BUDAYAOPINIPENDIDIKANScienceTravel

Dejavu di Rumah Hijau Denassa

Residensi Literasi Gowa Makassar

Tulisan Bagian Pertama

MACAKATA.COM – Dejavu. Demikian yang kurasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di Rumah Hijau Denassa (RHD) pada hari Selasa, 31 Juli 2018 sekira pukul 15.45 WITA. (Ini artikel lama. Telah melewati proses editing panitia resedensi. Telah tercetak dalam buku khusus).

Dejavu yang kurasakan adalah, seolah-olah aku bertemu masa kecil yang bahagia, ketika melihat langsung, membaui secara langsung, melihat dengan mata kepala sendiri, lalu tersenyum dan berkata dalam hati,” Oh, ini hebat. Aslinya lebih hijau dan lebih dapat merasakan langsung cuaca dan keramahtamahan Rumah Hijau Denassa.”

Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir akan menginjakkan kaki di RHD Kabupaten Gowa ini, namun setelah terpilih seleksi dan harus daftar ulang untuk pergi ke Gowa, hatiku sangat kacau, bercampur senang gembira. Alasannya, dalam bayanganku aku bisa pergi ke luar pulau Jawa.

Ini pertama kalinya, belum pernah aku bepergian dengan pesawat terbang ke luar pulau. Itu ada cerita tersendiri, namun pada intinya aku benar-benar ketakutan dan khawatir, serta gelisah sepanjang perjalanan dalam pesawat gruop Lion Air itu ( Batik Air).

Tetapi, seperti yang Denassa pernah katakan ketika ritual sebelum makan. Darmawan Denassa, pemilik dan pengelola RHD di Kecamatan Borongtala itu, menceritakan tentang bagaimana prosesnya sebuah nasi yang ada dalam nampan itu butuh proses yang lama, menyedihkan dan menyiksa. Mulai dari benih padi, ditanam, diberi pupuk, dipanen, digiling sehingga berubah namanya menjadi beras. Setelah itu dimasak menggunakan api. Itu semua menyakitkan. Dan beras yang kita makan juga merupakan makhluk hidup.

Nah, dari perjalanan padi itu, sehingga ada di depan kita sebagai makan siang atau malam, maka aku analogikan sampainya aku di RHD sama seperti perjalanannya beras itu, menyakitkan namun menyenangkan dan mengasyikan. Sama seperti beras itu, meski sudah melalui proses menyakitkan, mungkin ia akan senang karena berhasil membuat kenyang perut-perut yang lapar.

Yup. Aku senang dan gembira, karena konsep yang sempat terlintas ada dalam benakku, tentang konservasi alam, edukasi lingkungan, literasi yang mendalam, sains itu cukup mudah untuk menemukan sejumlah contohnya di RHD.

Ada banyak sekali konsep yang ada dalam kepalaku. Misalnya, di RHD itu menurutku bisa disebut hutan dalam skala yang kecil. Dalam webset tertulis bahwa luasnya hanya satu hektar. Namun itu semua menakjubkan, karena tanaman yang ada itu nyaris sama persis dengan hutan. Tidak teratur dan hampir tidak ada jarak antara pohon satu dengan pohon lainnya.

Yang lebih keren lagi, dalam hutan itu ada sebidang tanah yang biasa disebut lapangan hijau, Pelataran Mapasomba. Kelebihannya bisa digunakan untuk Shalat bersama, makan bersama, berdiskusi dan bermain. Itu semua menginspirasi. Dan perlu diterapkan di rumah, di sekitar TBM yang aku kelola. Hijaunya rumput di RHD seperti menghadirkan kembali memory masa kecil. Itulah mengapa aku merasakan dejavu.

Denassa bilang, bahwa di RHD ia punya koleksi 500 tanaman yang berhasil dikonservasi serta mengkonservasi hewan. Tapi ini yang aku tak setuju di RHD, hewan darat seperti ayam itu dibiarkan berkeliaran. Sementara yang aku tahu, yang namanya hewan ayam itu jika dia buang hajat, selalu sembarangan dan dia suka makan tumbuhan kecil. Aku sempat memperhatikan, ayam Kalkun di sana memakan tanaman kecil-kecil dalam pot. Nah, ini sisi kekurangannya yang tidak perlu diterapkan di sekitar TBM-ku, tidak perlu ada ayam, karena terkadang merusak tanaman kecil untuk tumbuh.

Secara garis besar, RHD menawarkan konsep back to nature. Aku juga tertarik dengan konsep Denassa, yang selalu mendokmentasikan dan mencatat secara mendetail tentang tanaman apapun. Kegunaannya, khasiatnya, dan bahkan sejarah tanaman itu. Sepertinya jika aku ingin memuji RHD, Denassa ini adalah contoh ensiklopedia flora dan fauna berjalan. Dia hafal semua tanaman, sejarah, serta khasiat dari semua jenis tanaman yang ada di sekitarnya.

“Sebelas tahun saya tinggal di sini, tentu saya hafal semua yang ada. Dan itu saya tanamkan, saya bagikan kepada anak-anak. Serta, tentu saja kepada kawan-kawan peserta residensi literasi sains. Saya berharap di tempatnya masing-masing itu, meski kita berjauhan, tolong cintai lingkungan dan jaga alam. Silakan adopsi yang ada di sini. Mari mengedukasi alam.” ujar Denassa. ***

Penulis adalah peserta residensi. Tulisan ini bagian pertamanya.

Comment here