Kolaborasi Komunitas Kita Mengabdi dan Fahmina Institut
MAJALENGKA – macakata.com – Komunitas Kita Mengabdi Majalengka berkolaborasi dengan Fahmina Institut juga Komnas Perempuan menggelar diskusi terbuka. Diskusi ini mengangkat tema Refleksi Sumpah Pemuda dengan bedah buku “Toleransi dalam Islam”.
Diskusi ini mengajak kalangan pemuda dan mahasiswa/i untuk rajin menulis dan membaca. Mengingat hasil tulisan itu bersifat abadi, sementara hasil lisan itu sementara. Semangat membaca buku buku referensi harus kembali digeliatkan.
Acara diskusi ini dipandu oleh moderator dari kalangan Aktivis Perempuan Komunitas Kita Mengabdi, Intan Damayanti. Diskusi ini berlangsung di aula FISIP Unma, Jumat, 28 Oktober 2022.
Direktur Fahmina, Rosidin M. Hum mengatakan situasi saat ini lebih banyak membangun tembok besar. Sementara untuk bisa maju dan berkembang, para pemuda dan mahasiswa sangat perlu berkomunikasi dan melihat ke wilayah lain, serta membangun hubungan satu sama lain.
“Refleksi Sumpah Pemuda ke-94 untuk saat ini kita tak perlu membuat tembok setebal dan setinggi mungkin, supaya mudah berhubungan dan berkomunikasi, sebaiknya kita bangun jembatan yang kuat untuk melancarkan komunikasi,” ungkapnya.
Rosidin menambahkan, membangun jembatan komunikasi sebagai sarana untuk menjalin hubungan perlu terus disuarakan.
“Wawasan dan pengetahuan kita perlu terus dibangun, caranya membangun jembatan, jangan bangun tembok,” ucapnya.
Sementara itu, tokoh pemuda Majalengka, juga anggota DPRD Majalengka, Moch. Fajar Siddiq mengatakan generasi milenial belajar dari apa yang telah disampaikan. Namun, berbicara tentang kondisi pemuda saat ini mengalami degradasi rasa, yakni pemuda saat ini kehilangan momentum silaturahmi.
“Kita mengalami degradasi rasa. Kita banyak kehilangan momentum silaturahmi. Rosulullah SAW ditugaskan untuk mengajarkan akhlak yang baik, cinta dan kasih sayang, itu akan muncul dalam silaturahmi,” ujarnya.
Fajar menambahkan, ia menceritakan rasa prihatinnya ketika menerima aspirasi langsung dari masyarakat Majalengka. Empat bulan yang lalu, dirinya merasa terpukul sekaligus prihatin. Ia ditegur oleh seorang ibu yang ikut dalam reses.
“Ada seorang ibu yang langsung protes ke saya. Itu ketika reses. Intinya, beliau merasa terbebani dengan perilaku anak muda saat ini. Sebagai contoh, anak kuliahan saat ini diberi uang saku Rp50 ribu itu ternyata tidak cukup. Karena banyak kafe-kafe dan kerjaannya nongkrong. Waktu saya kuliah, ngobrol itu cukup di sekretariat atau kampus, sambil diskusi ditemani sepiring kacang. Perilaku sekarang, anak-anak mahasiswa lebih banyak masuk ke kafe, ini menjadi keprihatinan saya,” ungkapnya.
Fajar menambahkan, saat ini ia melihat generasi milenial telah kehilangan suasana silaturahmi. Sambung rasa yang lebih dinamis sudah jarang disaksikan. Saat ini lebih terlihat individualistik. Padahal, Islam telah membentuk karakter ummatnya dengan suri tauladan dari Rosulullah SAW.
“Ada harapan yang besar bagi generasi saya, kita harus mencoba kembali menghidupkan momentum silaturahmi dan menjalin komunikasi yang efektif dengan orang-orang yang lebih berpengalaman,” ungkapnya.
Narasumber lainnya, Diding Bajuri mengatakan, pemuda saat ini tidak perlu berjuang dengan berperang, kita hanya melanjutkan perjuangan. Caranya dengan menjadi bagian dari solusi. “Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah,” ungkapnya.
Narasumber diskusi lainnya yakni, Yayah Nurhidayah. Ia mengedepankan tentang peran perempuan di luar rumah. Bahwa sebagai perempuan punya peranan yang sama dan sejajar dengan kaum laki-laki. Pihaknya melihat, bila terjun ke desa-desa, ia menyaksikan masih ada diskriminasi terhadap perempuan.
“Diskriminasi terhadap peran perempuan di desa-desa itu masih ada. Perempuan termarginalkan, kalau di desa mayoritas perempuan hanya tau dapur, sumur dan kasur. Padahal, perempuan tak cukup hanya cantik, tapi juga harus berwawasan. Nah, untuk mengisi kemerdekaan? Peran dan fokus perempuan harus fokus pada bidangnya masing-masing,”ungkapnya.
Narasumber inti, penulis buku “Toleransi Dalam Islam”, KH. Husein Muhammad menuliskan dalam bukunya. Rosulullah SAW sebagai nabi dan rosul yang paling akhir telah mengajarkan toleransi dengan cara tetap berbuat baik pada orang yang berbeda dengan pendapat dan agama.
“Bahkan, Rosulullah SAW pernah menyuapi makan orang Yahudi, padahal orang itu sering memaki-maki dirinya dan menjelekkan Rosulullah SAW,” ungkapnya. (Acil)
Comment here