berziarah ke makam keramat salah satu gurunya, K.H Ahmad Mutamakin, di Pati.

Dunia makam, bagi Gus Dur – mengasyikan, karena menurutnya, orang-orang yang telah mati tidak punya kepentingan lagi, dia bisa bercengkrama dan ngobrol ‘secara intuitif’ dengan pemilik makam. Saking hobinya, Gus Dur pulalah kyai yang menemukan makam keramat, yang tidak tercatat lewat mata batin perenungannya, seperti Makam Syekh Said Ali yang makamnya terletak di tengah Situ Panjalu Ciamis.

Mungkin ada baiknya – merenungi sesuatu harus memiliki dasar yang solid – agar bisa menjadi sesuatu yang mengkristal bagi khalayak ramai. Kebermanfaatannya terasah. “Saya lebih suka merenung untuk masa akan datang, daripada sejarah masa lalu” ujar Thomas Jefferson, presiden Amerika ke-3 yang mejabat dari tahun 1801 s/d 1809 ini.

Pada akhirnya memang sesuai dengan apa yang ia katakan. Ia dicatat sebagai bapak pendiri Amerika Serikat sekaligus pencetus Deklarasi Amerika. Yang membuat Amerika kini memiliki masa depan yang terukur.

Oktober, 2020

***Rendy Jean Satria, adalah penyair dan essais. Karya tulisnya tersebar diberbagai media surat kabar nasional dan lokal, seperti Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Sajak, Jurnal Kritik, Majalah Pusat Jakarta, Mangle, dsb. Dua buku puisi telah terbit: Dari Kota Lama (2012), Pada Debar Akhir Pekan (2017). Kini Sedang mempersiapkan buku puisi terbaru berjudul Madah Lestari.

Comment here