OPINIPENDIDIKAN

Membangun Karakter Berbasis Kultur Sekolah

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I

MACAKATA.COM – Pendidikan, merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan seseorang dalam mengembangkan potensi dirinya agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup suatu bangsa. Melalui pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas dan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan bangsa.

Pada hakikatnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membantu peserta didik untuk menjadi pintar dan menjadi baik untuk mampu berinteraksi dalam masyarakat (Syunu Trihantoyo, 2013: 1). Menjadikan peserta didik pintar boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan peserta didik agar menjadi orang baik (berkarakter) humanis-religius tampaknya jauh lebih sulit. Sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di manapun.

Potret Pendidikan; Kasus Dekadensi Moral

Terdapat banyak sekali potret pendidikan saat ini yang mempertontonkan dekadensi moral peserta didik kita; mulai dari pergaulan bebas, narkoba, tawuran antar pelajar dan sebagainya. Dekadensi tersebut setidaknya menggambarkan begitu rapuhnya karakter diri generasi muda Indonesia.

Pertama, Penyalahgunaan narkoba. Ada 2 dari 100 pelajar dan mahasiswa pengguna narkoba di Indonesia. Dari pengguna narkoba ini 48 % di antaranya adalah pecandu dan 52 % sekadar coba-coba dan pemakai (BNN, 2016). Kedua, Pornografi. 64% pelajar dan mahasiswa belajar seks melalui film porno dan DVD bajakan. Akibatnya 39% responden dari usia 15-19 tahun dan 25% usia 20-25 tahun sudah pernah berhubungan seksual (KPAI, 2016). Ketiga, Seks bebas. 800 jenis video porno asli produksi dalam negeri, 90% dari video tersebut diperankan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa (KPAI, 2016). Keempat, kasus aborsi. Hampir 2,4 juta terjadi setiap tahunnya atau (700-800 ribu), dan pelakunya adalah kalangan remaja (Komnas HAM, 2016). Kelima, Prostitusi. 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks, setengah dari pekerja seks tersebut berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun (KPAI, 2016). Ke enam, Tawuran pelajar dan mahasiswa. Pada tahun 2012 sudah terjadi 139 kasus tawuran, bahkan 12 kasus tersebut menyebabkan kematian, dan pada tahun 2011 dari 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (KPAI, 2016). Ketujuh, Geng motor. Judi taruhan geng motor berkisar 5 sampai 25 juta rupiah per sekali balapan liar, akibatnya sekitar 60 orang meninggal setiap tahunnya (KPAI, 2016).

Irsyad Sudira menggagas Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia (GMP-AM) tingkat nasional mengungkapkan, telah terjadi penyimpangan perilaku di masyarakat kita. Perilaku yang mengesampingkan rasa malu untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas, dekadensi moral dan ahlak, sehingga memunculkan keterpurukan kondisi bangsa ini di semua sektor.

Dalam kaitan ini, seorang bijak mengtakan: “When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost something is lost. When character is lost, everything is lost”. Bila harta kekayaan yang hilang, belum berarti kehilangan sesuatu. Bila kesehatan yang hilang, barulah ada sesuatu yang hilang. Bila karakter yang hilang, berarti hilang segalanya. (Prasetyo, 2007: 108)

Manajemen Strategik; Media Efektif Membangun Karakter

Sisi lain, sekolah juga harus membuat perencanaan yang berskala besar dan berorientasi masa depan yang jauh (visi) dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak. Karena disadari bahwa membangun karakter peserta didik tidak hanya tanggung jawab sekolah, tetapi harus ada komitmen semua warga sekolah sehingga menjadi kultur/budaya sekolah sambil membangun jaringan dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Pada konteks ini, terkadang sekolah terjebak pada mindset bahwa peningkatan mutu sekolah hanya terkait dengan proses pembelajaran.

Sehingga dalam situasi lingkungan yang penuh dengan dinamika ini, pendidikan karakter humanis-religius sangat terkait dengan manajemen strategik sekolah. Implementasi manajemen strategik pendidikan karakter humanis-religius di sekolah terkait dengan fungsinya yakni bahagimana pendidikan karakter humanis-religius direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi; nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.

Implementasi karakter peserta didik yang memiliki karakter kemanusiaan (humanistik) dan nilai-nilai keberagamaan (religiusitas) harus dilakukan sekolah. Penanaman nilai-nilai tersebut dibangun dengan menerapkan pendidikan yang humanis-religius melalui saluran kultur sekolah. Hal ini dilakukan karena program aksi untuk meningkatkan mutu secara konvensional selalu menekankan pada aspek pada mutu proses pembelajaran, sedikit sekali menyentuh aspek kultur sekolah (Depdiknas, 2002: 4).

Prinsip humanistik dalam pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar bagi peserta didik yang terbebas dari persaingan intens, disiplin kaku, dan rasa takut akan kegagalan. Hubungan antara peserta didik dan pendidik dapat menciptakan hubungan yang merembes pada kepercayaan dan rasa aman, sehingga muncul kreativitas positif peserta didik (Knight, 1982: 88). Untuk mengungkap fenomena religiusitas secara teoretik, dikemukakan konsep yang populer yakni rumusan Glock & Stark bahwa religiusitas terdiri dari lima dimensi (1) religious belief; (2) religious praktice; (3) religious feeling; (4) religious knowledge; (5) religious effects (Stark dan Glock, 1965: 18-38). Rumusan tersebut diadaptasi oleh Nashori dan Mucharam (2002: 7) bahwa religiusitas islami terdiri dari lima aspek, yakni (1) ideological (aspek akidah); (2) ritualistic (aspek ibadah); (3) experiental (aspek ihsan); (4) intellectual (aspek ilmu); dan (5) consecuential (aspek dampak keagamaan). Dengan bahasa yang agak berbeda Mangkudun (1980: 17) menyebutkan nilai-nilai humanis-religius dalam Islam adalah (1) manusia mahluk mulia; (2) manusia mahluk yang berakal; (3) manusia mahluk yang bebas memilih; (4) manusia sebagai khalifah di muka bumi; (5) hubungan manusia dengan lainnya. Lima aspek tersebut semestinya menyatu dalam diri seorang muslim, sebagaimana dikuatkan oleh Al-Attas (1982: 56), bahwa makna keberislaman menunjuk kepada iman (akidah) dan praktik-praktik ajaran yang dianut oleh seorang muslim dalam kehidupan kesehariannya (kepribadian muslim). Melalui saluran kultur sekolah dan pola pendidikan humanis-religius diharapkan dapat terwujud aktualisasi nilai-nilai religius.

Dengan demikian, manajemen strategik sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter humanis-religius di sekolah. Manajemen strategik pendidikan karakter dimaksud adalah sebgai proses formulasi dan implementasi terhadap pengembangan strategi-strategi yang efektif terkait pendidikan karakter humanis-religius peserta didik pada stuan pendidikan (nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, budaya dan nilai kebangsaan yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari) sehingga tercapai tujuan pendidikan.

Membangun Sinergitas; Tanggungjawab Bersama

Kompleksnya permasalahan karakter humanis-religius yang mendera dunia pendidikan. Rendahnya karakter bangsa ini membutuhkan perhatian dan partisipasi dari semua pihak. Salah satu pihak yang bertanggungjawab dalam terlaksananya fungsi dan tujuan pendidikan nasional ialah keluarga. Keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan peserta didik, merupakan tempat pendidikan pertama baginya. Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter disiplin pada peserta didik. Hal ini dikarenakan hubungan yang harmonis antar keluarga akan membantu kelancaran proses pendidikan seseorang, terutama anggota keluarga. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Kemendiknas (dalam Agus Wibowo, 2012: 52) menyebutkan bahwa:

Rata-rata anak didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30 persen. Selebihnya atau sekitar 70 persen, anak didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Apabila dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah hanya berkontribusi sebesar 30 persen saja terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selain keluarga, peranan sekolah tidak kalah pentingnya dalam pembentukan karakter humanis-religius seorang peserta didik. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu secara formal bagi seorang peserta didik diharapkan mampu memberikan perkembangan jiwa. Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi peserta didiknya. Sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab. (Daryanto dan Suryatri, 2013: 11).

Sedangkan menurut Kementerian Pendidikan (www.kemendikbud.go.id) terdapat lima karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yang menjasi prioritas pengembangan gerakan PPK yakni religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan. Masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi.

Pendidikan tidak hanya berorientasi pada pengembangan olah pikir (literasi) tetapi juga harus memperhatikan olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetika), dan juga olah raga (kinestetik). Keempat dimensi pendidikan ini harus dilakukan secara utuh, menyeluruh, dan serentak. Integrasi proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler di sekolah dapat dilaksanakan dengan berbasis pada pengembangan budaya sekolah maupun melalui kolaborasi dengan komunitas-komunitas di luar lingkungan pendidikan.

Kerjasama sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan kunci dari kesuksesan dalam membentuk karakter peserta didik. Sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan pendidik yang diharapkan mampu bekerjasama dalam membina karakter humanis-religius pada peserta didik. Tanpa adanya kerjasama yang dilakukan oleh sekolah, keluarga dan masyarakat, tentu karakter tidak dapat dibentuk pada diri seorang peserta didik.

Koesoema (2011: 2) berpandangan bahwa ada tiga desain pendidikan karakter, yakni: Pertama, desain pendidikan karakter humanis-religius berbasis kelas. Desain ini berbasis pada hubungan guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di kelas. Konteks pendidikan karakter humanis-religius adalah proses hubungan komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi antara guru dengan pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah. Kedua, desain pendidikan karakter humanis-religius berbasis kultur sekolah. Desain ini membangun budaya sekolah yang mampu membentuk karakter hunamis-religius peserta didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Ketiga, desain pendidikan karakter religius-humanis berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah negeri maupun swasta tidak berjuang sendirian. Kalau ketiga komponen bekerjasama melaksanakan dengan baik, maka akan terbentuk karakter bangsa yang kuat.

*** Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu

Comment here