Sutrisno Sebut Jatitujuh Sebagai Wilayah yang Paling Memungkinkan untuk Dijadikan Kota Madya Majalengka Seperti Cirebon
MAJALENGKA – macakata.com - Sejak kepemimpinannya selama dua periode, H. Sutrisno selalu menyebut Kabupaten Majalengka akan punya pusat pemerintahan baru atau ada Kota Madya seperti Cirebon.
Alasannya, pengembangan Aero City Kertajati akan mendatangkan ribuan pendatang. Sehingga diperlukan pusat pemerintahan atau pusat perkotaan baru, yang akan lebih konsen dan terkoneksi dengan Bandara Kertajati dan Pelabuhan Patimban Subang.
“Tidak menutup kemungkinan, Jatitujuh akan menjadi Kota Madya di masa depan. Seiring dengan pembangunan dan pengembangan Aero City Kertajati,” ungkapnya, dalam konfrensi pers di kediamannya, Minggu pekan lalu sebelum Ramadhan, 19 April 2020.
Sutrisno menjelaskan rencana Jatitujuh ke depan, memang telah sering dibicarakan akan menjadi sebuah perkotaan pusat bisnis dan jasa. Kalangan Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi sering membahasnya.
“Tinggal bagaimana masyarakat Jatitujuhnya? Menyambut apa tidak?” ujarnya.
Mantan Bupati Majalengka dua periode ini menuturkan, selama menjabat sebagai bupati, dirinya melarang perizinan pembangunan pabrik untuk perusahaan besar, yang akan dibangun di wilayah Jatitujuh dan Ligung.
“Karena, berdasarkan kajian tata ruang dan tata wilayah, terutama Jatitujuh harus menjadi pusat perdagangan jasa dan bisnis perkantoran, bukan untuk pembangunan pabrik,” ungkapnya.
Sebagai contoh, lanjut Sutrisno, saat ini di wilayah Jatitujuh, rencananya akan dibangun sebuah pabrik berskala besar. Pimpinan perusahaan tersebut, sebetulnya sudah ada komunikasi dengan dirinya ketika masih menjabat bupati.
“Waktu itu, tidak saya ijinkan pembangunan pabrik itu di Jatitujuh. Karena Jatitujuh telah dikonsep menjadi pusat bisnis dan jasa. Tapi kenapa sekarang, justru mencuat akan ada pembangunan pabrik? Saya mendengar langsung dari tokoh masyarakat dan petani di Jatitujuh, mereka protes karena lahan subur itu nyatanya akan dibangun pabrik besar,” ungkapnya.
Sutrisno yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI bidang lingkungan hidup, menambahkan, saat ini saja, pihaknya menyayangkan, karena area sekitar bandara selalu banjir, termasuk Jatitujuh dan Kertajati. Pihaknya menilai, perencanaan pembangunannya, terutama soal saluran pembuangan tidak dikerjakan secara maksimal.
“Pembangunan apapun harus ada kajian dan perencanaan yang matang termasuk amdal-nya. Kalau pembangunan pabrik di Jatitujuh ini dipaksakan, saya melihat, Kertajati dan Jatitujuh akan terus banjir jika musim hujan,” ucapnya.
Terpisah, aktifis pecinta sejarah, Ketua Grup Majalengka Baheula (Grumala), Nana Rohmana mengatakan, dalam catatan sejarah memang belum ada yang mencatatkan bahwa Jatitujuh akan menjadi sebuah perkotaan dan pusat bisnis jasa. Namun, ada ramalan yang berbunyi, “Esuk jaganing geto, baka loba wesi pada mabur di Bantarjati.” Sementara, area Jatitujuh dulu, masih masuk ke wilayah Bantarjati.
“Sekarang itu terbukti dengan adanya Bandara Kertajati. Tapi soal menjadi Kota Madya, atau pusat pemerintahan, belum ada catatan sejarahnya secara detail,” ujarnya.
Pria yang tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian dan Kebudayaan Majalengka (Dekkma) akrab dipanggil Mang Naro menambahkan, meski begitu, ia ingin menjelaskan tentang sejarahnya, bahwa dulu, Jatitujuh pernah menjadi wilayah Kabupaten Indramayu sejak tahun1808 Masehi. Masuk ke wilayah Distrik Bangawan Kulon.
“Itu zamannya Daendells, sewaktu perang Bagus Rangin. Ke sininya, Jatitujuh menjadi daerah partikelir, sebuah wilayah yang dikuasai perkebunan Swasta,” Ungkapnya.
Naro menuturkan Jatitujuh tercatat masuk wilayah Majalengka sekitar tahun 1940-an. Sementara semua wilayah perkebunan saat itu dikuasai pihak swasta Belanda. Pada saat itu, pemimpinnya juga bukan kepala distrik, tapi pemilik perkebunan.
“Sumber cerita penduduk menyebutkan, di depan masjid, ada tujuh pohon jati. Sekarang hanya tinggal satu dua, namun itu umurnya lebih dari seratus tahun.” ungkapnya.
Pada saat itu, Lanjut Naro, ada satu perusahaan perkebunan swasta Belanda sewaktu zaman Gubernur Jendral Rafles di Jatitujuh, yaitu Pamanukan Tjiasem Land atau P & T Land. Perusahaan ini tercatat sebagai sebuah perusahaan besar yang menguasai daerah Partikelir (Perkebunan Tebu dan Kapuk).
“Luasnya dari Jatitujuh hingga Kandanghaur, oleh karenanya yang memimpin daerah ini bukan Gubernur Jenderal atau residen tapi pemilik P & T Land,” ungkapnya.
Naro menjelaskan penduduk sekitar wilayah partikelir, biasanya jadi pegawai perkebunan mulai dari menjadi buruh hingga mandor serta pegawai administrator.
“Bila sejarah terulang, akankah warga pribumi hanya menjadi buruh?” tandasnya. ( MC-02)
Comment here