OPINI

PPKM Basa Basi Versus Sepiring Nasi

dosen paskasarjana

Oleh: Masduki Duryat

MACAKATA.COM – Pemerintah pada akhirnya mengumumkan perpanjangan PPKM Darurat sampai dengan 25 Juli 2021. Istilah yang digunakan adalah PPKM Level 1-4, perubahan istilah yang menurut Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat) masyarakat sudah lelah dengan gonta-ganti istilah yang digagas oleh pemerintah.

Sementara kasus pandemi Covid-19 terus merangkak naik, WHO menyebut harus ada kebijakan tanggap sesegera mungkin untuk mengatasi peningkatan tajam pandemi Covid-19 di 13 dari 34 provinsi di Indonesia.

Bahkan, sejumlah media internasional menyebut Indonesia sebagai salah satu episentrum pandemi global, mengingat, dalam beberapa pekan terakhir, trend penularan Covid-19 melonjak lima kali lipat di lima pekan terakhir.

Akankah dengan diperpanjangnya PPKM ini, mampu menekan laju pandemi Covid-19 di Indonesia dengan perubahan nama PPKM Level 1-4—yang meminjam bahasa William Shakespeare What is in a name (apalah arti sebuah nama)—kalau esensinya sama, ‘gagal’.

Sampai-sampai, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan permohonan maaf ke publik, atas pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang belum maksimal—untuk tidak mengatakan gagal—yang dilakukan pemerintah.

Ganti Istilah

Seperti yang diberitakan surat kabar Radar (22/07/2021) untuk menanggulangi Covid-19 di Indonesia, pemerintah menggunakan beberapa istilah yang berbeda; Pertama, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang berlaku bulan April 2020; Kedua, PSBB Transisi yang berlaku 11-25 Januari 2021, pelonggaran dari PSBB; Ketiga, PPKM Mikro berlaku Pebruari 2021; Keempat, Penebalan PPKM Mikro yang diberlakukan mulai 22 Juni-5 Juli 2021; Kelima, PPKM Darurat yang lebih ketat dari PSBB dan PPKM Mikro berlaku sejak 3-20 Juli 2021; dan Keenam, PPKM Level 1-4 karena PPKM Darurat dianggap menakutkan yang berlaku 21-25 Juli 2021.

Landasan pemikiran memperpanjang pemberlakuan PPKM Darurat, menurut Menteri Luhut adalah penurunan kasus baru terlihat 12-21 hari setelah pengetatan. Setali tiga uang dengan pandangan Satgas Covid-19 Dewi Nur Aisyah, dua pekan hasil dari PPKM belum bisa terlihat, minimal empat pekan untuk bisa melihat hasilnya.

Berganti nama untuk mengatasi Covid-19 di Indonesia oleh pemerintah, masyarakat sudah lelah, sementara kebutuhan hidup terus ‘mencekik’ untuk mempertahankan hidup, yang dibutuhkan oleh mereka adalah ‘sesuap nasi’ untuk bertahan. Di sana-sini ada pelarangan untuk beraktivitas, dengan tanpa intervensi kebijakan, yang dapat menyentuh langsung kebutuhan hidup—terutama masyarakat kecil—yang berbanding terbalik dengan naiknya kehidupan orang kaya yang semakin tajir di negeri ini.

Sebagaimana pernyataan Faisal Basri, orang kaya baru di Indonesia dengan penghasilan di atas US$ 1 juta sebesar 61,7% (171.740). Ada tindakan kekerasan terhadap rakyat kecil, denda dan hukuman penjara. Hanya untuk menghidupi keluarganya, anak, istri/suami di tengah kesulitan yang berkepanjangan. Sisi lain, angka kematian akibat terpapar Covid-19 mencapai angka seribu lebih orang, yang terus naik tanpa melandai.

Mengapa tidak dari awal menggunakan UU No. 6/2018 tentang kekarantinaan Kesehatan untuk menanggulangi Covid-19? supaya tidak berlarut dan kasusnya semakin menghawatirkan.

UU RI No. 6 Tahun 2018 dan Konsekuensinya

Pada UU RI No. 6 Tahun 2018 Pasal 55 (1) dijelaskan “Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggungjwan Pemerintah Pusat; (2) Tanggungjawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.

Ini persoalan “political will” dan ketegasan pemerintah, untuk menanggung kebutuhan hidup masyarakatnya, ketika mencuat kasus Covid-19 akan bisa dicegah dari awal, tanpa harus berganti-ganti terma untuk mencegah laju Covid-19. Regulasi ini sangat jelas untuk mengatur hak dan kewajiban negara, walau tentu konsekuensinya sangat berat pula yang ditanggung negara. Di sini dan saat seperti ini harusnya negara hadir untuk rakyatnya dengan segala konsekuensinya.

Yusril Ihza Mahendra, mengenai hal ini, pernah menyatakan, ada hadist Nabi yang sangat spesifik pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW (ketika sudah hijrah ke Madinah) saat itu menimpa negeri Syam di Kota Damsyik atau negara Siria, Kota Damaskus saat ini.

“Nabi mengatakan, apabila berkembang suatu wabah penyakit di suatu negeri, janganlah kamu pergi (datang) ke negeri itu. Begitupun sebaliknya, apabila kalian berada di mana wabah penyakit itu sedang merebak, maka jangan ada seorangpun yang meninggalkan tempat itu.”

Menurut Yusril, bahwa Nabi Muhammad SAW, sewaktu mengucapkan hadits tersebut, beliau tidak hanya seorang Nabi/Rasul tapi juga sebagai kepala negara di Madinah. Jadi, jika dilihat dari konteks hadits itu, yang berupa larangan, adalah sebagai perintah kepala negara kepada rakyatnya.

Menurutnya, hanya seorang kepala negara yang bisa memerintahkan rakyatnya, untuk tidak pergi ke negara (tempat) lain, dan melarang warga negara yang terkena wabah itu agar tidak datang ke negaranya.

Gejolak Masyarakat

Regulasi yang setengah hati—dengan istilah PPKM—yang dilakukan pemerintah, dengan melarang masyarakat untuk berkerumun dan membatasi aktivitas masyarakatnya, agar stay at home, tapi kebutuhan hidupnya tidak dipenuhi. Telah menimbulkan protes dan gejolak di tengah-tengah masyarakat—karena mereka ingin mencari nafkah—untuk tetap beraktivitas di luar rumah, sekedar memenuhi kebutuhan hidup tetapi kemudian dikenai sanksi, karena dianggap telah melanggar PPKM—darurat maupun pakai level—masyarakat berhadapan dengan aparat, lembaga yang tidak menyelesaikan masalah.

Dengan meminjam bahasa Ichsanuddin Noorsy, PPKM hanya sebuah upaya pemerintah untuk menghindar dari kewajiban UU kekarantinaan. Bahkan, secara tidak langsung pemerintah sedang mendeklarasikan, bahwa memang terjadi krisis fiskal, kas negara kosong tetapi mental korup merebak.

Tidak hanya gejolak masyarakat, dampak dari ketidaktegasan itu, bisa kita rasakan sekarang, perekonomian melemah, Indonesia divonis dunia internasional sebagai episentrum baru Covid-19. Masih menurut Noorsy, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun hingga sekitar 2.5%-3% dan beban fiskal makin meningkat akibat ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan dan bahkan tidak efektifnya kepemimpinan nasional.

Kita tidak ingin negara ini hancur, tapi sebaliknya, tetap survive menjadi bangsa dan negara yang besar dan bisa kompetitif, bersanding dengan negara lain. Wallahu a’lam bi al-shawab. ***

Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Comment here