Oleh: Radiah Ylevon
BANDUNG – macakata.com – Pukul lima usai Shubuh, gelap masih menyelimuti taman. Meski tamannya bernama Lansia, tapi orang yang ada di dalamnya, kebanyakan masih muda-muda ABG penuh gaya.
Bahkan, jika malam Minggu, selalu terlihat hadir pasangan muda ABG yang penuh pesona. Duduk mojok di tengah keremangan taman. Kebanyakan hanya sebatas ngobrol biasa, tak ada yang aneh dalam sikap berduaan pacaran itu.
Tak taulah kelanjutannya seperti apa, selepas lirikan mata yang mengawasi mereka. Mungkin saja ada tindakan panas selanjutnya. Aah..tapi biarkanlah, itu urusan mereka, saya pun dulu pernah muda. Meski sekarang masih muda.
Pagi itu hari Minggu. Sabtu sore sebelumnya, mobil-mobil berletter D sudah memasang dan mempersiapkan tiang, maupun kios semi permanen yang mudah dibongkar pasang.
Kios atau lapak dadakan itu berjejer di pinggir jalan Cisangkuy, sebelah Gedung Sate Bandung Provinsi Jawa Barat.
Teman saya bilang, masa kecilnya di Bandung itu, dulu masih penuh pohon-pohon besar.
Sekarang miniatur hutan itu hanya terwujud di sejumlah titik, salah satunya Taman Lansia, dan area terbuka lainnya, yang tetap mengandalkan pohon dan daun daun hijau alami tetap tumbuh dan tertata.
Bergeser lagi sedikit ke arah Gasibu, pertengahan Januari 2022, Gasibu masih terlihat banyak garis bertuliskan “do not cross” tanda tak boleh dimasuki. Alias dilarang masuk.
Sepuluh tahun kembali menjejaki Gasibu, memang ada sedikit perubahan. Tapi nuansanya benar benar selalu baru.
Sisi kiri, sekarang ada hotel berkelas bertingkat tinggi. Depan Gasibu kini ada monumen baru.
Monumen ini cukup mencolok. Berdiri dengan dua garis menjulang ke atas langit. Seperti dua tangan yang diangkat, dijejerkan rata segaris ketika mau tepuk tepuk tangan. Seperti itulah bentuknya. Seperti tangan si Unyil dan pak Ogah.
Tugu monumen perjuangan Covid-19 itu, pasti akan selalu dilirik oleh setiap mata yang lewat. Car Free Day setiap Minggu pagi, telah menjadi magnet orang berkumpul di area terbuka itu cukup fantastis. Ribuan orang tumpah ruah.
Antara yang joging, rekreasi, olahraga dan belanja bersatu padu. Cuaca Bandung yang adem dingin, dan nuansa kreativitas yang selalu ada di setiap sudutnya, menjadikan Bandung selalu suka dikenang. Sukar untuk dilupakan.
Membuat warga lain yang tinggal di luar Kota Bandung, selalu ingin mengunjunginya kembali lain waktu.
Memandang monumen perjuangan Covid-19 di Bandung, seperti memandangi arsitek di dunia lain. Saya jadi teringat film Transformer. Hahaha
Orang Bandung yang bergaya simpel sederhana, namun selalu necis, dan padu padan busananya selalu terlihat pas itu, tampak yang biasa saja menimbulkan kesan luar biasa. Pantas saja, sebutan Kota Kembang untuk Bandung, juga menempel untuk sebutan Kota Mode.
Cuci pandangan untuk mata yang haus, melihat si geulis dan si ganteng menjadi tujuan merupakan bonus saja. Yang terkadang menjadi tujuan utama.
Tapi sebetulnya lebih pada orientasi mencari inspirasi baru. Bosan di rumah terus. Yang bermobil pun, di area Car Free Day sana, seolah tak pernah gengsi untuk terus tetap berjualan. Mereka melapak layaknya pedagang yang belum punya kendaraan.
Beragam kuliner pun tumpah ruah di sekitar Gasibu. Persis seperti namanya, Gedung Sate, di depan gedung itu memang banyak yang menjajakan sate. Ngampar, alias lesehan.
Jangan tanya tentang pembelinya. Yang berkostum olahraga joging saja, mereka berhenti dulu, sarapan sate dengan kupat atau lontong, yang, tentu saja lebih banyak lemaknya daripada dagingnya. Tapi its oke, sesekali kita harus merasakan kuliner jalanan Gasibu.
Menyenangkan sekali dapat kembali mengunjungi Gasibu Bandung. Senang sekali bernostalgia Menyusuri trotoar jalanan di kota itu.
Sepuluh tahun lalu, seperti hanya berubah sedikit saja. Polesan artistik dengan nuansa yang Bandung banget masih tetap sama, bahkan terlihat lebih keren kekinian. ***
Penulis adalah warga Jawa Barat
Comment here