TII: Berharap Pemerintahan Prabowo untuk Meninjau Aturan yang Bertentangan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
JAKARTA – Lembaran baru pemerintahan Republik Indonesia telah dimulai sejak 20 Oktober 2024 yang lalu. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang berkuasa selama 10 tahun telah digantikan oleh Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.
Terkait dengan hal itu, program kerja pasangan Prabowo-Gibran yang tertuang dalam Asta Cita di poin kedelapan, yakni memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya, peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, diharapkan dapat menjawab persoalan intoleransi kehidupan beragama yang selama ini belum terselesaikan. Demikian dipaparkan oleh Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (25/10).
Arfianto mengatakan persoalan intoleransi masih menjadi ancaman kebebasan beragama dan beribadah yang terus berkelindan di negeri ini. Masih maraknya persoalan intoleransi disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama, persoalan regulasi yang bermuatan intoleransi dan bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Arfianto mengatakan regulasi yang intoleran dan cenderung menjadi rujukan berpolemik dalam konflik terkait masalah ini salah satunya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (PBM 2006).
“Bahkan saat ini, PBM 2006 rencananya akan dinaikkan statusnya menjadi peraturan presiden. Hal ini termuat dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Raperpres (PKUB). Oleh karena itu, kami berharap kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk meninjau kembali rencana tersebut,” kata Arfianto.
Arfianto mengatakan bahwa penting bagi Presiden Prabowo untuk memastikan kementerian terkait untuk dapat meninjau kembali peraturan pendirian rumah ibadat dan tidak langsung menjadikan PBM 2006 menjadi Peraturan Presiden. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang menyeluruh dengan mengikutsertakan partisipasi pihak-pihak yang terdampak dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
“Selanjutnya, diharapkan kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memperkuat penegakan hukum terhadap kelompok intoleran yang melakukan ancaman persekusi terhadap tiap individu, organisasi, dan kelompok masyarakat dalam menjalankan ibadat. Pembiaran terhadap kelompok intoleran menjadi wujud lemahnya penegakan hukum dalam melawan intoleransi di negeri ini,” kata Arfianto.
Arfianto mengatakan bahwa dengan melihat persoalan di atas, maka sudah saatnya kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dan ditegakkan. Jaminan terhadap toleransi dan kebebasan beragama, serta berkeyakinan bukan lagi sekedar retorika maupun seremonial belaka. Negara dan segenap perangkatnya, termasuk pemerintahan baru dengan Asta Cita dan Kabinet Merah Putih, beserta parlemen yang baru, serta segenap penegak hukum, harus dapat memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan kepada semua agama dan kepercayaan, serta para penganutnya sesuai amanah konstitusi. Selain itu, kesadaran individu akan toleransi, keberagaman, dan perdamaian juga harus ditingkatkan.
Narahubung
*Arfianto Purbolaksono*
Manajer Riset dan Program
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) **
Comment here