Oleh : Herik Diana
MacaKata.com – Dua tahun sudah mengalami situasi pandemi. Itu sangat berat, khususnya bagi saya yang menjalani profesi sebagai jurnalis. Sebagai wartawan. Reporter. Sangat mungkin juga dirasakan hampir semua kalangan wartawan lain.
Tahun pertama situasi pandemi, saya melihat, saya mendengar, saya membaca sejumlah informasi tentang teman yang bekerja di media-media besar, ternyata, sebagian dari mereka ada yang harus rela menerima surat “dirumahkan”. Itu karena, salah satu faktornya, perusahaan media mengalami penyusutan anggaran. Sehingga tak lagi mampu untuk membayar honor bulanan, ataupun gaji untuk wartawan.
Lebih miris lagi, ketika berbicara tentang jurnalistik yang ideal, yang mengarah pada profesionalisme jurnalistik, masih belum sejalan seirama antara bawahan dengan atasan. Saya mengalami langsung. Tapi saya tak akan menyebutkan nama redaktur, maupun media tempat saya bekerja dulu. Toh, saya masih menghormati pimpinan redaksi saya. Itu terjadi tahun 2020 lalu.
Singkat cerita, tulisan hasil liputan yang saya kirimkan sudah lengkap dengan tiga narasumber. Artikel berita yang saya tulis pun, bukanlah isu yang sensitif amat. Hanya isu ringan.
Namun yang terjadi, ketika artikel berita itu dimuat, terbit, jadinya malah satu narasumber. Dua narasumber dihilangkan oleh redaktur. Dari pemuatan berita, dengan tulisan asli yang dikirimkan wartawan, sudah jelas siapa yang mengusung idealisme jurnalistik profesional. Kuat mana satu narasumber dengan tiga narasumber? Namun terbit hanya satu narasumber.
Tapi sudahlah. Itu sudah berlalu. Namun, cerita pengalaman itu hampir sama ruhnya dengan situasi pandemi Covid-19 ini. Krisis kepercayaan. Krisis kesejahteraan. Krisis informasi, mana yang benar, mana yang hoaks. Susah untuk dicari titik temunya.
Mana yang salah, redaktur atau si jurnalis? Di sini saya ambil kesimpulan sementara, ideal tak berbanding lurus. Tulisan si wartawan yang mengusung artikel berita dengan tiga narasumber, versus tulisan hasil editing redaktur menjadi –hanya satu narasumber saja- mana yang lebih berbobot? Tingkat profesionalisme antara redaktur dengan si reporter di lapangan, belum berbanding lurus. Padahal garis tengah diantara itu yakni UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Bukankah tulisan berita harus berimbang? Sesuai pasal tiga kode etik jurnalistik.
Sebagai wartawan, atau jurnalis, kita memang wajib melaksanakan dan menjalankan kode etik jurnalistik. Minimal, saya mengingatkan diri sendiri untuk menguji pasal tiga itu, yakni, mencari, mendapatkan, juga menguji informasi yang saya dapatkan.
Faktor lainnya, di tengah situasi pandemi ini, faktor menolak bertemu untuk diwawancarai oleh para pejabat kerap muncul, karena alasan lockdown, sedang karantina mandiri, terkadang jadi alibi pejabat. Sementara, saya kurang tahu pasti, bisa saja pejabat itu berbohong, demi menghindari tak mau diwawancara.
Di pintu- pintu gerbang dinas atau instansi, mayoritas terpampang tulisan, “Untuk menghindari penularan Covid-19, untuk sementara kami tidak menerima tamu.” Silakan menghubungi pejabat via ponsel. Begitu kira-kira bunyi kalimat yang diumumkan.
Tapi, lagi-lagi, ketika dihubungi via ponsel, sebagian pejabat malah cuek saja. Tak menjawab telpon, tak membalas chating, hanya dibaca saja atau entah dibaca pun (mungkin) tidak.
Pasal 3 kode etik jurnalistik mengajarkan saya, untuk tidak selalu copi paste atau copas, karena wartawan Indonesia harus selalu menguji informasi, membaca ulang banyaknya rilis-rilis yang tersebar, merombaknya dan menulis ulang, (jika itu rilis). Itu ilmu yang saya dapatkan dalam setiap pelatihan, juga ketika UKW dan saya coba terapkan. Berita rilis memang bagus, membantu wartawan untuk kuantitas jumlah berita per-hari, tapi rombaklah, editlah dulu, karena rilis bukan wahyu yang turun dari langit.
Oh ya, situasi pandemi ini, berita-berita yang sudah jadi, yang disebut rilis, banyak yang dikirimkan kepada para jurnalis. Dengan harapan dimuat dan membantu wartawan untuk melengkapi kekurangan berita per hari.
Namun sayangnya, tak semua rilis yang dikirimkan berbanding lurus dengan jerih payah wartawan, yang harus merombak rilisan. Sejumlah perusahaan besar sekalipun, bahkan hanya getol saja ngirim-ngirim rilis, sementara kompensasi untuk wartawan di masa pandemi ini, biasanya hanya diajak gathering tahunan. Jauh panggang dari api.
Di masa pandemi ini, bahkan acara gathering pun ditiadakan. Jelas, tingkat kesejahteraan wartawan berkurang drastis.
Betul, wartawan memang harus selalu tanggap. Menerima informasi dari manapun itu, dari siapa pun itu. Tapi, jika rilis muncul dari perusahaan raksasa, tanpa kompensasi apapun, dapur redaksi kita juga mikir ulang. Sekelas perusahaan besar hanya rajin kirim-kirim rilis, sementara kompensasi untuk perusahaan tidak ada? Pertanyaan ini muncul dari redaktur saya lho. Mungkin sama juga dialami oleh wartawan lain di kantor redaksi lain. Apalagi untuk wartawan, jurnalisnya? Sementara di luaran sana, ASN dan pegawai swasta tetap menerima honor jika menerima job.
Kembali ke soal bertahan di masa pandemi Covid-19, memang saat ini banyak yang beralih ke pertemuan digital. Lewat zoom meeting.
Tapi, lagi-lagi, pertemuan via virtual itu pun, hanya menyita waktu saja. Tak ada kompensasi pengganti pulsa atau kuota. Hanya satu banding seratus, yang mengadakan pengganti kuota. Selebihnya hanya berbalut gratis. Tak ada kompensasi apa pun.
Tapi, mungkin, pengecualian bagi wartawan yang bekerja di perusahaan media besar nasional yang punya kantor di pusat ibu kota sana. Aah … tapi tak tahu-lah, kadang kontributor di daerahnya tetap saja mengeluh, sulit mengakses dan mendapatkan informasi untuk sekedar hanya bertemu pejabat sekedar untuk wawancara.
Sebagian wartawan, yang dulu tak punya usaha, karena pandemi ini, kini jadi punya usaha. Meskipun masih berjalan secara tertatih-tatih, karena memang daya beli masyarakat yang masih kurang. Pendapatan masih belum berbanding lurus dengan hasil. Masih tumpang tindih untuk kebutuhan mencukupi beras dan beli minyak goreng, yang kini masih sulit didapat. Omset hasil penjualan pun belum berbanding lurus dengan balik modal.
Terlepas dari semua faktor itu, dan semua kekurangan kerja wartawan, jurnalis di daerah, mari kita berharap dan berdoa, pandemi ini segera usai. Ekonomi kembali meningkat. Daya beli kembali normal. Jurnalis kembali bertatap muka ketika wawancara. Karena, ada nilai emosional dan empati ketika berhadapan langsung. Virtual oke, tapi pertemuan tatap muka langsung sangat dirindukan dan berkesan.
Penulis adalah jurnalis di Majalengka, Jawa Barat
Comment here