Oleh: Yanti Heriyawati
MACAKATA.COM – Jika laut diibaratkan sebagai jendela– sepasang mata akan bisa menatap segala panorama yang ajaib dari jendela itu. Dunianya tak bertepi. Misterius. Tak terjamah.
Suaranya mampu membuat manusia bergetar. Pesonanya berbekas dalam hati. Makhluk-makhluk di dalamnya tak mudah dikenali. Hakikatnya, laut selalu mengeluarkan gema. zikir abadi pada Yang Maha Kuasa nun jauh di atas sana.
Semenjak beranjak remaja – dunia laut – bagai narasi-narasi yang membius, ingin dipelajari lebih dalam. Masyarakatnya maupun bentangan yang ada di sekeliling laut. Adat istiadatnya sampai pada hal-hal yang remeh temeh yang berada di dekatnya. Laut masih menjadi narasi pertama saya dalam merengkuh dibalik pesona agungnya.
Pelajaran pertama yang saya ambil pada laut adalah esensinya – bukan sebagai latar untuk menghilangkan rasa sepi maupun gundah ataupun duka.
Laut tidak se-bercanda itu ketika Tuhan menciptakannya, Kun Fayakun, jadilah kau Laut. Bukan hanya sekedar keindahan. Ia (laut) melampaui batasan-batasan nalar manusia.
Laut-laut yang saya tualangkan, seperti di Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Parangtritis, sampai laut-laut yang tidak mudah dijamah seperti di bentangan Indonesia Timur – pernah saya tapaki kemisteriusannya, berbincang dengan masyarakatnya. Nilainya terletak pada sikap manusia-manusia pesisir dalam menghargai laut.
Jika di Pangandaran, saya menemukan masyarakat pesisirnya dalam menyikapi kepasrahan pada Illahi – menjelang perayaan khusus – yang disebut Hajat Laut dengan menabur bunga, doa, dan kepala kerbau ke tengah laut – sebagai sikap, jika manusia dan laut sesungguhnya bersahabat. Pelbagai beragam jenis sayuran, dan pakaian dijadikan satu ke dalam jempana, dan dialirkan ke tengah laut adalah panorama, yang sesungguhnya memiliki atmosfer balas budi antara Tuhan, alam dan manusia. Maka di Pantai Seger daerah Lombok, nun jauh dari Jawa Barat, saya menemukan kegotongroyongan yang solid, dalam perayaan yang mereka sebut Nyale. Tradisi bau Nyale, kala ratusan orang memeluk laut untuk mencari cacing, untuk disantap bersama keluarga di rumah. Digelar di antara Februari dan Maret.
Adalah manusia dengan segala kekurangannya – masih bisa membuat pola dan sikap yang diwarisi nenek moyangnya, dalam menghargai kebesaran laut yang tak bertepi, misterius dan suaranya mampu membuat siapa pun bergetar.
Saya selalu betah berlama-lama di bawah terik matahari, ketika berada di area masyarakat pesisir. Para nelayan yang sedang melaut di waktu petang, dan pulang ketika bulan sudah tertutup awan dini hari. Berinteraksi dengan pelbagai masyarakat, ketika sedang merayakan perayaan khusus di pesisir laut, adalah bagian anugerah terbesar saya, yang dilahirkan dalam ruang lingkup darat.
Bahkan, Allah pun dalam Al-Quran mengabadikan laut, dalam 32 ayat menyebut kata Laut. Dalam salah satu surah ke-16, An-Nahl ayat 14. Allah berfirman:
“Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan dari pada-nya daging yang segar dan kamu mengeluarkan dari lautan perhiasan yang kamu pakai. Kamu melihat bahtera berlayar padanya dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya supaya kamu bersyukur.
Bunyi surah yang indah itu – sudah dibuktikan selama ini dan dari karunia-Nya itu, masyarakat pesisir di mana pun berada, bersyukur dengan anugerah yang berada di lautan, dengan cara-cara lokal. Dan saya sudah melihatnya langsung rasa syukur masyarakat pesisir dalam menghargai laut.
Antoine de Saint Exupery, pernah membuat satu aforisme yang gagah mengenai laut yang patut kita renungkan: “Jika Anda ingin membuat kapal, jangan membuat orang mengumpulkan kayu dan jangan memberi mereka tugas dan pekerjaan kepada mereka, melainkan mengajari mereka untuk tak henti-hentinya merindukan laut”.***
Bandung, Juni 2021.
Penulis adalah dosen S2 Pascasarjana ISBI Bandung
dan Direktur Pascasarjana ISBI Bandung.
Menulis catatan-catatan ilmiah mengenai laut dan masyarakat pesisir
sebagai bagian dari fokus riset seni budaya maritim
di pelbagai Jurnal, koran dan majalah.
Comment here