Oleh: Rendy Jean Satria
MACAKATA.COM – Setiap kali melintas di Desa Singawada, saya kerap melihat baliho-baliho tiga calon kuwu tanpa senyum terpampang dengan percaya diri, lewat pelbagai visi dan misinya. Dan tentunya visi dan misi mereka juga menganggu nalar berpikir saya. Dengan konsep estetika perbalihoan, yang juga mengganggu pandangan saya saat melintas pulang ke blok Kamis.
Entah paradigma apa yang mereka gunakan, saat menulis visi dan misi mereka, yang bagi saya, sangatlah artifisial, dan mengawang-ngawang. Secara teks dan praktik sangatlah delusional. Tidak mengena sasaran dan tidak melakukan riset terlebih dahulu, seperti kebutuhan paling dekat warga Singawada dan bagaimana nasib masa depan desa dengan jumlah penduduk hampir, 2700, yang, bagi saya sangatlah kaya secara kultural, mitos, dan sumber daya alamnya.
Alih-alih, ingin terlihat merakyat visi dan misi tiga calon kuwu tersebut, malah membuat saya ingin mengkritik dengan akal sehat dan teks yang mereka cantumkan. Tidak ada satu pun calon kuwu tersebut, yang membicarakan masa depan nasib desa ini, di tengah arus dimensi teknologi 4.0 untuk meningkatkan kecerdasan warga Singawada, untuk bersaing di tengah masyarakat jaman ini, dalam segi intelektual dan spiritualitas.
Tiga calon kuwu yang saya maksudkan maju tahun ini, di antaranya ada Rendy Hardian, Neneng Arnengsih dan Sahid Sidik, visi mereka disingkat dengan satu kata (yang terkesan dipaksakan) sesuai dengan huruf depan. Dengan begitu mungkin, warga akan mudah mengingat visi mereka dengan satu kata singkatan. Aneh memang.
Sebagai masyarakat yang menganut demokrasi modern dan literasi, wajib kiranya saya memberikan masukan dan kritik massif terhadap mereka – mengenai tumbuh kembangnya desa yang kita cintai ini. Karena menurut filsut Plato, demokrasi adalah “they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” Saya garis bawahi dua kata yakni kemerdekaan dan kebebasan berbicara.
Untuk itulah, karena mereka sudah berani mengajukan diri jadi calon pemimpin desa, berarti secara akal sehat, mereka juga harus siap menerima resiko terbesarnya yakni kritikan dan saran.
Mempertanyakan Kembali Gagasan
Yang saya ingin tulis dan kritik adalah pola, falsafah, dan kerangka berpikir mereka saat membangun Desa Singawada, patut saya pertanyakan ulang kembali gagasannya, baik secara teoritik dan praktik kulturalnya dengan melihat visi dan misi mereka yang ajukan. Yang hampir seragam. Yang hanya bersifat ingin mengambil simpati warga untuk sementara waktu.
Kenapa saya sebut artifisal visi dan misi mereka? Karena visi dan misi tiga calon kuwu tersebut, hampir pernah digunakan oleh calon-calon pemimpin dari tingkat desa sampai nasional. Biasa. Tidak ada yang unik. Tidak ada yang baru. Tidak ada yang komprehensif.
Tidak ada yang menyentuh ke dalam dimensi ruang dan lingkungan desa mereka di tengah arus teknologi, persaingan masyarakat kreatif, dan kebutuhan jaman hari ini. Dan klimaksnya visi dan misi mereka tidak berjalan sesuai amanat. Karena begitu sulit diaplikasikan. Karena tidak melakukan riset peta lokalitas sebelumnya.
Sahid Sidik calon kuwu Singawada nomor urut 3, yang menggunakan setelan jas layaknya sudah menjadi pejabat itu, mengajukan ke sidang masyarakat lewat visi Berprestasi, Ekonomis, Religius, Kreatif dan Harmonis disingkat BERKAH. Yang saya garis bawahi adalah kata Ekonomis? Kata yang bagi saya cukup aneh ditulis sebagai visi seorang pemimpin kuwu, yang menyuruh warganya hemat – di saat kebutuhan dan pekerjaan sulit didapat.
Di saat yang lain, Sidik juga menggunakan kata Berprestasi. Dua kata yang bagi saya bersebrangan. Di satu sisi, Sidik ingin warganya berprestasi lalu di lain sisi, warganya juga disuruh berhemat. Bagaimana bisa kebutuhan intelektual untuk berprestasi yang justru butuh banyak keperluan harus bergandengan dengan kata Ekonomis.
Kata Ekonomis dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai lema arti bersifat hati-hati dalam pengeluaran uang, penggunaan barang, bahasa, waktu; tidak boros; hemat. Sidik sepertinya harus belajar kembali dalam menerapkan visi otentiknya. Belajar meriset secara literasi dan nalar. Saya pun jadi skeptis dengan Sidik jika persoalan visinya saja, masih harus diperbaiki dulu sebelum menjadi calon kuwu.
Lain Sidik, lain pula Neneng Arnengsih, calon kuwu petahana. Yang menerima nomor urut 2. Neneng sebelumnya juga menjabat sebagai kuwu Singawada. Saat setahun lalu pertama saya datang ke sini, kuwunya adalah Neneng. Namun dari sudut mata pendatang yang kritis, saya melihat desa ini masih sama dengan desa-desa lainnya. Tidak ada yang baru alias monoton. Secara empirik, Neneng punya pengalaman dalam mensiasati perkembangan desanya, karena secara sistem dan administratif desa, Neneng sudah belajar saat menjadi kuwu.
Visi yang diajukan Neneng juga sangat artifisial. Seperti tidak ada spirit, otentik, dan menguggah dari segi emotif hampir sama dengan visi Rendy Hardian dan Sidik. Kata Religius sama-sama mereka tulis di visi mereka.
Aneh, kenapa tiga calon kuwu ini menuliskan kata Religius untuk visi dan misi mereka, sedangkan persoalan religius adalah persoalan subjek masing-masing. Kata religiusitas sendiri berasal dari kata religi atau relegre (bahasa latin), yang berarti membaca dan mengumpulkan. Dalam pandangan cendikiawan Quraish Shihab, religius adalah hubungan mahkluk dengan Tuhannya yang berwujud dalam ibadah. Jadi persoalan religius adalah persoalan personal. Lalu apakah tiga calon kuwu ini, sudah benar-benar religius dari segi ibadah? Jika belum, ini hanyalah gimmick.
Karena Neneng sebelumnya pernah menjadi kuwu. Untuk itulah saya ingin mengkritisi. Teks visinya disingkat ASIH, kepanjangan dari Aman, Sejahtera, Iman, Higienis dan salah satu misinya yang berisikan: pemerataan pembangunan masyarakat baik fisik dan sumber daya manusia. Lalu yang timbul dari pertanyaan saya adalah jika misi ini pernah Neneng ajukan, sebelumnya saat menjadi kuwu , berarti ada beberapa faktor penghambat yang belum Neneng lakukan, selama menjadi Kuwu Singawada.
Seharusnya dalam jangka satu periode sebelumnya, misinya sudah bisa diaplikasikan secara real dan komprehensif jadi Neneng tak perlu repot-repot mengaplikasikan kembali misi-misi sebelumnya, yakni pemerataan pembangunan masyarakat. Walaupun terdengar aneh kalimat misinya, baik fisik dan sumber daya manusia. kata fisik di sini, tidak terlihat jelas gambarannya.
Lain Neneng, lain pula calon kuwu nomor urut 1, yakni Rendy Hardian, calon kuwu paling muda di antara dua calon saingan yang saya sebutkan di atas. Rendy Hardian, secara usia masih sangat muda, namun memiliki kemauan yang luar biasa untuk memajukan potensi desanya, sesuai dengan misinya yang serba melebar dari focus visinya.
Saya juga ingin mengkritik teks visinya yang disingkat SEGAR: Sehat, Sejahtera, Geulis, Aman, Religius. Kata Geulis di sini, cukup absurd arah dan tujuannya, ia jadikan sebagai visi. Hanya improvisasi, lahir dari keburu-buruan dalam menuliskan visinya.
Karena arti dari geulis adalah: geu.lis. Adjektiva (kata sifat) indah; cantik; elok; bagus. Menurut pengamatan singkat saya, Rendy Hardian ingin membuat desa Singawada, cantik dan elok. Kenyataannya desa ini sudah sangat elok dan bagus dari kemegahan alamnya. Jadi sudah dari sononya sudah geulis. Tidak perlu digeuliskan kembali. Menariknya, misi Rendy Hardian, yang berisikan Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur yang Sesuai dengan Kebutuhan dan Berkualitas, adalah semacam anti tesis dari kuwu sebelumnya, dengan kata lain, ada beberapa faktor kritikal yang menurut calon kuwu, pembangunan infrastruktur mengalami kekurangan dan kebuntuan selama ini.
Dan sebagaimana hadits Nabi Muhammad, tentang peran seorang pemimpin dikatakan Dari ‘Auf bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendo’akan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.” (HR Muslim).
Semoga siapapun yang meraih jabatan sebagai kuwu Singawada, pada pemungutan suara tanggal 22 Mei nanti, bisa menjalankan amanah dan mampu menjadi kuwu yang bijaksana.
Dan siapapun, kuwunya kelak tentunya akan saya kritik apabila ada sesuatu yang notabena melenceng dari arah dan tujuan. Saya pun siap berpolemik***
Biodata penulis:
Rendy Jean Satria, penulis adalah sastrawan Indonesia. Tiga buku puisinya telah terbit: Dari Kota Lama (2012), Pada Debar Akhir Pekan (2017) dan Pelukan Rusuk Pujangga (2021). Tulisannya berupa artikel dan puisi dimuat di media-media nasional dan lokal, seperti Majalah Mangle, Jurnal Sajak, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Radar Tasik, Kabar Priangan, Lampung Post, dsb. Tahun 2018 buku puisinya berjudul Pada Debar Akhir Pekan, meraih penghargaan sebagai Buku Puisi Terpuji Indonesia dari Yayasan Hari Puisi Indonesia. Pernah berkuliah di STSI Bandung (Kini ISBI), dan STAI 11 April Sumedang.
Comment here