OPINIPENDIDIKAN

Hutan Konservasi Mini di RHD

Rumah Panggung

Tulisan Bagian Kedua

MACAKATA.COM – Seperti pepatah bagus mengatakan, jangan lihat orangnya, lihatlah apa yang diucapkannya. Denassa ini bukan hanya mengucapkan, tetapi ia merealisasikan gagasan, ide maupun konsep. Dan, aku menguatkan diriku untuk menerapkannya di tempatku.

Cukup kaget juga, ketika menyaksikan pembukaan, pejabat dari Mendikbud itu mengucapkan, “Literasi itu bukan sekedar baca tulis. Tetapi apa yang dilakukan Denassa, dengan membuat hutan, konservasi alam ini juga merupakan literasi. Hasil dari membaca tentang situasi betapa kita saat ini sedang dilanda pemanasan global. RHD ini merupakan salah satu solusinya. Jangan pernah memandang luasnya yang kecil. Tetapi ini bisa diterapkan di tempat kalian masing-masing di sekitar TBM. Harus ada RHD-RHD lain di luar Gowa.” bagiku, pernyataan ini sangat cerdas, sederhana. Aku setuju, bahwa literasi itu bukan hanya urusan baca tulis.

Tidak kalah menariknya lagi, aku bertemu penggiat literasi, yang sama-sama suka baca. Ada Edi dari jaringan literasi, Irja dari Mandiri Sumatera Barat, Eda dari Plores, Bayu dari Bekasi, Palupi dari Jakarta, Eldi dari Pangandaran, Vudu dari Tasikmalaya, Munasyaroh dari Lamongan, Harto dari Lebak Banten, Sisi Wahyu dari Tanggerang Selatan, serta sejumlah penggiat literasi lainnya yang diundang sebagai pendamping.

Kearifan lokal yang ada di RHD juga cukup sederhana. Contohnya tentang hujan buatan. Aku pikir fungsinya itu hanya sebatas untuk menyiram tanaman, namun ternyata ada fungsi lain yakni untuk mengundang habitat hewan lain, supaya berkumpul di pohon-pohon sekitar RHD.

“Sengaja saya siram agak lama, hewan seperti burung suka sekali dengan kondisi daun yang basah. Jadi tidak semata-mata untuk menyiram tanaman,” ungkap Denassa.

Intinya, setelah berinteraksi langsung, mengalami, menyerap ilmu dan mengamati, aku jadi teringat sebuah buku yang berjudul Sokola Rimba. Setiap kali mengikuti pertemuan di rumah panggung, karena dikelilingi banyak pohon besar, maka itu unik dan ajib sekali. Seperti berada di hutan belantara.

Di sini juga ada pohon Matoa, sementara di sekitar TBM yang aku kelola juga ada tumbuhan Matoa. Jadi ketika berada di RHD, mengingatkan seperti berada di rumah sendiri, hanya saja di sini pohonnya lebih banyak dan lahannya lebih luas. Ini lebih keren.

Matoa ini juga rasanya manis. Namun harumnya mendominasi wangi buah durian. Aku berharap, meski RHD ini kecil, tapi sudah membuat wangi para komunitas dan penggiat literasi di seantero Indonesia. Beberapa peneliti dari negara luar juga telah berkunjung ke Rumah Hijau Denassa ini. Jadi, tidaklah berlebihan bahwa RHD telah mewangikan nama Indonesia di dunia. Itu sama dengan buah matoa yang bentuknya lebih besar sedikit dari lengkeng, kecil tapi mewangi. Membuat orang atau siapa saja yang pernah berkunjung ke RHD akan selalu mengingatnya.

Tidak hanya banyak pelajaran yang dapat dipetik, untuk kemudian diadopsi olehku. Di sebuah pohon besar terpasang ada speaker yang sengaja ditaroh. Setiap pagi atau ketika ada kegiatan, alunan musik lokal mengalun merdu. Terkadang, hanya musik instrumentalis. Itu semua tentu saja sangat menenangkan, dan seolah membuat imanjinasiku liar, hatiku membuncah.

Entah ini gembira atau senang. Akan tetapi itulah yang kurasakan. RHD memungkinkanku mengubah cara dan pola pikirku selama ini, untuk lebih mencintai detail lingkungan dan manfaatnya. Serta berpikir bahwa pohon yang beracun sekalipun, masih harus tetap dijaga karena punya fungsinya masing-masing. Denassa punya pohon kontras itu. Ada pohon beracun yang ditanam, di sebelahnya itu juga hidup tanaman penawarnya.

Ajib, unik, detail, melindungi dan mencintai. Kelak, dejavu ini harus direalisasikan dalam bentuk tekstual maupun penerapan di sekitar TBM-ku. ***

Penulis adalah pecinta lingkungan. Pernah berkunjung ke Gowa

Comment here