MACA – Di sebuah desa terpencil di pedalaman Sumatra, hiduplah seorang anak bernama Arifin. Kisah sukses pria dari satu kampung ini dimulai dari gubuk reyot berdekatan dengan sawah, di mana ia tinggal bersama orang tua dan tiga adiknya. Ayahnya, seorang buruh tani, dan ibunya, penjual kue keliling, membesarkannya dengan prinsip keluarga sederhana: “Jujur, kerja keras, dan jangan lupa ibadah.” Meski hidup pas-pasan, tekad Arifin untuk mengubah nasibnya sudah terlihat sejak kecil. Ia sering membantu orang tua sambil menyempatkan diri belajar di bawah lampu minyak, mimpi besar tersimpan rapat di benaknya: “Aku ingin jadi pemimpin yang membawa perubahan.”
Di usia 15 tahun, Arifin memutuskan merantau ke kota setelah lulus SMP. Keputusan ini dibuat setelah ia menyaksikan ayahnya jatuh sakit karena tak mampu membeli obat. Dengan bekal uang pas-pasan dari menjual ayam peliharaan, ia naik bus ke Padang. Perjuangan dimulai: ia bekerja sebagai kuli panggul di pasar sambil mencari cara untuk melanjutkan sekolah. Seorang pemilik warung makan tersentuh melihat kegigihannya dan membiayai SMA-nya. Di sinilah tekad kuat-nya diuji: pagi sekolah, siang kerja, malam belajar. Nilai-nilai akademisnya selalu tertinggi, terutama dalam debat politik antar-siswa—bakatnya berbicara mulai bersinar.
Arifin diterima di jurusan Hukum Universitas Andalas berkat beasiswa. Untuk membiayai hidup, ia bekerja sebagai sopir ojek online. Di tahun kedua, ia masuk satu parpol progresif yang fokus pada pemberdayaan desa. Kemampuannya berpidato di depan massa kampus menarik perhatian ketua partai. Ia dilatih belajar politik*l: mulai dari analisis kebijakan hingga strategi kampanye. Saat demo menentang korupsi anggaran kampus, pidatonya yang berapi-api viral di media sosial. Kemampuannya bicara menjadi senjata andalannya—ia dianggap sebagai “suara rakyat kecil yang intelektual.”
Lulus cum laude, Arifin memilih berkarier di partai daripada jadi pengacara. Di usia 25, ia diangkat menjadi ketua cabang partai di kabupaten kelahirannya. Perjuangan tak mudah: ia dihina sebagai “anak kampung tak berpengalaman” oleh elite lama. Tapi strateginya blusukan ke desa-desa, mendengarkan keluhan warga, dan mengadvokasi pembangunan irigasi berbuah hasil. Dalam Pemilu 2010, partainya menang telak di daerah tersebut. Kisah sukses pria dari satu kampung mulai menjadi buah bibir media.
Di usia 30, Arifin maju sebagai calon bupati. Lawannya adalah pengusaha kaya yang menghujannya lewat iklan TV: “Apa bisa anak miskin mengelola anggaran triliunan?” Tapi tekad kuat dan kesederhanaan Arifin justru memikat hati rakyat. Ia kampanye dengan sepeda motor butut, tidur di rumah penduduk, dan menjanjikan transparansi. Kemenangannya mencengangkan: ia jadi bupati termuda se-provinsi. Prestasinya memberantas korupsi proyek jalan dan membangun sekolah gratis membuat namanya semakin moncer.
Di usia 40, Arifin dilamar partainya untuk maju sebagai calon gubernur. Tim suksesnya merancang kampanye digital dengan tagar #DariKampungUntukRakyat. Video-video pidatonya yang emosional tentang **keluarga sederhana** dan janji membuka akses pendidikan vokasi untuk desa menjadi viral. Meski dihujat sebagai “pendatang baru” oleh lawan, kemenangannya telak: 62% suara. Pelantikannya dihadiri ribuan warga kampung halamannya—termasuk ayahnya yang kini bisa berobat gratis berkat program jaminan kesehatan yang Arifin canangkan saat jadi bupati.
Sebagai gubernur, Arifin tetap hidup sederhana: gajinya disumbangkan untuk beasiswa anak miskin. Setiap akhir pekan, ia pulang ke desa, membantu ibu menjual kue di pasar. Kisah sukses pria dari satu kampung ini diabadikan dalam buku biografi yang ia dedikasikan untuk semua orang kecil: “Tak ada mimpi yang terlalu tinggi selama kita mau berjuang tanpa henti.” **
Comment here