OPINI

Ujian Kepemimpinan di Masa Pandemi Covid-19

Masduki Duryat

Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I

MACAKATA.COM – Pandemi Covid-19 dalam konteks kepemimpinan, merupakan ujian. Ternyata niat baik saja belum cukup, harus disertai dengan kecerdasan dalam mengambil keputusan dan kebijakan.

Konsistensi dalam menjalankan kebijakan juga menjadi salah satu indikator, apakah seorang pemimpin mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership skill) yang tahan uji atau sebaliknya, rapuh dan oleng.

Di era pandemi Covid-19 tidak cukup hanya menjadi bupati, gubernur, presiden tetapi harus bupati, gubernur atau bahkan presiden yang memimpin dengan kemampuan kontingensi plan—yang cerdas dan tanggap, serta peka, tahan uji, bermental baja—untuk menghadapi berbagai persoalan yang sulit diprediksi, tidak linier di era global.

Globalisasi yang dalam bahasa Anthony Giddens disebutnya run away world—tidak trial and error dalam mengambil keputusan atau hanya—yang disebut mahasiswa UI dan UGM—The King of Lip Service.

Leadership Skill; Dimensi Teori

Elektabilitas seorang pemimpin sangat ditentukan oleh, bagaimana seorang pemimpin mampu mengoptimalkan keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki, dan diimplementasikannya. Sekarang ini, sangat dituntut semakin imajinatif dan improvitatif  dalam menentukan kebijakan—karena dunia semakin sulit diprediksi—dan keputusannya.

Pada spektrum yang lebih luas, manajer atau pemimpin merupakan subyek yang sangat menentukan efektif tidaknya sebuah organisasi. Kegagalan sistem memacu tujuan, sebagian besar adalah akibat langsung dari ketidakmampuan faktor manusia bergerak secara kondusif, dan ketidakmampuan itu adalah buah dari rendahnya kemampuan pimpinan.

Pemikiran tentang kepemimpinan modern, juga berangkat dari konsep bahwa kepemimpinan adalah suatu seni (leadership is an art). Pemimpin profesional adalah seorang “seniman” dalam memimpin.

Seni adalah buah kreasi dalam memimpin berbeda pada setiap orang. Ibarat sebuah orkestra, ia adalah conductor yang baik, yang mampu menselaraskan irama dari jenis musik yang berbeda, tapi berselaras dalam lagu dan simponi yang enak untuk didengarkan.

Sehingga menurut Rosmiati dan Kurniady (2010), diperlukan keterampilan-keterampilan tertentu dalam memimpin, supaya dapat bertindak sebagai seorang pemimpin yang baik. Keterampilan tersebut adalah; keterampilan dalam memimpin, keterampilan dalam hubungan insani, keterampilan dalam proses kelompok, keterampilan dalam administrasi personel dan keterampilan dalam menilai.

Khusus dalam hal keterampilan dalam memimpin, pemimpin agar menguasai bagaimana caranya: menyusun rencana bersama, mengajak anggota berpartisipasi, memberi bantuan kepada anggota kelompok, memupuk ‘morale’ kelompok, bersama-sama membuat keputusan, menghindarkan “working on the group” dan “working for the group” dan mengembangkan “working  within the group”, membagi dan menyerahkan tanggung jawab, dan sebagainya.

Untuk memperoleh keterampilan-keterampilan tersebut diperlukan pengalaman, dan karena itu pemimpin harus benar-benar banyak bergaul, bekerjasama, dan berkomunikasi dengan orang yang dipimpinnya. Yang terpenting tidak hanya sekedar pada tataran konsep—tahu—tetapi harus sedapat mungkin diimplementasikan dengan baik.

Danim (2006) dengan mengutip pandangan Robert L. Katz; keterampilan yang harus dimiliki seorang pemimpin—pendidikan—adalah keterampilan teknis (technical skill)—hal ini terkait dengan standar minimal, misalnya kriteria keberhassilan, penjadwalan dan seterusnya—Keterampilan hubungan manusiawi (human relation skill)—keterampilan untuk menempatkan diri dalam kelompok kerja dan keterampilan menjalin komunikasi yang dinamis mampu menciptakan kepuasan kedua belah pihak.

Hubungan manusiawi melahirkan suasana kooperatif dan menciptakan kontak manusiawi antar pihak yang terlibat—dan keterampilan konseptual (conceptual skill)—kecakapan untuk memformulasikan pikiran, memahami teori-teori, melakukan aplikasi, melihat kecenderungan berdasarkan kemampuan teoritis dan yang dibutuhkan dalam realitas kontekstual.

Hal yang lebih penting dalam menghadapi realitas kontektual—yang sulit diprediksi, terutama dalam menghadapi berbagai ujian—ini adalah kepemilikan kecerdasan adversity seorang pemimpin, sehingga tahan banting dan siap dalam menghadapinya segala ujian dan tantangan.

Leadership; Adversity Quotient (AQ)

Adalah Dr. Paul G. Stoltz yang mengumpulkan berbagai informasi dan hasil riset tentang Adversity Quotient (AQ) selama belasan tahun. Ia memanfaat tiga cabang ilmu pengetahuan; Psikologi Kognitif, Psikoneuroimunologi dan Neurofisiologi. Ujungnya, diperoleh kesimpulan bahwa AQ adalah dasar semua kesuksesan.

IQ dan EQ—yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman—tidaklah cukup menghantarkan seorang pemimpin untuk sukses. Ada orang cerdas sekaligus pandai bergaul, tetapi bisa gagal karena tidak kuat bertahan dalam iklim keras dan penuh persaingan. Mereka menurut Bambang Trim (2009) yang sanggup bertahan dan malah dapat menaklukkan tantangan adalah mereka yang memiliki AQ.

Lalu Paul G. Stoltz membagi kepemimpinan dalam konteks ini dengan tiga jenis; Pertama, Mereka yang berhenti (quitters), keluar, menghindari kewajiban dan berhenti; Kedua, Mereka yang berkemah (campers), memilih apa adanya, tinggal di comfort zone, merasa suksus sudah dicapai; dan Ketiga,  Mereka yang mendaki (climbers), terus mendaki tanpa memedulikan apapun pada dirinya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan tetap bersemangat.

Situasi pandemi seperti sekarang ini—sebagai ujian terberat abad ini—diperlukan kepemimpinan yang tahan uji, tahan banting (AQ), dengan tetap juga technical skill, human relation skill dan conceptual skill atau dalam bahasa Muhamad Ali (2020) disebutnya kemampuan multidimensional yang harus dimilikinya.

Leadership; Ujian di Era Pandemi

Kepemimpinan pada level negara maupun pada level organisasi bisnis selama setahun terkhir ini—terutama dalam menghadapi pandemi Covid 19—memperlihatkan adanya perubahan corak kepemimpinan yang tidak hanya memiliki I’tikad baik. Tetapi dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kapasitas multidimensi, seperti pemimpin Jerman, Selandia Baru, China dan pemimpin-pemimpin di negara Skadinavia. Demikian juga kepemimpinan pada level organisasi bisnis yang secara umum terlihat berhasil dan menonjol dalam mengelola dan menghadapi masalah yang muncul akibat pandemi.

Seperti diuraikan di atas, hal utama yang harus dilakukan adalah; Pertama, kemampuan merencanakan dan melakukan manuver perubahan. Pemimpin yang mampu menjelaskan apa rencana yang akan disiapkan dan apa saja yang harus dilakukan dalam menghadapi perubahan yang terjadi sewaktu-waktu.

Kedua, Pemimpin mampu berkomunikasi secara dinamis dan intens dengan hasil yang efektif. Setiap masalah kecil—dalam abnormalitas—dapat menimbulkan efek kejut yang kadang sulit diprediksi. Ia dapat membelokkan situasi ke arah yang paling diinginkan, tapi juga dapat melakukan akselerasi rencana yang sudah disusun dan dapat dijalankannya secara efektif.

Ketiga, Pemimpin yang memiliki rasa empati tinggi, berbela rasa. Perubahan akibat pandemi yang berimbas pada persoalan ekonomi, sosial dan politik, memerlukan sensitivitas yang tinggi untuk dapat dikelola dengan baik.  Pemimpin  yang memiliki rasa empati dan berbela rasa tinggi akan cenderung menagmbil keputusan sisi kepentingan kelompok masyarakat yang paling menderita, wong cilik, ketimbang memikirkan kelompok-kelompok lainnya.

Keempat, pemimpin yang memiliki kemampuan untuk memberikan arah untuk memasuki situasi normal setelah pandemi berakhir. Ini yang dalam Islam (Masduki Duryat, 2016) pemimpin itu harus mampu memerankan dirinya sebagai pelayan dan pemberi arah—Khadim dan Muwajih—sehingga rakyat tidak dalam kondisi kegamangan, ragu, tidak pasti.

Tidak mudah memang mencari pemimpin yang memiliki kapasitas multidimensional, tetapi juga tidak berarti tidak akan muncul pemimpin—paling tidak memiliki prasyarat—yang disebutkan di atas.

Pada level negara-bangsa (Muhamad Ali, 2020) kita merindukan seorang pemimpin yang dapat menunjukkan kapasitas tersebut di ruang publik yang akan memperoleh kesempatan lebih besar untuk menjadi pemimpin besar  ketika pandemi sudah berangsur dalam kondisi kenormalan.

Siapa dia? kita tunggu waktu yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

 

*** Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Comment here