OPINIWorld

Ingin Disebut Haji

Oleh : Shelby AR

MACAKATA.COM – Empat tahun lalu, sebelum berangkat ke tanah suci Mekkah, tetangga saya bilang begini, “Nanti, saya tidak perlu dipanggil haji”.

Kampanye tidak perlu disebut atau dipanggil ibu/pak haji menular dalam setiap obrolan, maupun ketika syukuran walimatus shafar, atau semacam syukuran sebelum berangkat perjalanan menunaikan ibadah rukun Islam yang ke-lima.

Lucu juga sebetulnya, sebelum berangkat haji, ada syukuran. Tapi itulah budaya, bila itu disebut budaya, saya tak setuju sebetulnya menyebut itu budaya. Itu budaya yang dipaksakan kawan. Hanya karena telah biasa, telah memasyarakat. Persoalannya, ritme syukuran ini kayak memenuhi kondangan, ngamplop. Tapi itu sebagian wilayah. Tak tahu aku kalau wilayah lain.

“Doakan saja semoga selamat perjalanan dan kembali dengan selamat. Kajeun teu disebut bu hajah oge,” ujar dia, ketika belanja sayuran pagi itu, empat tahun lalu.

Singkat cerita, dia dan suaminya telah sukses menunaikan ibadah haji. Ucapan selamat, terus berdatangan. Bertamu ke rumahnya. Dapat kurma dan air zam zam. Sejak saat itu, sebutan haji melekat pada dirinya.

Seminggu sudah dia dan suaminya menyandang status sebutan haji. Saya coba memanggil namanya saja, tanpa sebutan haji. Waktu saya memanggil hanya namanya. Ketika dia belanja sayuran suatu pagi.

Rona wajahnya langsung berubah. Merah menahan marah. Tidak ramah lagi. Tidak sesuai dengan kampanye tak perlu disebut haji.

Setiap kali bertemu belanja. Tidak tampak lagi senyumnya. Rupanya tersinggung dengan sebutan tanpa haji. Tapi itu hanya berlangsung dua hari. Saya memang sengaja menyebutnya tanpa gelar haji. Hanya menguji. Hanya berlogika. Hanya membuktikan kampanye seseorang betul atau tidak.

“Apa kabar bu haji (bu hajah), cerah sekali hari ini. Apakah ibu haji ada waktu siang ini untuk ngobrol? Saya punya peluang usaha yang bagus?” kataku, membuka percakapan perdamaian. Bukankah tak boleh lebih dari tiga hari kita bermusuhan?

Wajahnya merona. Dia kembali tersenyum. Meski dalam sepuluh detik, alis kedua matanya terangkat sedikit. Itu tanda dia berpikir. Setelah itu, senyumnya mengembang, saya tebak karena ada sisipan kata bu haji, dalam sapaan itu.

Dalam hatiku. Aku ngakak. Sekaligus miris. Kampanye sebutan anti disebut haji. Itu hanya kampanye saja, kawan. Realitanya kagak ada. Nonsen. Orang berangkat haji itu sekaligus untuk disebut haji dan ingin dipanggil haji.

Alasan logisnya adalah biayanya mahal. Hampir sama dengan tulisan gelar sarjana satu dan sarjana lanjutannya. Bulsyit jika orang tidak mau disebut haji. Orang berangkat haji, karena kebanyakan ingin disebut haji. Itu pengalaman. Realita yang mudah ditemui di sekitar rumah.

Tahun ini, 2021, masih masa pandemi. Jutaan orang warga Indonesia gagal lagi untuk menunaikan ibadah ke tanah suci. Itu suatu persoalan.

Mau bagaimana? Dipaksakan juga percuma. Karena peserta calon jemaah haji harus mengikuti saran dan instruksi dari pemerintah.

Kecewa adalah hal yang wajar. Itu karena, lagi-lagi, ingin sekali disebut dan menyandang status dipanggil pak haji. Bu haji.

Bagi mereka yang kecewa, tak berangkat haji tahun ini, maupun tahun 2020 lalu, mereka kecewa karena kapan mereka akan dipangil pa haji dan bu haji. Rindu sekali ingin disebur pa haji dan bu haji. Bayangan itu telah masuk dalam sanubari.

Selamat pagi bapak haji. Selamat pagi ibu haji. Semoga tulisan ini hanya sampah yang baik saja. Tapi yang namanya sampah, selalu bisa didaur ulang. Toh kalian ingin disebut haji. Termasuk saya, mungkin. ***

Penulis adalah penyuka bacaan fiksi sains.

Comment here