MACA – Melihat tekstual yang ada dalam lembaran kertas bertumpuk, tersusun rapih dalam balutan cover seukuran dompet perempuan yang sering dibawa-bawa, rasanya lebih menyenangkan ketimbang melihat dalam cahaya silau android smartphone.
Tekstual yang dimaksud adalah kalimat-kalimat hasil imajinasi, sebagian berdasarkan hasil rapat berbulan-bulan di parlemen sana, jadilah Undang-Undang dan peraturan.
Keduanya sama-sama tekstual. Melahirkan bacaan tercetak, dan kini, lahir jutaan PDF yang berisi teori tentang tekstual yang membahas tentang aturan.
Fiksi lebih menarik. Apalagi, fiksi yang dimaksud merupakan karangan hebat dari para penulis terdahulu.
Membaca novel-novel tebal, mencermati kisah-kisah, menghayati penggambaran masa itu yang dilukiskan para penulis, sungguh suatu keajaiban yang kini menjadi realita.
Apalagi fiksi ilmiah. Ketika imajinasi para penulis dulu menuliskan bahwa, masa depan orang akan lebih mudah berkomunikasi, meski jarak terpaut jutaan kilometer, hari ini sangat terbukti. Video Call bisa dilakukan antar benua, antar negara, asalkan terhubung dengan internet.
Siapa yang mula-mula membuat itu? Sejauh ini, realita terjadi karena imajinasi yang berlebihan. Ditulis dalam tekstual. Lalu dikaji hingga menjadi kenyataan.
Terima kasih para novelis. Juga terimakasih para akademisi. Kalian adalah dua jenis guru besar tekstual, dengan penyampaian metode berbeda dalam menuliskan kalimat tertuang.
Novelis, murni mengarang cerita yang dibalut fakta. Akademisi mengkaji tekstual dalam hal kerangka berfikir.**
Comment here