Oleh : Titin Kustini
MacaKata.com – Awal tahun 2022 merupakan mimpi buruk bagi rakyat Indonesia terutama ibu-ibu atau juga pedagang gorengan. Minyak goreng menjadi barang langka di pasaran. Harga minyak goreng tak hanya melambung tinggi tapi juga sulit didapat. Meski pun pemerintah menetapkan HET di harga Rp 14.000,- / liter, nyatanya kebijakan itu seperti isapan jempol dan angin lalu belaka, karena di lapangan, fakta berbicara sangat berbeda. Minyak goreng Rp 14.000 ,-/liter kalau pun ada, hanya sedikit sekali.
Kalau berbicara persentase, bisa jadi tak akan mencapai 50% masyarakat bisa menikmati harga minyak sesuai HET yang ditetapkan pemerintah tersebut, meski pun ini tentu saja memerlukan penelitian yang lebih lanjut untuk memperolah data yang akurat dan akuntabel. Setidaknya itulah yang tergambar di lapangan dari keresahan ibu-ibu dan fakta panjangnya antrian di tempat-tempat tertentu, yang menjual minyak goreng murah, yang biasanya akan ludes hanya dalam waktu hitungan menit saja. Itu pun dengan catatan, banyak yang tak kebagian. Pedagang beralasan, mereka hanya dikirim dengan kuantitas yang kurang sekali dari yang mereka order.
Minyak goreng diburu. Antrian mengular di tempat yang diketahui menjual minyak murah. Dan itu pun hanya berlangsung di waktu-waktu tertentu, biasanya pada pagi atau sore hari, yang tak banyak orang tahu. Hingga kebijakan HET Rp 14000,- / liter itu berpekan-pekan berjalan, rakyat kebanyakan masih saja tak mendapat minyak murah tersebut. Tetap saja kalau pun beruntung mendapatkan minyak di toko atau warung, mereka membeli dengan harga Rp 20.000 ,-/liter bahkan terkadang lebih.
Hal ini menjadi ironi di tengah fakta bahawa Indonesia merupakan negara yanng kaya minyak sawit. Produsen minyak sawit terbesar di dunia. Berratus hektar perkebunan kelapa sawit seolah kehilangan maknanya dan tak berdaya dalam menyediakan kebutuhan rakyat Indonesia akan minyak goreng. Sehingga memunculkan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Apakah produk kelapa sawit di Indonesia habis untuk ekspor? Ataukah ada pedagang besar yang menjadi penimbun? Atau pemilik modal yang memainkan kartu menggoyang perekonomian negeri ni?
Rakyat banyak tak mengerti. Meski Kementerian Perdagangan berulangkali menyatakan pasokan minyak aman dan minyak murah tersedia di pasaran, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Kemendag pun memberikan statement bahwa mereka memastikan produksi CPO untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri tidak akan bocor dan dijual ke luar negeri. Alasannya, dari 196 perusahaan eksportir, baru diterbitkan izin ekspor untuk 14 perusahaan.
Kemendag juga menyatakan terus melakukan ekspansi minyak murah ke pasaran sehingga diharapkan, dengan kelancaran distribusi minyak curah untuk pasar, tekanan permintaan terhadap toko ritel modern bisa dikurangi. Kapasitas maksimal penyimpanan minyak goreng di ritel modern sekitar 20-25 juta liter per bulan. Jumlah itu cukup kecil jika dibandingkan dengan total kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat yang mencapai 327 juta liter per bulan. Adapun stok minyak goreng di toko ritel, berdasarkan laporan terakhir yang diterima Kemendag, gudang telah terisi sekitar 12 juta liter atau 50 persen dari kapasitas penyimpanan. Dengan begitu, Kemendag menganggap masalah di Jawa sudah teratasi dan lebih fokus ke Indonesia Timur. Namun, kita masih melihat apakah memang begitu ataukah kelangkaan minyak goreng masih belum diketahui kapan akan berakhir.
Lain lagi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini. Indikasinya kartel minyak goreng terlihat saat perusahaan-perusahaan besar di industri minyak sawit kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.
Bukan tanpa alasan, KPPU menelaah berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat pula bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng. Dengan struktur pasar yang seperti itu, maka industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli. Sehingga mudah saja bagi mereka untuk bermain.
Senada dengan KPPU, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menduga ada praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia. Alasannya, hampir tiga bulan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali. Indikasi kartel, paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng yang secara serempak dalam waktu bersamaan. Di sisi lain, faktanya, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.
Sekali lagi, yang membuat iironi adalah Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia. Okelah, untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional. Namun, sangat tidak masuk akal jika harga minyak goreng di dalam negeri naik dengan alasan harga minyak di pasar internasional naik. Seharusnya, Indonesialah yang menentukan harga CPO domestik karena Indonesia itu eksportir, bukan importir.
Jadi jangan harga internasional untuk nasional. Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema hak guna usaha (HGU). Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.
Apalagi jika dilihat di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel. Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Jika demikian, lagi-lagi segelintir perusahaan besarlah yang diuntungkan. Dan bagian terbesar, rakyat Indonesia, hanya bisa menunggu-nunggu kapan minyak goreng akan kembali murah dan mudah diperoleh. ***
Comment here