OPINI

Keangkuhan

Oleh: Rendy Jean Satria

MACAKATA.COM – Keangkuhan lahir dari kebodohan seseorang yang menganggap, kalau jabatan itu akan direngkuh selamanya. Saya tak paham dengan orang bertipe seperti ini.

Jabatan tinggi bukan harga mati – hanya bersifat amanah. Dengan menggunakan kata ‘amanah’, seharusnya orang yang menjabat dudukan penting, lebih memiliki aura kharismatik, intelektual spritual, dan pedoman. Bekerja cepat. Dan mawas diri.  “Sekali berarti, sudah itu mati” tulis Chairil Anwar.

Tentu apa yang saya katakan di atas, tidak tertuju pada orang yang memiliki jabatan tinggi, yang memiliki integritas dan kemaslahatan orang banyak. Tentu orang yang sedemikian itu sangat minoritas. Sedikit. Dan itu manusia pilihan. Seperti pepatah klasik, di atas langit ada langit lagi. Tuhan menciptakan tujuh langit. Kitab suci mencatatnya. Simbol dalam menahan laju keangkuhan seseorang. Isyarat untuk meredam amuk kesombongan.

Kita simak ketika Tuhan berkata:

“Dia yang menjadikan tujuh langit dengan berlapis-lapis.” (Al Mulk ayat 3).

Kalimat itu sepertinya tidak terdengar jelas oleh pemimpin terkenal Libya Muammar Khadafi, masa mudanya dipuja sebagai pemuda Revolusioner bagi rakyat Libya. Pemimpin masa depan. Awalnya berjalan sewajarnya. Di pertengahan jalan, ketika dia mulai mengira, jabatan sebagai pemimpin Libya selamanya hanya buat dia. Keangkuhan mulai menyeruak. Di akhir hayatnya, bulan Oktober 2011 – dia tewas ditembak, ditikam, dipukul, oleh warganya sendiri di kota kelahirannya, di Shirte  dan dicap pemimpin diktator, sambil mengumpat kata-kata cacian kepadanya. Mengenaskan.

Khadafi mati setelah dia bersembunyi di dalam pipa drainnese. Mencoba mempertahankan jabatan sebagai penuntun dan pemimpin revolusi Jamahiriyah Arab Libya hampir 42 tahun lamanya.

“Tidak ada jabatan yang perlu dibela mati-matian” kata Gus Dur. Kalimat yang bagi saya terdengar sangat indah. Setelah Gus Dur dilengserkan jadi presiden. Gus Dur tidak berniat untuk merengkuhnya kembali – sekalipun lewat jalur hukum. Gus Dur manusia biasa. Gus Dur sadar dia hanya diberi amanah oleh Tuhan sebagai presiden, hanya berlangsung dua tahun kurang. Lain dari itu tidak.

Bisa jadi jabatan tinggi itu fatamorgana.  Bisa saja saya salah. Tapi sudah dipastikan oleh sejarah. Mereka yang menjabat posisi penting bagi sekitarnya, dia-lah yang dilahirkan oleh rahim jaman. Bukan yang dipaksakan untuk hadir. Alhasil, jika dipaksakan, yang terjadi adalah kemudharatan. Waktu tidak pernah berbohong. Sejarah tetap mengalir sesuai iramanya. Memilih siapa yang harus dibingkaikan waktu atau dihilangkan sejarah.

Kita bisa berkaca pada…

John F. Kennedy terlalu baik untuk menjadi presiden Amerika. Presiden ke-35 ini  tewas selagi menjabat sebagai presiden, di usianya yang baru 46 tahun. Ditembak mati di depan jutaan warganya sendiri. Ketika berlangsungnya iring-iringan mobil. Adegannya begitu dramatis.

Tanggal 22 November 1963, jam 12:30. Lee Harvey Oswald dari gedung lantai enam, menembak Kennedy sebanyak tiga kali. Kena. Kennedy tumbang. Istrinya yang bernama Jacqueline Bouvier, selamat dan langsung memeluk Kennedy. Sang Presiden kharismatik itu mati dipangkuan istrinya.

Semua orang yang ada di Dallas, Texas, melihat dengan jelas presiden mereka mati dengan cara yang sadis. Kebetulan acara iring-iringan mobil Kennedy dengan Gubernur Texas kala itu John Connaly, direkam tak sengaja oleh Abraham Zapruder, yang hadir untuk menyaksikan moment Presiden menyapa warga Dallas. Seketika Amerika berduka. Mungkin dunia.

Beberapa jam setelah itu, wakil Presiden Lyondon Johson dari atas pesawat Air Force One segera dilantik menjadi presiden Amerika ke 36, disaksikan langsung oleh sang istri Kennedy. Sekali lagi adegan itu sangat dramatis, pilu dan sedu sedan. Nama Kennedy sejajar bobotnya dengan Abraham Lincoln. Walau Kennedy hanya menjabat Presiden baru 3 tahun. Jejaknya abadi. Banyak torehan sejarah yang telah dia guratkan dengan tinta kemanusiaan.

Sekali lagi, dunia itu fana kata kaum shaleh. Yang abadi itu prestasi. Berbuat dalam hening, diganjar oleh tepuk tangan. Jabatan, harus disyukuri oleh kerja dan apa-apa yang maslahat adalah tanda kalau kita manusia biasa pada hakikatnya.

Di atas langit ada langit.
Wallahualam Bishawab…

Singawada, 23 Oktober 2020

***Rendy Jean Satria, adalah penyair dan essais. Karya tulisnya tersebar di berbagai media surat kabar nasional dan lokal, seperti Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jurnal Sajak, Jurnal Kritik, Majalah Pusat Jakarta, Mangle, dsb. Dua buku puisi telah terbit: Dari Kota Lama (2012), Pada Debar Akhir Pekan (2017). Kini Sedang mempersiapkan buku puisi terbaru berjudul Madah Lestari.

Comment here