CERPEN

Kisah Sukses Muadzin yang Merantau, Ibunya Berharap Mudik Tahun Ini

MACA – Di sebuah kota kecil yang dipayungi langit jingga setiap senja, hiduplah Alif Rahman, pemuda 20 tahun yang namanya dikenal sebagai muadzin termuda dan paling berbakat di Masjid Al-Hikmah. Inilah cerita, sebuah kisah sukses seorang muazin, seorang tukang azan di masjid. Wajahnya yang tampan bak pujangga sering membuat remaja putri di sekitarnya berdecak kagum, namun Alif selalu rendah hati. Sejak lulus dari Pesantren Darussalam di pelosok Jawa Timur tiga tahun lalu, ia memilih mengabdi sepenuhnya di masjid ini atas permintaan langsung Gubernur setempat, yang terpesona oleh suaranya saat mendengar rekaman azannya di media sosial.

Suara Alif bukan sekadar merdu—ia seperti membawa nuansa langit ke bumi. Seorang ulama pernah berujar, “Suaranya mengingatkan pada Bilal bin Rabah, tapi juga punya sentuhan seperti penyanyi internasional.” Tak heran, setiap azan berkumandang, warga berhenti sejenak, terpana. Bahkan anak-anak kecil dengan riang menirukan lagunya, seolah Alif adalah idola mereka. Alif memang merupakan satu diantara ribuan muazin yang punya kisah sukses muazin.

Setiap hari, Alif memulai pagi dengan zikir dan tahajud. Sebelum fajar, ia sudah berdiri di menara masjid, mengumumkan jadwal imsak dengan kalimat lembut yang membangunkan hati. “Waktunya imsak, semoga kita semua diberi kekuatan menjalani puasa,” ujarnya, diikuti lantunan ayat suci yang membuat pendengarnya merinding. Saat Maghrib tiba, azannya selalu tepat waktu, seakan ia memiliki jam internal yang selaras dengan alam.

Tugasnya tak hanya di menara. Gubernur menetapkannya sebagai pengurus harian masjid, mengatur kegiatan keagamaan, hingga menjadi imam cadangan. Meski sibuk, Alif tak pernah lupa pada seorang wanita di kampungnya—ibunda tercinta, Siti Aminah, yang tinggal di desa terpencil di lereng Gunung Lawu. Setiap Jumat malam, telepon dari sang ibu selalu datang. Gubernur juga meyakini, bahwa Alif harus jai role model kisah sukses muazin.

“Alif, kapan kamu pulang? Sudah tiga tahun Lebaran tak ada di sini,” rintih ibunya dalam percakapan terakhir. Suaranya parau, namun Alif tahu itu bukan karena usia—tapi kerinduan. Hatinya tersayat. Ibunya lah yang dulu membawanya ke pesantren, menjual perhiasan satu-satunya agar Alif bisa belajar tilawah. Kini, saat ia sukses, jarak justru memisahkan mereka.

Malam itu, usai azan Isya, Alif duduk di teras masjid, memandang bulan purnama. Pikirannya melayang ke masa kecil: ibu yang membelikannya buku tajwid, melatihnya membaca Quran hingga tenggorokan serak. “Kamu harus jadi seperti Bilal, panggilan azanmu nanti akan menyentuh langit,” pesan ibunya dulu.

Tapi kini, keinginan sederhana sang ibu—melihat anaknya shalat Id di rumah—terhalang tugas. Gubernur melarangnya cuti panjang, karena suara Alif dianggap “aset daerah”. “Masjid ini butuhmu,” kata sang Gubernur saat Alif mencoba negoisasi setahun lalu. Hatinya terbelah: antara tanggung jawab pada umat dan bakti pada ibu. Sebetulnya gubernur sedang menguji keteguhan Alif, sang gubernur sedang menciptakan plot tersendiri bagi kisah sukses muazin.

Hingga suatu sore, seorang petugas dari kantor gubernur datang membawa surat. Alif membacanya dengan gemetar: “Diberikan izin cuti selama 5 hari untuk mudik Lebaran, dengan syarat rekaman azan Maghrib dan Subuh selama periode itu telah disiapkan.” Rupanya, seorang donatur diam-diam merekam permohonan Alif ke gubernur. Kisah sukses seorang muazin ini diam-diam direkam dan dicatat oleh asisten gubernur.

Air matanya meleleh. Esok pagi, ia segera menelepon ibunya. “Umi, Alif pulang tahun ini!” teriaknya bahagia. Dari seberang telepon, terdengar suara tangis histeris yang kemudian berubah menjadi tawa.

Di hari terakhir sebelum mudik, Alif bekerja ekstra. Ia merekam semua pengumuman imsak dan azan, melatih adik kelasnya dari pesantren untuk menjadi pengganti sementara. Saat azan Maghrib terakhir sebelum kepulangan, seluruh jamaah datang berduyun. Mereka tahu ini akan jadi hari tanpa suara emas itu untuk sementara.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Suaranya lebih dalam dari biasanya, seakan menyimpan rindu pada masjid ini. Usai azan, seorang nenek mendekat, memegang tangannya. “Pulanglah, nak. Ibumu lebih membutuhkanmu hari ini. Kami di sini akan tetap menunggu kamu kembali.”

Perjalanan 12 jam ke kampung halaman terasa singkat. Begitu tiba, Alif disambut ibu yang sudah menunggu di ujung jalan. Pelukan mereka menghangatkan pagi yang dingin. Di desa, kabar kepulangannya menyebar cepat. Malam itu, warga berbondong ke rumahnya, memintanya mengumandangkan azan Maghrib di surau kecil kampung.

“Boleh, tapi dengan satu syarat: kita shalat berjamaah bersama,” ujarnya sambil tersenyum. Suaranya bergema di antara pegunungan, lebih mengharu biru dari biasanya. Ibu duduk di sajadah dekat mihrab, matanya tak lepas dari sang anak—gadis-gadis desa pun berbisik, “Seandainya Alif bukanlah muadzin, mungkin kami sudah meminangnya.”

Keesokan hari, saat shalat Id, Alif dipilih menjadi imam. Usai shalat, ia berpidato singkat, “Keindahan azan bukan hanya pada merdunya suara, tapi pada keikhlasan. Terima kasih, Umi, atas semua doanya. Aku di sini karena engkau.”

Senyum ibu merekah, lebih terang dari matahari pagi itu.

Epilog

Kisah Alif menjadi legenda. Kini, tiap Lebaran, Gubernur memberinya jatah pulang kampung. Suaranya tetap terdengar di Masjid Al-Hikmah, tapi dengan kebijaksanaan baru: keseimbangan antara tugas dan keluarga. Dan bagi remaja putri yang diam-diam menaruh hati, Alif punya jawaban bijak: “Cintaku sudah tercurah untuk azan dan ibuku.”  Gubernur percaya, kisah sukses muazin bernama Alif ini akan melegenda.

Lantunan merdunya tetap mengudara, mengingatkan semua orang bahwa di balik kesuksesan, ada doa seorang ibu dan kesetiaan pada panggilan Ilahi. ****

Comment here