FoodKULINEROPINI

Nikmat Makan dengan Belut, Lele dan Sambal Dadakan

Oleh : Shelby AR

MAJALENGKA – macakata.com – Bisnis rumah makan memang menjanjikan keuntungan. Namun, itu semua kembali kepada pengelolaan yang termenej dengan baik. Banyak faktor yang membuat sebuah rumah makan atau restourant bertahan selama bertahun-tahun.

Ada rumah makan tertentu, yang baru satu tahun buka, misalnya, didatangi pelanggan tetap karena menu khas dan spesialnya. Atau, kalaupun masakannya sama dengan rumah makan lain, misalnya oreg tempe, sayur lodeh, goreng ayam, ikan bakar, iga bakar, bebek cobek, oseng kepala ikan, kambing guling (sate) serta sejumlah masakan menu lainnya, kerap menjadi incaran orang itu karena rasanya yang enak. Beda dengan menu lain di warung tetangga. Itu akan selalu menjadi daftar target calon pelanggan tetap di akhir pekan untuk wisata kuliner.

Saat ini rekreasi tak hanya mendatangi tempat bernuansa alam saja. Apalagi saat ini PSBM di Majalengka masih berlangsung hingga 8 Januari 2021. Tempat- tempat wisata masih tutup. Pengunjung yang maksa datang dibubarin petugas. So, pilihan terakhir adalah, masuk ke rumah makan. Dan menikmati kekesalan karena keadaan dan situasi yang tak sukses liburan di tempat wisata.

Kekesalan itu ternyata hilang. Setelah mencicipi menu sederhana sambal dadak (yang dibuat mendadak pada saat itu, karena saya dengar menu masakan yang ada di rumah makan ini, terkenal karena sambal dadak dan goreng belut-nya). Sambalnya sepertinya biasa saja. Ada terasinya, namun berasa ada manis-manisnya gitu. Tetapi rasanya kok nikmat banget ya. Tadinya, saya kurang sreg, ketika suami saya mengajak dan masuk ke rumah makan yang satu ini. Tapi untunglah kekecewaan saya itu segera hilang.

Setelah keliling Panyaweuyan dan masih tutup, serta jalur Jatilima yang masih ada tanda-tanda habis terkena longsoran tanah bagian atas, setengah jam perjalanan dari Argapura ke wilayah Cigasong, cukuplah membuat lapar perutku. Suami saya apalagi, dia mah doyan sambal. Dua piring nasi habis olehnya. Saya juga sih, sama, dua piring…hehe.

Pelajaran menariknya adalah, menu sederhana yang tadinya menjadi makanan paling biasa yang disantap orangtua kita dulu, kini diangkat derajatnya menjadi lebih mewah. Saya tercengang ketika melihat nota satu piring belut itu harganya 20 ribu. Agak mahal. Saya seorang ibu rumah tangga. Pengeluaran sekecil apapun, pastinya akan dipikirkan ulang. Untungnya yang bayar itu suami saya. Jadi, sabodo teuing. Yang penting saya sudah makan enak, dibayari suami. Sudah hampir setahun kami tak jalan bareng, makan bareng di rumah makan tertentu. Hari itu, saya cuma ditraktir belut, paha ayam kampung, tempe, lalapan dan sambal dadak. Tapi kok luar biasa enaknya. Padahal itu cuma menu sederhana. Saya jadi berpikir, belut sekarang sudah mahal. Naik derajat.

Sama seperti tanaman hias yang saat ini viral. Yang tadinya cuma tumbuh berkeliaran di semak-semak dan tak ada nilainya dan bahkan dilirik pun tidak. Kini, tanaman hias yang kata orang, salah satunya, disebut Tanaman Janda Bolong dan sejenisnya, harganya sudah naik berkali-kali lipat. Padahal tadinya tidak berharga sama sekali. Itu sama seperti penomena tanaman Porang, lima tahun lalu. Kini, banyak orang berbudidaya Porang.

Di rumah, karena saya penasaran dengan sensasi sambal dadak yang saya alami pekan lalu itu, saya mencoba sendiri membuat sambal dadak. Bahannya saya bayangkan saja, ditaburi garam dan gula secukupnya.

Ehh, suami saya lahap sekali makannya. Dia bilang dengan mengacungkan jempolnya. Mulutnya masih menganga kepedasan. Katanya, “Enak Mah. Besok bikin lagi sambal kayak gini, ya!” aku tersenyum. Saya bilang saja, “Beres. Minggu depan kita ke rumah makan mana lagi?”. Suami saya malah pura-pura tak mendengar. ***

—- Penulis adalah penyuka dan penikmat kuliner. Pembaca novel.

Comment here