Oleh : Titin Kustini
MACA – Wanita identik dengan kelembutan tetapi menyimpan kekuatan. Stereotip ini begitu lekat pada wanita. Namun di sisi lain, wanita juga akrab dengan kekerasan, sering di posisi sebagai korban.
Kekerasan yang terjadi pada wanita bukan saja kekerasan fisik tetapi juga bisa kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak hanya dalam bentuk fisik saja tetapi juga meliputi kekerasan verbal yang banyak terjadi dan merusak mental para wanita.
Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan menyatakan pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Banyaknya kasus tersebut menjadi sinyalemen buruk bagi kekerasan terhadap perempuan yang terus saja terjadi, baik yang terekspos oleh media (biasanya KDRT yang terjadi pada public figure) maupun yang tidak terekspos oleh media (dan ini yang mayoritas).
Dalam siaran Pers Komnas Perempuan menyatakan, tahun 2022 merupakan tahun bersejarah bagi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual di Indonesia.
Setelah menjalani proses kurang lebihnya 12 tahun, upaya menghadirkan payung hukum yang lebih baik untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual berbuah Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan memuat enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, UU TPKS diharapkan dapat mengatasi beragam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan hak atas keadilan, penanganan dan pemulihan. Saatnya kini kita memastikan bahwa UU TPKS diterapkan dan dapat bermanfaat bagi korban.
Statemen di atas masih mengundang tanya dan menunggu pembuktian. Benarkah UU TPKS bisa menekan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan? Sejauh mana efektifitas UU ini mengingat pro dan kontra terhadap UU ini juga masih terus bergulir?
Sementara kondisi sekarang ini, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP) kian marak dan membutuhkan penanganan tuntas. KDRT telah banyak meyebabkan perempuan mengalami situasi disabilitas mental yang seringkali membutuhkan recovery berkepanjangan.
Sementara dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan.
Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85%). Ini cukup memprihatinkan. Angka 85% sungguh sebuah angka yang signifikan dan menyebabkan keseriusan penanganan terhadap kekerasan ini menjadi sangat layak dipertanyakan. Ketiadaan penyelesaian hanya akan memperburuk keadaan dan cenderung mendorong munculnya kasus-kasus baru.
Ada berbagai hal jadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.
Faktanya, rumah singgah bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak selalu ada di setiap kabupaten. Apalagi biro khusus (terdiri dari para experts di bidang hukum dan psikologi, misalnya) yang menangani penyelesaiannya. Jadilah kasus-kasus kekerasan ini menjadi tidak tuntas dan hanya menjadi fenomena gunung es.
Kekurangan fasilitas infrastruktur dan SDM ini diakui oleh Komnas Perempuan. Peningkatan jumlah kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan (16 kasus/hari) yang tidak dibarengi dengan sumber daya kelembagaan yang memadai menjadikan penyelesaian kasus tidak optimal.
Di tengah peningkatan pelaporan kasus KBG terhadap perempuan yang juga semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikhawatirkan tidak hanya akan menyebabkan stagnansi dalam hal kapasitas penanganan kasus, namun juga memicu kasus-kasus baru sebagai efek dari tidak terselesaikannya kasus-kasus lama.
Meski sudah tersedia Layanan Call Center SAPA 129 KemenPPPA untuk akses bagi korban atau pelapor dalam pengaduan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak, namun tidak serta merta membuat kasus kekerasan terhadap perempuan ini menjadi terwadahi. Hasil Survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene menyebutkan 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum (APH) dengan berbagai ragam alasan seperti malu, takut disalahkan, tidak cukup bukti, tidak didukung keluarga, dan intimidasi pelaku (Asmarani, 2016).
Data KBGTP sendiri pada tahun 2022 masih didominasi oleh kekerasan di ranah personal dengan 2.527 kasus, dimana 771 kasus diantaranya adalah kekerasan terhadap istri dan 212 kasus kekerasan terhadap anak perempuan (Komnas Perempuan, 2022b). Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 (KPPPA, 2018) yang salah satu tujuannya untuk mengidentifikasi faktor risiko dan faktor perlindungan dari tindak kekerasan menyebutkan bahwa 1 dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual, dengan prevalensi usia 18-24 tahun sejumlah 83.2% mengalami kekerasan berbentuk sentuhan, dan 70% diantaranya berupa pemaksaan fisik. Sementara itu untuk pelaku kekerasan seksualnya 10.3% dilakukan oleh keluarga, 15.7% oleh pasangan/pacar, dan 47.1% oleh teman/sebaya. Fakta bahwa keluarga dan lingkaran terdekat korban yang menjadi pelaku tindak kekerasan ini, menjadi suatu kenyataan yang menyedihkan.
Banyaknya kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu yang seakan tidak pernah selesai dan menjadi lingkaran setan di dalam realita tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di lapangan. Budaya patriarki dimana kaum lelaki di rumah tangga adalah superior dan kaum wanita adalah inferior menjadi alasan klasik yang tidak akan selesai tanpa adanya kesepakatan dan kesepahaman bersama bahwa budaya patriarki yang banyak berdampak negative ini harus dihapus. Kaum wanita di dalam keluarga baik itu istri maupun anak adalah kaum yang harus dibela dan dilindungi dalam koridor kesetaraan gender di dalam keluarga (Handayani, 2016; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2020; Lubis, 2017; Muhajarah, 2016; Purwanti & Zalianti, 2018).
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan akan mampu ditekan jika penanganannya menyeluruh dan tersistematisasi dengan melibatkan semua pihak. Pemerintah melalui dinas terkait hendaknya terus menerus melakukan upaya sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat agar peduli dan menyadari hal ini sebagai tanggung jawab bersama. Permasalahan utama nya adalah ketimpangan di masyarakat ini terus dinarasikan menjadi sebuah kewajaran (Afifah, 2017; Indaryani, 2019; Primagita & Riantoputra, 2019; Rosida, 2018; Sumadi, 2017; Yusalia, 2014).
Norma sosial dan agama dengan payung hukum yang jelas harus benar-benar diterapkan agar timbul efek jera bagi pelaku kekerasan. Masyarakat harus mampu menumbuhkan empati terhadap perempuan dan sadar bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan benar-benar harus dihentikan. Tanpa itu, kasus kekerasan akan terus ada.
References
Asmarani, D. (2016). 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei. Magdalene. Retrieved from https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei
Purwanti, A., & Zalianti, M. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Anak Melalui Ruu Kekerasan Seksual. Masalah-Masalah Hukum, 47(2), 138–148. https://doi.org/10.14710/mmh.47.2.2018.138-148
Indaryani, S. (2019). Dinamika Psikososial Remaja Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Psikologi Perseptual, 3(1), 1–6. https://doi.org/10.24176/perseptual.v3i1.3677
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Profil Perempuan Indonesia. Profil Perempuan Indonesia, xviii+178.
Komnas Perempuan. (2022a). Bayang-bayang Stagnansi : Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah , Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan. (2022b). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022.
https://pmb.brin.go.id/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-budaya-patriarki-di-masyarakat-indonesia/
Comment here