Oleh: Ariful Mursyidi
Puasa kali ini, kita tengah diuji dengan kehadiran makhluk Allah bernama virus covid-19, yang hingga hari ini telah menginveksi hampir 2,7 juta orang di dunia dan mengakibatkan kematian hampir 190 ribu jiwa lebih.
Mengingat virus ini menular demikian cepat, kita disarankan menghindari kerumunan, tinggal di rumah saja. Untuk itulah, sejumlah kegiatan ibadah Ramadhan, diserukan agar dilaksanakan di rumah bersama keluarga, seperti tarawih dan tadarus Qur’an.
Mungkin ini cara Tuhan untuk “memasjidkan” rumah, yang setelah sekian lama, kita lupa menghiasnya dengan ibadah dan lantunan bacaan al-Qur’an.
Berdiam diri di rumah saat puasa, dapat dijadikan sarana yang oleh para sufi yang dikenal dengan istilah ‘uzlah atau khalwat (menyepi menyendiri), sebagai salah satu bentuk latihan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Khalwat pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat bertahannuts di gua Hira. Namun demikian, dimensi puasa bukan semata latihan jiwa yang bersifat individual-vertikal.
Dengan menahan lapar, puasa juga sebagai latihan menumbuhkan kepekaan kepada sesama umat manusia, menumbuhkan rasa solidaritas sosial, terlebih saat kondisi sangat sulit dewasa ini.
Tidak semua dapat dengan mudah berdiam diri di rumah saat musim pandemi ini. Seperti para pekerja dengan penghasilan harian, jika tak keluar bekerja, lantas darimana lagi mereka akan bisa makan.
Wabah global ini sangat mengguncang dimensi ekonomi sedemikian dalamnya. Kegiatan ekonomi lumpuh, daya beli menurun. Kapitalisme global sedang mendapat “tamparan” keras dari makhluk Allah yang tidak kasatmata ini. Kapitalisme seolah sedang dikoreksi oleh virus corona jenis baru ini.
Pandemi ini membuka mata hati kita. Kesenjangan ekonomi itu nyata adanya. Orang miskin dan rawan miskin bertambah jumlahnya karena wabah ini. Jumlah PHK terus meningkat, hingga jutaan hanya dalam satu bulan terakhir ini.
Sementara pada saat yang sama, kelas orang kaya tidak sebanyak mereka. Tapi cemasnya sama, mungkin lebih cemas, lari ke pusat belanja memborong bahan makanan. Atau lari ke Singapura dengan harapan lebih terjamin, meskipun sebenarnya sama juga terserang virus. Diam di rumah setahun pun, mungkin tak jadi soal bagi kelas atas ini.
Dalam kaitan ini, fungsi sosial dari puasa, penting untuk diimplentasikan secara sungguh-sungguh pada Ramadhan kali ini.
Mereka yang berkecukupan menyedekahkan dari hartanya, menolong mereka yang membutuhkan. Tidak cukup hanya menggantungkan sepenuhnya pada pemerintah.
Perlu keterlibatan masyarakat secara gotong-royong dalam menangani krisis dampak corana ini.
Bisa dimulai dari lingkungan terdekat, RT/RW. Data siapa diantara mereka yang membutuhkan pertolongan. Yang mampu membantu yang lemah secara gotong-royong, papatungan memasok bahan sembako untuk mereka.
Dari unit RT, juga dilakukan pengendalian penyebaran virus secara bersama-sama, kompak. Semua saling mengontrol secara disiplin dengan dasar sikap kebersamaan, bukan sikap saling curiga.
Jarak fisik memang harus menjauh, tapi kedekatan hati justru harus diperkuat, sehingga tidak perlu terjadi lagi peristiwa semisal penolakan jenazah positif covid-19.
Puasa Ramadhan kali ini, beruzlah di rumah, dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk lebih mendekatkan jiwa kita kepada Allah, bermunajat selalu kepada-Nya, memohon perlindungan dari wabah global.
Seiring dengan itu, ikatan ukhuwah sosial ditingkatkan. Yang berkecukupan membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh memutus rantai penyebaran virus, disertai doa orang-orang yang berpuasa dan aksi kepedulian sosial, maka dapatlah kita optimis masa pagebluk ini segera berakhir. ***
***Penulis adalah sesepuh alumni Pesantren PERSIS 92 Majalengka. Telah menulis sejumlah buku.
Comment here