MACA – Momen pemilihan umum (Pemilu) terjadi dalam lima tahun sekali. Bukan saja peserta, parpol, caleg, maupun masyarakat yang terlibat, tapi, pun penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu, itu bukan hanya KPU. Ada Bawaslu juga DKPP. Kau cari tau saja sendiri kepanjangannya apa. Males aku membahasnya.
Sama seperti halnya lembaga lainnya, lembaga penyelenggara pemilu juga punya Kode Etik. Punya aturan dan Undang-Undang yang mengaturnya.
Tentu saja ada Undang-Undang Pemilu. Ada Perbawaslu, ada Per-KPU, ada Per-DKPP. Entahlah, banyak sekali peraturan di negeri ini. Semuanya harus dipelajari, atau minimal diketahui.
Muncul pertanyaan, penyelenggara pemilu yang kini sifatnya masih adhoc, seperti PPK, PPS, KPPS, panwaslu kecamatan, panwas kelurahan desa, panwas TPS jika mau seimbang harusnya dipermanenkan saja. Sama seperti kedudukan KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota yang kini permanen.
Tetapi, dalam diskusi yang baru saja diikuti, nyatanya, penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota saat ini muncul wacana akan kembali di adhoc-kan. Entahlah wacana itu baru saja kudengar dan masih wacana.
Semuanya tergantung kebutuhan dan si pembuat aturan dan Undang-Undang. Jadi, berharap saja yang terbaik.
Bicara politik, seharusnya memang lebih gamblang dan lebih terbuka. Politik di luaran sana, bicara tentang kemenangan dengan segala macam cara. Politik di ranah penyelenggara pemilu, rupanya bicara tentang regulasi, aturan dan Undang Undang.
Untuk menciptakan pemilu yang berintegrasi, maka penyelenggara pemilu harus memiliki jiwa dan mentalitas yang mandiri, proforsional, efektif efisien, profesional, akuntabilitas, berkepastian hukum dan lain-lain yang tertera dalam Undang Undang. Bukan berdasarkan perasaan.
Kerja keras semangat berlebih, jika tak berdasar pada aturan, maka itu sama saja dengan keliru. Tak terpakai. Maka yang diperlukan adalah kerja cerdas berdasarkan regulasi. ***
Comment here