Oleh : Ada Sadaya
MACAKATA.COM – Sebetulnya tak masalah, berapapun biaya parkir, tarif parkir, uang parkir, toh pada intinya hanya duit receh. Pertanyaannya adalah, karcisnya mana? Mana karcisnya, Lur? Mana karcisnya, Mang? Mana Karcisnya, Brow?
Tapi, meski kau punya karcis parkirnya, apakah itu sudah resmi? Sudah sesuai aturan retribusi parkir? Sudah sesuai dengan pertimbangan lainnya?
Paling besar, ketika ada orang yang royal untuk ngasih uang parkir itu, mungkin hanya nominal sepuluh ribu. Jarang-jarang yang sampai Rp.50 ribu.
Kecuali hubungan pertemanan, yang, misalnya, sudah lima tahun tak bertemu tukang parkir itu. Tukang parkir itu nyatanya adalah seorang teman dari pemilik mobil, misalnya.
Sekali lagi, tak masalah berapapun tarif, biaya yang ditagihkan kepada pemilik motor atau pemilik mobil, asal jelas karcisnya, si pemilik akan membayarnya.
Protes adalah soal lain. Masa iya juga dalam karcis tertera misalnya Rp.50 ribu rupiah. Padahal kendaraan mobi itu hanya terparkir selama tiga jam saja?
Di kota-kota besar, di swalayan-swalayan atau di-parkiran bandara itu, menerapkan tarif perjam. Sempat ada cerita, sejumlah kendaraan mobil yang terparkir hampir dua tahun terparkir di bandara Soekarno-Hatta.
Nilai parkirnya cukup variasi yakni Rp.76 juta, Rp.250 juta. Cerita ini terkuak pada sepuataran April tahun 2020 lalu. Nah, Majalengka katanya mau jadi kota metropolitan yang baru. Sementara, tarif parkir saja, juga tukang parkirnya, sebagian banyak yang bayangan. Alias tak punya karcis resmi.
Belum lagi soal tukang parkir yang tak ramah, seperti tukang parkir yang ada di salah satu halaman toko swalayan, saya gak mau sebut namanya, lagipula gak kenal.
Tapi toko swalayan ini, saya pastikan di wilayah Kecamatan Leuwimunding. Itu tukang parkirnya selain judes, dikasih receh dua uang logam seribu, dia nolak.
Alasannya, katanya, seperti zaman batu saja. Ia nolak gaeys. Ia hanya mau nerima uang kertas. Itu bukan sekali dua kali.
Ke-hampir setiap orang yang mau gasih uang logam, tukang parkir judes itu menolaknya. Ia menggunakan jurus nyungkun, ia ngaleos, pergi.
Luar biasa tukang parkir judes ini. Pertama, ia bukan karyawan toko itu. Kedua, ia tidak mengeluarkan tarif karcis. Ketiga, ia sudah menolak rizqi yang dengan tulus mau mengasihnya uang receh. Receh pun uang. Duit logam itu pun masih berlaku.
Saya hanya ingin bilang, tukang parkir semacam itu, mungkin hanya sebagian saja berada di wilayah Kabupaten Majalengka. Sebetulnya tidak masalah bagi konsumen. Masalah muncul, ketika ada tarif tanpa kartu kertas karcis parkir.
Saya melihat, yang rugi sebetulnya manejemen pemilik swalayan itu. Saya yakin setiap minggu pengunjungnya berkurang, karena tukang parkirnya judes. Atau jangan-jangan tukang parkirnya itu adalah pemilik swalayan? Bisa saja kan? Hehe.
Saya adalah konsumen, tidak mau lagi datang ke swalayan yang ada di wilayah Kecamatan Leuwimunding itu.
Saya perhatikan, parkir yang baik itu ada di wilayah Kecamatan Jatiwangi. Swalayan besar itu menerapkan kartu karcis yang lebih tertib. Adil ya, nama swalayan ini pun tak saya sebutkan. Kalian pasti faham lah.
Pertanyaan besar selanjutnya, Apakah Perda Nomor 10 tahun 2010 tentang tarif parkir di Majalengka masih berlaku? Dalam perda ini, tarif parkir kendaraan untuk motor, atau kalian lebih suka menyebutnya roda dua itu, tarifnya hanya Rp500 perak, gak nyampe seribu perak, kendaraan mobil atau kalian lebih suka menyebutnya roda empat itu, tarifnya hanya Rp1.000 dan untuk kendaraan jenis truck atau boks Rp2.500. Apakah tarif parkir ini masih berlaku ?
Sementara di luaran sana, bukan saja tukang parkir yang judes. Saya yakin sebagian tak alergi parkir, karena konsumen juga menghargai tukang parkir. Asalkan tukang parkirnya ramah.
Tukang parkir yang judes itu, karcisnya ajah gak ada. Tapi ia malah mematok tarif. Hukum alam dan hukum aturan, mungkin akan berlaku secepatnya buat dia. Termasuk hukum sosial. Pelanggan-pelanggan swalayan itu mulai berpindah karena ulah si tukang parkir itu. ***
Penulis adalah penyuka bacaan. Pengunjung dan konsumen yang suka belanja
Comment here