Oleh Shelby AR
MACAKATA.COM – Mengajak orang untuk rajin baca buku di tengah ponsel canggih dan serangan game online itu kini terasa sangat susah.
Kini, orang semakin melek tekstual juga audio visual. Budayanya meningkat. Dewasa ini orang memang lebih melek tekstual, hanya saja, ya, melek tekstual dengan susunan kalimat bahasa alay. Yang menurutku susah dieja.
Bahasa atau kalimat Alay, menurutku seperti sebuah motor pabrikan, namun, dipoles kembali oleh si pemliknya, knalpot yang sudah standar diganti dengan yang bising, spion yang sudah standar diganti dengan bentuk yang kadang kala aneh, dan lain sebagainya. Dan lain-lain.
Butuh waktu dan biaya mahal untuk mengganti motor pabrikan sesuai standar. Ini sama dengan mencerna kalimat bahasa Alay, semacam cemunguuuut. Padahal aslinya ditulis semangat.
Mager, itu ternyata kependekan dari malas gerak. Yang ini aku setuju. Tapi masih banyak lagi kalimat dan kata Alay, yang menurut orang yang lahir pada masa kompor gas belum ada, cukup repot untuk memahaminya. Terutama saya, yang suka sekali terbiasa membaca tekstual yang sudah baku, yang sudah sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD.
Ternyata, tentang bahasa Alay ini, rupanya juga sudah ada kamusnya. Tapi memang, dunia itu butuh perubahan, termasuk soal perkembangan bahasa.
Cuma gak kebayang saja, bagaimana jadinya jika semua standar dalam pencarian di internet untuk kategori PC atau ponsel cerdas android itu, semuanya menggunakan bahasa dan kalimat Alay? Bagaimana jika bahasa dan kalimat kalimat Alay ini menjadi Ejaan Yang Disempurnakan. Itu bisa saja terjadi, bukan?
Karena kaum milenial saat ini sudah merajai panggung dunia, sudah menguasai sebagiannya. Tak perlu aku sebutkan siapa saja orang paling kaya di dunia ini dari kalangan usia muda. Kalian toh sudah tau, sebagiannya itu adalah kaum milenial yang usianya masih 20 atau 30 tahunan. Ada juga, yang, bahkan, kurang dari 20 tahun, sudah memiliki kekayaan berlimpah. Entah itu warisan atau apalah. Saya tak mau bahas.
Berbicara bahasa Alay, adalah memahami komunikasi verbal, lisan maupun tertulis dan tekstual. Dalam chat apapun di sosial media, seringkali kita menjumpai kata kata Alay yang muncul dari kaum milenial remaja, yang biasanya lahir tahun 90-an dan lebih banyak lagi milenial yang lahir tahun 2000-an. Rata-rata remaja usia 12 an tahun sudah mulai mahir menggunakan bahasa alay.
Kaum milenial ternyata terus bermunculan. Naluri hewani manusia untuk terus berkembang biak, nyatanya tak bisa menghentikan program pemerintah untuk membatasi jumlah anak lahir. Setidaknya, dalam pengertianku, sepasang suami istri yang menikah terus mengalami peningkatan.
Dan tahukah kalian? Apa keinginan pasangan pengantin yang baru menikah ini? Yang didukung oleh orangtua dan mertuanya? Kehadiran seorang anak. Kehadiran seorang cucu. Itu fakta.
Berbicara tentang anak, di bawah usia lima tahun atau biasa disebut balita, itu sedang lucu-lucunya belajar bicara secara verbal, secara lisan. Mereka menirukan apapun dari apa yang mereka lihat dan dengar.
Pelafalan mereka untuk mengucapkan kata per kata itu mengasyikan sekali untuk dipelajari, disimak, ditonton juga diobservasi.
Kalian tau? Ada banyak kosakata yang justru lahir dari mereka, yang, kita sebagai orang tuanya hanya bisa tunduk dan patuh, bukan karena kita lebih pintar, tetapi karena memang, sang anak adalah raja dan ratunya.
Kita harus tunduk pada anak kecil yang belum tahu apa-apa. Contoh, menurut si anak kata “pisang” itu diucapkan dengan “disang” pakai D itu benar. Lalu, sebagai orangtuanya, kita betulkan dengan huruf P, anak itu nangis, dia tetap ingin mengucap “Disang”. Apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua? Tentu saja mengalah. Berdebat dengan anak sama saja bodohnya kan, haha.
Saya jadi berpikir liar, dunia masa depan kita akan dikuasai oleh anak manusia, yang tak lagi begitu faham apapun, namun menguasai semuanya.
Bahasa Alay adalah salah satunya. Bahasa alay bisa saja menguasai dunia. Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Ini hanya tulisan teu paruguh saja. Hanya opini, kawan. Kau tak setuju denganku adalah wajar. Silakan berargumen sendiri. ***
Penulis adalah seorang ibu rumah tangga. Pengelola perpustakaan dan taman baca di Majalengka
Comment here