CERPENFood

Tertidur di Balik Tumpukan Buku, hingga Terlambat Sahur karena Imsak

Cerita Mahasiswa yang Nge-Kost

MACA – Jam dinding di kamar kos Ardi menunjukkan pukul 02.45 dini hari. Matanya yang merah sudah tak kuat lagi menatap layar laptop. Tugas akhir yang harus dikumpulkan besok pagi membuatnya lupa waktu. Tanpa sadar, kepalanya tertunduk ke meja, tertidur di antara buku-buku perpustakaan dan coretan rumus fisika. Padahal, ia berjanji pada diri sendiri takkan melewatkan sahur di bulan Ramadan kali ini. Tapi tubuhnya kelelahan. Alarm ponsel yang seharusnya berbunyi pukul 03.00 tak terdengar—baterainya habis sejak tiga jam lalu.

Denting suara azan Subuh dari masjid jauh menyentak Ardi. Ia terlonjak bangun, jantung berdebar kencang. “Imsak sudah dekat!” katanya dalam hati sambil menatap jam tangan yang menunjukkan pukul 04.20. Perutnya keroncongan, tapi ketika ia membuka lemari kecil di sudut kamar, hanya ada dua bungkus mi instan yang sudah habis seminggu lalu. Air galon? Kosong. Ia lupa mengisi ulang karena sibuk. Air keran di kamar mandi kos-kosan? Mati sejak siang tadi—pemilik kos sedang memperbaiki pipa.

Ardi memberanikan diri keluar kamar. Mungkin di dapur kos masih ada sisa makanan. Tapi pintu dapur terkunci—ibu kos selalu menguncinya setelah pukul 21.00. Ia mencoba mengetuk kamar teman-teman sekos, tapi tak ada yang membalas. Mereka mungkin pulang kampung atau sedang tidak berpuasa. Hujan deras di luar membuat langkahnya terhenti di teras. Tak ada payung, dan uang di dompet hanya tersisa Rp5.000.

Dengan jaket tipis, Ardi berlari ke jalan. Warung Padang dekat kos biasanya buka 24 jam, tapi saat ia sampai, tutupnya sudah tertutup. “Abangnya sedang tarawih di kampung,” teriak penjaga pos ronda di seberang. Hujan semakin deras. Di ujung jalan, ia melihat lampu neon minimarket kecil masih menyala. Kakinya sudah gemetar, tapi ia terus melaju. “Tolong, masih bisa beli air dan roti?” pintanya terengah. Petugas kasir menggeleng: “Mesin kasir sudah ditutup, Mas. Coba ke tukang bakso keliling di depan kampus.”

Sisa tenaga Ardi hampir habis ketika melihat asap mengepul dari gerobak bakso tua di pinggir jalan. Pak Bambang, penjual bakso langganan mahasiswa, sedang bersiap pulang. “Bang, ada yang bisa dimakan? Sahur saya…” ujarnya lesu. Tanpa banyak bicara, Pak Bambang membuka kembali panci dan mengambilkan semangkuk bakso kuah panas. “Makan saja, Nak. Lusa baru bayar,” katanya sambil tersenyum. Di saat bersamaan, adzan Subuh berkumandang. Ardi menelan kuahnya dengan cepat, air mata berkaca-kaca. Sebelum imsak tiba, seteguk air mineral botolan dari Pak Bambang berhasil melewati kerongkongannya.

Pulang ke kos dengan kaun basah hujan, Ardi tersungkur di kasur. Hari itu, puasanya terasa berbeda. Bukan karena bakso atau air mineral, tapi karena ia belajar arti ikhtiar dan pertolongan yang datang dari tempat tak terduga. Malam berikutnya, di meja belajarnya sudah tersedia air galon penuh dan sekotak kurma—pemberian diam-diam dari teman kos yang mendengar ceritanya. Ramadan mengajarkannya: terkadang, kita perlu jatuh ke dalam kekurangan untuk memahami betapa kayanya berbagi. *

Comment here