Oleh : Yoki Andalusia
MacaKata.com – Sejak diresmikan bulan Februari 2021 lalu, kios dengan nuansa arsitektur terakota, berada di bagian bawah Tribun Alun-alun Majalengka ini masih kosong. Belum terhuni oleh pedagang lokal maupun internasional.
Para Pedagang Kaki Lima atau PKL, yang biasa mangkal di dekat alun-alun Majalengka, tentu saja hanya bisa mengelus dada. Miris, namun tak bisa berbuat banyak.
Apa pasal? Karena memang, informasinya, kios atau toko di Alun-alun Majalengka itu hanya diperuntukkan bagi brand-brand kelas internasional. Saya tidak mau sebut. Tapi itu merek brand kopi yang cukup terkenal di ibu kota.
Juga, ada kuliner kelas internasional yang mengusung brand serupa. Yang bahannya dari daging ayam itu, yang ada krispi-krispinya gituh. Sekali lagi saya lagi males nyebut brand dan nama.
Kios alun-alun Majalengka yang kini masih kosong molompong, masih menunggu para penghuninya. Selama ini, hanya bagian luar kios saja, alun-alun Majalengka selalu ramai jika sore hari, bejibun jika hari Sabtu dan Minggu, atau ratusan orang tumplek jika hari libur.
Kios alun-alun Majalengka ini entah sampai kapan terlihat hampa. Di sudut ke dekat pintu gerbang gedung DPRD, masih area kios alun-alun Majalengka, memang ada pojokan baca. Ada puluhan buku di sana, tapi itu lebih jadi ajang pajangan saja. Mirip sebuah figur yang ada fotonya, hanya berfungsi untuk ditatap saja. Dilihat. Tapi tak bisa diraba.
Lorong jalur kios alun-alun Majalengka ini terlihat ekselent, eksotis, tampak selalu bersih, jauh dari sampah. Para petugas sampah selalu hadir setiap hari. Yang rajin mengotori pun selalu saja ada, tak pernah sadar.
Sebagai masyarakat, saya mendambakan sekali ramainya transaksi antara penjual dan pembeli di Kios alun-alun Majalengka itu. Bukankah saat ini sudah memasuki pemulihan ekonomi di akhir masa pandemi?
Apakah kios-kios di alun-alun Majalengka ini masih menunggu brand internasional, yang memasarkan kuliner alay dan mahal? Tanpa peduli mau merangkul UKM lokal Majalengka yang juga berkelas internasional.
Sepertinya, kebijakan berpihak pada rakyat kecil, masih terlalu banyak jalur kepentingan. Kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil hanya ada di negeri dongeng dan novel-novel.
Menggembar-gemborkan selalu ingin berpihak pada rakyat kecil itu hanya lipstik saja. Seremoni. Dan hanya sekedar cuap-cuap di depan mikrofon saat acara seremonial, yang hingga kini, masih saja selalu membudaya.
Kios alun-alun Majalengka yang masih kosong dan hampa itu, masih bertengger tertutup dan terkunci. Sebagian ada yang terbuka. Hanya ada nyamuk-nyamuk setiap malam, rambetuk sore hari, hewan besar tak bisa masuk.
Untungnya, kios itu punya pintu transfaran kaca bening. Bisa dilihat dari luar, sehingga, minim kemungkinan untuk bisa berbuat mesum. Kios di sebelah utara tampaknya lebih tertutup.
Kios alun-alun Majalengka dengan dinding terakota merah maroon itu, masih asyik dilewati dalam keadaan sunyi. Berlari-lari kecil dengan balita dan anak-anak remaja sungguh mengasyikkan.
Kios alun-alun Majalengka masih menunggu sentuhan pemimpin, yang berani bergerak memihak rakyat lokal. Bukan berani dan pintar cuap cuap sajah.
Kalau pemimpin hanya sekedar pandai bicara. Anak Sekolah dasar saya, kelas tiga, sudah pandai ngomong dan bicara blak-blakan.
Kios alun-alun Majalengka, sepertinya hanya museum hampa, tanpa karya seni lainnya. Hanya karya seni dari arsitektur yang hingga kini masih dikagumi. Terakotanya mendunia. Estetikanya ada, tapi fungsi kios belum ada.
Atau, menunggu anak-anak jalanan mendobrak pintu kios itu. Kita tidak pernah tau. ***
Penulis adalah netizen, warga Majalengka, penyuka bacaan
Comment here