Oleh: Rendy Jean Satria
MACAKATA.COM – Peran wapres memiliki posisi strategis, dan penting. Tugasnya memberikan sumbangsih pemikiran orisinil kepada presiden.
Dengan presiden-lah seharusnya, seorang wapres melakukan diskursus terkait peristiwa, perkembangan dan jalannya sebuah negara. Sebagai pemimpin negara, ia (wapres) harus tampil untuk mengalirkan pemikiran terkait negara ini.
Surplus setiap katanya, akan mempengaruhi kebijakan. Presiden dan wakilnya, harus berjalan se-irama bergandengan. Namun yang terjadi di Indonesia, posisi wapres tidak terlihat dalam fungsinya yang real dan empirik.
Jika kita perhatikan saat Wapres Ma’ruf menggelar diskusi atau bincang live di kantor wakil presiden, latar lemari-lemari besar (saat Ma’ruf live) yang seharusnya penuh, semisal dengan buku-buku, piagam atau pajangan tertentu, nyatanya lemari itu kosong – seperti lemari baru yang memang tidak disentuh – dari segi estetika sudah tidak menarik.
Satu-satunya yang bisa menyelematkan ruang kerja wapres adalah sebuah lukisan bercorak ekspresionisme, yang saya yakini itu karya maestro Affandi, yang menggambarkan aktifitas nelayan yang sedang melaut.
Ma’ruf Amin yang selama ini kita kenal sebagai kyai dan ulama sepuh, nyatanya belum sepenuhnya bisa memainkan peran dan fungsinya sebagai wapres – Ma’ruf tidak menunjukan totalitasnya dalam menjalankan posisi jabatannya.
Pelbagai problema yang berkembang di Indonesia – seperti ihwal pandemi ini – peran Ma’ruf yang seharusnya bisa menjadi penyejuk di tengah masyarakat Indonesia – yang notabena muslim – juga tidak tampak.
Ma’ruf lebih mengambil posisi diam. Sedikit kalah pamor dengan nasehat dari pabrik kata-kata Mario Teguh, satu dekade lalu.
Karena melulu banyak diamnya – mungkin memang bawaan atau sifat – hanya Ma’ruflah dan Tuhan yang tahu. BEM Unnes, lalu menerbitkan sebaris teks ‘pujian’ kepada mantan ketua MUI ini, bunyinya The King of Silent.
Stempel ‘pujian’ yang disematkan oleh BEM Unnes, kepada Ma’ruf Amin adalah sebentuk kekecewaan atas peran dan fungsi dari Ma’ruf Amin dalam menjalankan jabatan wapres – Ma’ruf tidak mampu mengisi kekosongan fungsinya jika seorang presiden tidak mampu menunaikan tugasnya.
Ma’ruf Amin kemana?, sebaris kata-kata yang keluar secara otomatis di mesin pencarian Google – jika Anda mengklik nama Ma’ruf Amin, sebuah isyarat jika masyarakat dunia maya diam-diam memang mencari Ma’ruf Amin.
Pencarian ini sepotong kerinduan kepada ulama kita ini. Kerinduan yang belum basi. Kerinduan cucu kepada eyangnya yang entah sedang berada dimana. Sosok ini, yang seharusnya menjadi power dalam situasi pandemi – lewat pelbagai nasehat ala seorang kyai – menjadi tidak ada sama sekali.
Sangat disayangkan putaran roda pemerintahan di tengah pandemi, tidak melulu melibatkan kehadiran orang nomor dua terpenting di tanah air. Lalu kemana sesungguhnya Ma’ruf Amin? Apakah merenung di antara lemari-lemari besar kosongnya di kantornya atau beliau memang sudah ditakdirkan untuk tetap silent, sebagai bagian dari ibadah para zuhud lovers.
Beginilah jadinya, jika seorang kyai atau ulama yang seharusnya berada di luar ring satu pemerintahan mengambil bagian itu – kritik dan keghibahan akhirnya bisa disematkan kepadanya. Yang saya sayangkan, adalah perannya sebagai wapres – bukan gelar kekyaian-nya. ***
Buah Batu, 10 Juli 2021
Penulis adalah penyair dan esais
Comment here