LifestyleOPINI

Childfree, Buah Pemikiran Kaum Feminis yang Keliru

Oleh : Titin Kustini

MACA – Childfree, meski bukan topik baru, setidaknya sedang hangat dibicarakan di Indonesia belakangan ini. Childfree didefinisikan sebagai keputusan atau jalan hidup seseorang, untuk tidak memiliki keturunan (anak). Terutama pasangan suami dan istri yang memutuskan untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Istilah lain juga menegaskan sebagaimana menurut dictionary.cambridge.org yang menyebutkan “used to refer to people who choose not to have children, or a place or situation without children.” Artinya, istilah yang digunakan untuk merujuk seseorang untuk memilih keputusannya tidak memiliki anak atau tempat dan situasi tanpa adanya anak.

Pemikiran ini sebenarnya sudah lama dipraktikkan di Barat sejak akhir tahun 2000an. Ide yang digagas oleh kaum feminis, sebagai implementasi body right atau body politic bahwa perempuan berhak akan tubuhnya, reproduksinya, hak untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Perempuan mutlak bebas menentukannya, sebagai bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ide ini terus dikampanyekan di negeri-negeri muslim, hingga menjadi gaya hidup baru dalam berkeluarga.

Alasan yang diklaim oleh wanita yang memilih childfree sangat beragam. Ada yang menyatakan untuk memelihara bentuk tubuh agar tetap indah, ada yang menyebutkan tidak mau menambah populasi manusia yang sudah banyak, ada yang menyatakan takut tidak bisa mengurus anak, takut anaknya durhaka, masih banyak anak terlantar, dan lain-lain. Alasan-alasan tersebut sarat dengan keegoisan, hidup hanya untuk kesenangan diri, tak boleh ada yang mengganggunya, bahkan buah hatinya.

Namun ternyata apa yang dikampanyekan demi kebahagiaan wanita itu tidaklah benar. Menarik apa yang diungkapkan oleh Denielle Crittenden, dalam bukunya yang berjudul Wanita Salah Langkah. Kesetaraan dalam segala hal, ternyata tidak membahagiakan perempuan. Di masa tuanya, perempuan yang hidup dengan nilai-nilai feminisme malah merasakan sedih, karena telah kehilangan keintiman dan persahabatan dari seorang suami atau karena ketiadaan anak. Hal ini menunjukkan bahwa hal fitrah bagi perempuan adalah bahagia hidup dalam keluarga yang harmonis didampingi suami, dan anak-anaknya. Tak heran bila pencetus feminisme gelombang ke dua, Betty Friedan, di masa tuanya gemar menunjukkan foto dirinya bersama cucu-cucunya.

Istilah feminis pertama kali muncul di Barat dengan kata Fe-Minus. Hal ini senada seperti bahasanya Hamid Fahmy Zarkasi bahwa “Istilah Femina, feminisme, feminis yang berasal dari bahasa latin fei-Minus, fei berarti iman sedangkan minus artinya kurang. Jadi feminus artinya adalah kurang iman.”[1] Sebagaimana menurut sejarahnya, wanita di Barat memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Artinya wanita di Barat adalah sebagai korban inquisisi dan di masyarakat jadi korban perkosaan laki-laki. Maka tak heran agama dan laki-laki menjadi musuh wanita di Barat.

Feminisme adalah hasil yang dilahirkan berdasarkan worldview Barat, juga merupakan bagian dari program liberalisasi dalam pemikiran Islam. Sebagai buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminis liberal, Barat Marxis membuahkan feminis Marxis, Barat postmodern melahirkan feminisme posmo dan lain sebagainya. Selain itu, Hamid Fahmy Zarkasi juga menegaskan bahwa gerakan feminisme adalah gerakan nafsu amarah, dimana sebagai pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Sebagai obyeknya adalah kaum laki-laki, hubungan sosial, politik dan ekonomi. Selebihnya, ketika awal mula gerakan ini masuk ke Indonesia yang berwajah gerakan pemberdayaan wanita. Akan tetapi nilai, prinsip, ide bahkan konsep gerakannya masih sangat kental dan asli dari produk Barat.

Gagasan childfree, sebagai buah pemikiran feminisme yang mendeklarasikan menikah tidak perlu mempunyai anak karena dipandang bahwa mempunyai anak itu akibatnya akan menyusahkan wanita. Hal ini sangat kontradiktif dengan Islam, di mana menurut  filosofi Islam, pekerjaan seorang wanita khususnya tugas seorang istri seperti di dapur, memasak, mencuci adalah ibadah karena pernikahan adalah alat atau kendaraan menuju syurga.

Terlebih jika memiliki anak. Pahala dan kemuliaan yang sangat besar bagi seorang wanita, sampai-sampai digambarkan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Kesusahan mengandung, melahirkan, tetesan ASI dan keringat ibu dalam mengasuh anak dijabarkan dalam deskripsi pahala yang luar biasa, hingga surga dan pahala syahid dijaminkan bagi seorang ibu. Muara dari semua itu adalah mengalirnya berkah doa anak yang soleh kala semua amal terputus.

Artinya, childfree bukanlah suatu gaya hidup yang boleh sengaja dipilih. Namun, harus ada kaitannya dengan suatu kondisi yang dhorurah (keadaan darurat). Dengan demikian, sebagaiamana dalam hadis Nabi menegaskan Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Apabila Manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh mendo’akan kepadanya.” (HR. Muslim).

Dampak dari Childfree sebenarnya sudah dirasakan oleh Barat. Ancaman punahnya mereka dengan angka kelahiran yang semakin turun tahun demi tahun. Negara seperti Finlandia dan Estonia akhirnya mengambil langkah memberikan tunjangan bagi setiap kelahiran bahkan tiap bulan untuk bayi yang sudah dilahirkan. Besarnya tunjangan, menurut para ibu yang menerimanya, sangat cukup bagi kehidupan mereka dan anak-anaknya. Tunjangan yang menunjukkan kemurahan hati pemerintahan di dua negara tersebut.

Dan bahkan di Indonesia. Berdasarkan data World Bank, tren angka kelahiran Indonesia berangsur mengalami penurunan. Melihat pada tahun 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduknya berada pada angka 17,75%. Didukung dengan adanya data BPS terkait sensus penduduk, data mengatakan bahwa penurunan jelas terjadi pada laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2010-2020 menghasilkan angka 1,25% dari periode sebelumnya , yaitu pada tahun 2000-2010 yang mana menghasilkan angka sebesar 1,49%. Dari data di atas, terlihat jelas bagaimana hal tersebut jadi bukti nyata angka kelahiran penduduk Indonesia yang kian menurun tiap periodenya.

Seseorang yang memutuskan Childfree, disadari atau tidak, adalah orang-orang liberal yang menjunjung tinggi kebebasan. Mereka lahir dari pemikiran sekularisme yang memisahkan antara agama dan dunia. Agama tidak boleh ikut campur dalam keputusan apapun yang mereka ambil termasuk urusan childfree ini. Sekularisme menganggap agama hanya ada di masjid dan pesantren.

Sesungguhnya, Childfree adalah bahaya kemanusiaan. Ketika tujuan pernikahan bukan lagi untuk melestarikan keturunan, maka perlahan manusia akan punah. Berbagai negara maju di Eropa dan Asia sedang kerepotan mengatasi masalah kependudukan. Banyak orang yang tidak mau menikah.  Sementara itu pernikahan sesama jenis dilegalkan.

Di sisi lain, laki-laki dan perempuan yang menikah secara sah menurut agama, malah memutuskan untuk childfree, itu juga menambah masalah. Bagaimana bisa menjadi bangsa yang besar tapi tanpa keturunan?

Akhirnya, sesungguhnya childfree adalah bahaya aqidah karena memutuskan harapan bahwa Allah adalah yang memberi rezeki. Takut tidak bisa membiayai anak. Takut anaknya tidak mempunyai masa depan yang cerah. Padahal, setiap manusia yang lahir sudah diatur rezeki nya oleh Allah swt dan orang tua hanya dititipkan rezeki untuk sang anak. Apalagi jika hanya karena alasan membuat bentuk tubuh menjadi jelek. Itu adalah alasan yang sangat menunjukkan kesempitan berpikir. Apakah manusia hanya dihargai dari bentuk tubuh semata?

Hidup di dunia adalah sebuah ujian sebelum semua manusia akan menghuni dua tempat abadi. Surga atau neraka. Mendidik anak adalah satu dari peluang meraih pahala besar. Di dalam doa anak yang shalih ada pahala yang tidak akan terputus. Dalam istighfarnya anak-anak yang shalih ada orang tua yang ditinggikan derajatnya di sisi Allah swt. Doa anak shalih, bisa meringankan siksa dari dosa yang diperbuat, bahkan bisa membuatnya menjadi terampuni dan mengangkatnya ke tempat yang penuh kenikmatan di saat sudah terputus semua ikhtiar. Dan pilihan childfree, memupus semua peluang itu.

Referensi:

http://ushuluddin.unida.gontor.ac.id/feminisme-dan-tanggapan-terhadap-childfree/

https://www.voa-islam.com/read/liberalism/2021/09/06/78166/saat-feminis-meninggalkan-ide-childfree-ada-apakah/

https://www.depokpos.com/2021/08/childfree-trend-yang-merusak-fitrah-kemanusiaan/

Titin Kustini adalah Dosen di Universitas Majalengka

Comment here