Artikel ini telah tayang sebelumnya di RAKCER.ID
MAJALENGKA – macakata.com – Ditemui di tempat tinggalnya di salah saru desa wilayah Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka, pasien Kusta ini tinggal di gubuk.
Dia memang dipercaya untuk mengurus satu rumah cukup besar, yakni dua kali ukuran type 36, dengan luas halaman rumahnya mencapai (kira-kira) 300 meter persegi. Hanya saja, karena dia tinggal sendirian, maka yang bagian depan rumah hingga dapur, terpaksa disekat demi untuk kenyamanan si pengontrak rumah.
Wahyu Hermana, demikian nama lengkapnya. Dia tinggal di bagian dapur atau bagian belakang rumah permanen. Bahkan, karena ia kerap merasa tak nyaman dengan si pengontrak rumah, ia sengaja bikin dapur semi permanen, menggunakan dinding terpal dan pagar. Atapnya memang masih menggunakan genteng dari tanah liat.
Kehidupan rutinitas Wahyu memang cukup sulit dan merepotkan. Begitulah pandangan umum masyarakat, sekaligus dibenarkan oleh diri Wahyu sendiri.
Sebelum beraktivitas untuk mencari kebutuhan untuk bisa makan hari itu, Wahyu Hermana akan keluar rumah. Kerjanya serabutan. Namun, ia punya jadwal tetap yakni membersihkan makam yang tak jauh dari rumahnya, setiap Rabu dan Kamis, dari pagi hingga usai Dzuhur.
Dari kerjanya itu, terkadang Wahyu ada yang ngasih uang, ada juga yang ngasih berbentuk barang yakni sembako. Terkadang tak ada yang ngasih. Namun lebih sering ngasih.
“Kadang ada yang ngasih, terkadang gak ada,” ucapnya, sewaktu bernincang di teras belakang tempat tinggalnya, Sabtu, akhir Oktober 2023.
Wahyu menceritakan bahwa dulu, ia mulai terjangkit Kusta pada tahun 2010. Ia divonis oleh dokter sebagai pasien Kusta dengan ciri-ciri, jari tangannya semakin mengecil dan mengeras serta semakin kaku. Sehingga sulit digerakkan.
“Hingga saat ini, jemari tangan saya ditutup pakai sarung tangan atau selotip,” ujarnya.
Sarung tangan atau selotip untuk kedua tangannya. Sementara di bagian kaki, Wahyu selalu mengenakan sepatu bot. Sepatu bot ini hanya akan dilepaskanya ketika mau tidur.
“Terkadang saya tidur pakai sepatu bot, tapi lebih sering saya copot,” ungkapnya.
Divonis sebagai pasien Kusta, membuat Wahyu sadar diri bahwa harus ada jarak dengan tetangga dan saudaranya. Tahun 2010 dan 2011, waktu itu masih ada ibunya untuk menyediakan makan dan minum serta kebutuhan lainnya. Selepas ibunya meninggal, Wahyu tinggal sendirian. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga, ia sendiri merupakan si bungsu di keluarga itu.
“Saya faham dengan kondisi saya. Makanya saya hidup sendirian,” ungkapnya.
Wahyu menceritakan bahwa dirinya saat ini sudah tak berobat lagi. Karena memang telah dinyatakan sembuh oleh dokter akhir tahun 2011 lalu.
Tervonis Kusta tahun 2010 lalu, sembuh setelah menjalani pengobatan selama satu tahun enam bulan. Wahyu mengkonsumsi makanan hariannya, dengan cara mengadopsi makanan yang dianjurkan oleh dokter maupun kenalannya yang faham tentang gizi dan nutrisi.
“Jadi tahun 2010 lalu saya tak bisa berjalan. Jalan kaki waktu itu bukan berdiri seperti sekarang, tapi merayap, ngesot,” ucapnya.
Sambil mengikuti anjuran dokter, ada mantri yang membimbing dirinya agar melakukan konsumsi mentahan atau rawfood.
“Dalam dua bulan, saya makan mentahan alhamdulillah saya bisa kembali berjalan, normal lagi,” ungkapnya.
Namun, setelah sang ibu yang menemaninya dalam rumah tersebut meninggal dunia, konsumsi makanan hariannya tak ada lagi yang menyediakannya.
“Asupan makan saya sekarang yang mentah saya makan, yang masak saya makan juga,” ungkapnya.
Dalam hal bersosial dengan tetangga dan saudara, saat ini Wahyu tidak terlalu merasa dikucilkan. Saat ini, sudah tiga atau empat tahun lalu, ketika ada hajatan pesta pernikahan atau khitanan tetangganya, dia suka ikut bantu-bantu.
“Sudah faham kok, para tetangga, saudara, yang penting saya nya itu pakai sarung tangan dan sepatu bot,” ujarnya. (***
Comment here