Oleh : Gol A Gong – Duta Baca Indonesia
Surat Terbuka kepada Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Ridwan Bae
MACAKATA.COM – Tadinya saya sebagai Duta Baca Indonesia ingin merasa jadi orang paling berbahagia di HUT ke-77 RI ini pada 17 Agustus 2022 besok. Merasakan betapa revitalisasi perpustakaan yang tadinya ekslusif jadi berbasis inklusi sosial dan itu mendorong semangat masyarakat untuk datang ke perpustakaan. Perpustakaan sekarang bukan lagi ibarat kamar mayat, tapi berubah jadi mall, ramai sekali; mereka tida hanya membaca buku, tapi juga mendongeng, berdiskusi, meluncurkan buku, merayakan hari-hari penting literasi, dan mengapresiasi orang-orang yang bergiat di literasi dengan memberikan award.
Saya sudah mendatangi hampir setiap jengkal kota-kota di Indonesia. Saya melihat Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis berkembang pesat. Perpustakaan di Provinsi, Kota, Kabupaten, bahkan di desa-desa mulai ramai dikunjungi; mereka mengakses Google sekaligus membaca buku konvensionalnya. Perpustakaan keliling ditunggu kehadirannya setiap saat – termasuk menanyakan buku-buku baru.
Tiba-tiba, saya seperti disamber geledek ketika menonton tayangan video di akun FB PenaSultra.id yang berjudul “Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Ridwan Bae, ST Soroti Kerusakan Infrastrukutur Jalan Provinsi”. Pak Dewan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Darah Pemilihan Sulawesi Tenggara mengomentari jalan yang rusak di Sulawesi Tenggara, karena Gubernurnya meminjam dana Rp. 1 trilyun dan membangun sesuatu yang tidak prioritas. “Gubernurnya membangun perpustakaan. Untuk apa perpustakaan itu? Orang sekarang tinggal buka Google.”
Saya sertakan linknya di sini:
Saya breharap Pak Dewan berbicara seperti itu tidak keluar dari hati. Saya setuju jika jalan rusak di Sultra harus diperbaiki jadi mulus. Tapi tidak elok juga jika Pak Dewan berpendapat, membangun perpustakaan itu tidak penting dan Google adalah segala-galanya. Memangnya gampang, Pak Dewan, memverivikasi tulisan-tulisan atau e-book di Google jika ada mahasiswa yang sedang melakukan penelitian? Pak Dewan yakin, mereka memiliki kuota cukup?
Jika di Sultra atau di provinsi lain, ada perpustakaan yang megah, maka si mahasiswa tinggal datang, berselancar di Google karena ada wifi dan memverivikasinya di buku-buku referensi yang ada di rak-rak perpustakaan. Tugas Pak dewan memang mengawasi anggaran, tapi janganlah mengeluarkan pernyaan nyinyir kepada Gubenur yang membangun perpustakaan. Masak Pak Dewan harus saya ingatkan lagi tentang amanah UUD 1945?
Saya hanya geleng-geleng kepala ketika memutar ulang lagi video itu. Pak Dewan ini tidak memahami fenomena di masyarakat. Tidak tahu apa itu “6 Literasi Dasar” yang sedang digalakkan oleh pemerinah dan direspon dengan baik oleh masyarakat. Pak Dewan tidak tahu bahwa sejak 2001 ada Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca. Pada 2005 bergabung para pegiat literasi Forum Taman Bacaan Masyarakat di Gerakan Literasi Nasional. Komunitas baca-tulis seperti Forum Lingkar Pena, Satu Guru Satu Buku, Nulis Aja Dulu, Komunitas Sastra, dan masih banyak lagi di daerah-daerah muncul secara bergelombang paska reformasi. Semuanya bergerak untuk melawan stigma merendahkan dari negara luar, bahwa kita adalah bangsa yang rendah minat bacanyanya. Gerakan itu di Sultra ada semua, Pak Dewan.
UNESCO mengabarkan, bahwa orang Indonesia harus membaca 3 judul buku setahun. Perpusnas RI menyodorkan data, bahwa 1 buku ditunggu oleh 90 orang. Kami di komunitas literasi, mulai dari anak SD, pelajar, mahasiswa, emak-emak, para guru, wartawan, sastrawan, para buruh pabrik berlomba-lomba menulis dan menerbitkan buku secara gotong-royong, agar rak-rak buku di perpustakaan bertambah koleksinya. Pak Dewan kemudian bilang, “Untuk membangun perpustakaan, kan ada Mbah Google!”
Di era Bung Karno-Bung Hatta, mereka membaca 2 buku setiap bulan. Itu sebab lahir Generasi Emas waktu itu. Sekarang kita sedang dihadapkan ke bonus demografi 2030 dan Visi Indonesia Emas 2045, masak Pak Dewan bilang perpustakaan tidak penting? Pak Dewan mau anak dan cucu kita nanti diserahkan pengasuhannya kepada mbah Google?
Kami para pegiat literasi mencoba memperpendek disparitas itu. Syukur-syukur tahun 2023 menjadi 1 buku ditunggu 30 orang. Mungkinkah? Mungkin saja jika Pak dewan dan teman-teman di Senayan mendukung revitalisasi perpustakaan di sekuruh pelosok Indonesia. Tapi Pak Dewan mengatakan, “Untuk apa membangun perpustakaan?”
Jalan rusak di Sultra atau provinsi lain, tentu harus diperbaiki. Kalau jalan nasional, harus APBN. Kalau jalan provinsi, APBD. Tapi membangun perpustakaan juga harus. Secara parallel; infrastruktur dan suprastruktur. Tidak ada anggaran? Anda sebagai anggota dewan harus mencarikan solusinya.
Kepada saudara-saudaraku di Sultra, saya mohon maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan rumah tangga orang, tapi sebagai Duta Baca Indonesa, saya memiliki tanggung jawab moral untuk meluruskan ini. Pada 2002 di Banten juga begitu. DPRD Provinsi Banten tidak setuju membangun gedung perpustakaan, kami para pegiat literasi memprotes. Akhirnya pada 2012 gedung perpustakaan dibangun. Manfaatnya? Para penulis muda di Banten bermunculan dan menembus nasional.
Akhir kata, saya mengimbau sebagai Duta Baca Indonesia 2021-2025, agar Ir. Ridwan Bae, ST., Wakil Komisi V DPRI RI dengan bijak mencabut omongannya di tayangan video itu dan meralat dengan sesuatu yang positif, bahwa membangun perpustakaan itu sangat penting seperti juga halnya membangun jalan yang mulus. Masyarakat membutuhkan perpustakaan yang memberikan layanan prima seperti juga membutuhkan jalan yang mulus.
Salam Literasi
Gol A Gong
Duta Baca Indonesia
Comment here