OPINI

Semua Ikan di Langit

Oleh : Apotsum

MAJALENGKA – macakata.com – Untuk menghilangkan penat dan menghibur karena penuh aktifitas di bulan suci ini tidak ada salahnya apabila kita membaca sebuah buku novel berjudul ‘Semua Ikan di Langit’ buah karya dari  Ziggy  Zezsyazeoviennazabrizkie.

Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie bercerita tentang perjalanan bus  yang di dalamnya terdapat anak kecil dengan panggilan ‘Beliau’,  dan kecoak bule perempuan bernama Nadheza (Nad). Mereka melakukan perjalanan jauh bahkan sudah tidak di trayeknya lagi.

Lebih dari sekedar perjalanan antara Dipatiukur – Leuwipanjang. Perjalanan mereka juga bukan perjalanan antar provinsi, melainkan perjalanan mengelilingi luar angkasa, melintas dimensi ruang dan waktu.

Novel ‘Semua Ikan di Langit’ sama sekali tidak ditulis dengan simbolisme Islam. Novel ini ditulis dalam ekspresi universal sehingga semua orang dapat menikmatinya. Tidak mengherankan apabila tema ke-Islaman adalah hal terakhir yang terbesit di benak pembaca ‘Semua Ikan di Langit’.

Rasa sufistik di sini begitu nyata. Semua Ikan di Langit membawa tema kecintaan pada sebuah sosok ‘maha kuasa’ yang tidak pernah berbicara langsung dengan sang pemujanya. Beliau hanya diam, menjawab segala macam pertanyaan serta membimbing  manusia dengan tindakannya yang penuh keajaiban. Sosok ‘Beliau’ yang begitu menawan sekaligus penuh misteri membawa pembaca pada sebuah cinta yang tidak mengherankan apabila nampak seperti pengabdian atau bahkan pemujaan.

Tentu saja tema kecintaan pada sosok pencipta tidak dimonopoli oleh kaum sufi. Namun rasa sufistik itu semakin susah ditolak dengan pengungkapan rasa cinta yang dituturkan secara begitu jenaka sekaligus hiperbola. Sosok pencipta di sini tidak hanya sekedar menjadi bunga ujung tebing yang hanya bisa dikagumi dari jauh, melainkan sosok yang begitu dekat hingga tokoh dalam cerita merasa bersamanya. Atau bahkan dalam Semua Ikan di Langit, berada di dalamnya sebagaimana pembaca merasakan kebahagiaan utamanya ketika dapat mengantar Beliau mengarungi semesta.

Rasa sufistik di ‘Semua Ikan di Langit’ semakin kental karena keberadaan serta perannya. Bus dalam kota asal Bandung, ia bahkan bukan mahluk hidup, apalagi manusia dan justrunya kerap kali bingung dan mempertanyakan mengapa bus sepertinya apakah benar-benar dapat mencintai sosok seperti Beliau atau tidak.

Semua Ikan di Langit, seperti ditulis dalam simbol-simbol universal tanpa afiliasi apa pun. Tidak hanya itu, novel ini juga mengemas kisahnya dalam balutan fantasi nan surealis yang begitu jenaka. Membacanya seperti mendengarkan sebuah kisah dongeng yang secara khusus membicarakan suatu sosok pencipta. Semua Ikan di Langit begitu diisi imajinasi yang bebas tanpa kekang laiknya imajinasi anak-anak berusia belia.

Semua itu tidak akan tercapai bila bukan karena penulisan Ziggy sendiri. Prosanya dalam Semua Ikan di Langit berhasil menampilkan kejenakaan berkat kesederhanaannya memilih diksi. Ketika ada kata-kata ‘sulit’ muncul, ia malah menambah kejenakaan itu sendiri karena seperti anak kecil yang menggunakannya. Tulisannya begitu ringan, hingga rasanya semua usia dapat membacanya, ringannya bukan tanpa bobot. Maka ketika teman kecintaan tuhan di lapisan dalam tidak tertangkap, pembaca masih disuguhkan kisah fantastis yang dipenuhi keajaiban dan ketakjuban.

Semua Ikan di Langit adalah novel sebuah sastra ‘Islam’. Dia tidak sekedar membawa simbol-simbol religius hanya untuk menceritakan kisah ninabobo belaka, melainkan mengungkapkan kecintaan pada Sang Illah dengan begitu mendalam dan intim selayaknya kaum sufi terdahulu. Ironis, karena Semua Ikan di Langit justru mencapai semua itu tanpa sama sekali menggunakan simbol-simbol eksplisit dan malah mengandalkan nilai-nilai universal. Sehingga kisah kecintaan pada Sang Pencipta dalam Semua Ikan di Langit sepantasnya dapat dinikmati semua orang, sebagaimana kasih Tuhan pada manusia.

Wallohu a’lam

29 Ramadhan 1444 H

20 April 2023

baca buku lebih baik dari baca WA

Comment here