Oleh : HERIK DIANA
MAJALENGKA – Sayup-sayup terdengar suara Ateu Lin, transpuan yang sedang membaca Al-Quran. Dia sedang mendaras Surat Al-Ikhlas Juz ke-30. Khidmat dan lambat laun bunyinya nyaring.
Jarang ada suara orang mengaji di rumah kos. Suara itulah yang penulis dengar ketika hendak memasuki rumah kos yang berada di Kelurahan Tonjong, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Kamar kos yang dikunjungi terlihat tertata. Kamar tersebut bersih dan rapi. Ada juga alat rias yang menyebar, tersimpan di dipan meja rias yang bercermin datar sebagai latarnya. Terlihat sejumlah bedak, lipstik berwarna merah menyala, orannye, dan merah marun. Ada pula spons untuk alas bedak yang berfungsi untuk menyaput kulit wajah, pensil alis, dan alat khusus untuk merapikan dan menjentikkan bulu mata.
Dalam kamar kos tersebut juga tersampir sarung dengan motif kotak-kotak dan Al-Quran tebal yang tersimpan rapi di pojok almari yang terbuka. Yup! Ini adalah kamar kos transpuan yang dikunjungi penulis.
Ceu Iin atau dia lebih suka disapa Ateu Iin, 54 tahun, rajin salat dan mengaji Al-Quran. Bahkan, dari tiga kawan transpuan yang menghuni rumah kos tersebut, Ateu Iin merupakan yang paling hafal lafal azan dari kalimat pertama hingga selesai. Suara azannya memang tak merdu, namun dibandingkan teman-teman transpuan lainnya, Ateu Iin dapat melantunkan azan seperti muadzin pada umumnya.
Ateu Iin hanya salat di kamar kos. Suatu hari ia pernah salat Jumat dengan mendatangi satu masjid, namun, yang ia dapatkan adalah tatapan warga yang kurang ramah. Dia tak nyaman. Ketimbang membuat orang lain yang berada sebaris dengan dirinya kikuk dan merasa terganggu sehingga salatnya tak khusyuk, Ceu Iin memutuskan tak kembali ke masjid.
Ateu Iin juga pernah salat tarawih berjamaah sewaktu Ramadan. Waktu itu ia mengenakan mukena berwarna putih dan berada di barisan shaf perempuan. Hanya saja, lagi-lagi, ia mendapatkan tatapan dan pertanyaan pertanyaan yang kurang mengenakan.
“Padahal saya berada di barisan paling belakang supaya yang lain tak merasa terganggu. Karena saya juga tak mau membuat batal salat orang lain. Karena secara fisik, saya ini kan laki-laki, tapi berhati dan berjiwa perempuan,” ujar Ateu Iin ditemui penulis pada akhir Mei 2024.
Ateu Iin menambahkan sudah mencoba membaur dengan masyarakat ketika salat berjamaah. Namun, respon yang kurang mengenakan hati membuatnya memutuskan beribadah di kamar kostnya.
“Yang saya yakini, urusan ibadah itu adalah antara individu dengan sang khaliq. Jadi saya beribadah di kamar ini saja,” ujarnya.
Senada dengan Ateu Iin, Ceu Desi, 40 tahun, transpuan lainnya yang berbeda kamar, juga mengisahkan pengalaman dia menunaikan salat, mengaji, dan membaca Al-Quran. Desi kerap mendapatkan tatapan seperti yang dialami Ceu Iin.
“Ya hampir sama seperti yang dialami Ateu Iin. Bedanya, ketika saya salat Jumat, kuku saya berkutek (diberi warna sehingga kuku alami yang seharusnya berwarna putih gading tertutupi warna kutek tersebut) sehingga orang-orang dalam masjid terus menatap saya. Pekan depannya, saya coba menghapus kutek kuku saya, nyatanya tatapan orang masih sama,” ujar Ceu Desi.
Sejak saat itu Ceu Desi memutuskan tak mau lagi datang ke masjid. Ia beribadah di kamar kos karena lebih nyaman.
“Saya berhenti datang ke masjid. Lebih nyaman beribadah di kamar kos,” ucapnya.
Ceu Desi tak keberatan ketika diminta kembali mengaji dan membaca Al-Quran dengan suara nyaring. Ia membuka Juz 30 dan membaca Surat Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan Al-Insyirah. Semua dibaca dengan makhraj dan bacaan tajwid yang benar.
“Saya masih bisa membaca Al-quran. Tak sebagus qori dan qoriah sih, tapi lumayan. Karena dulu saya pernah belajar mengaji di musala dan masjid saat di sekolah dasar,” ucap Ceu Desi.
Jika sedang uring-uringan dan gundah gulana, maka ia membaca Al-Quran, namun dengan suara yang pelan. Menurutnya, kebutuhan spiritual bisa dipenuhi lewat salat dan berdoa kepada-NYA. Itu menenangkan hati dan membuatnya bersemangat.
“Kalau mengaji, tentu saja saya menghapus riasan dan lipstik. Saya memakai peci dan sarung. Dalam beribadah, saya lebih nyaman mengenakan pakaian lelaki,” ujarnya.
Ceu Desi maupun Ateu Iin bekerja di salon. Terkadang mereka mendapatkan pekerjaan tambahan ketika ada warga yang menggelar hajatan nikah atau sunatanan. Mereka manggung dan harus berdandan layaknya perempuan.
“Ketika kerja, ya kami berdandan seperti perempuan. Kami ini waria (transpuan -red), hati kami perempuan, kami tak bisa membohongi diri dan hati kami sendiri,” ujar mereka.
Ramah Bersosial dengan Lingkungan RT RW
Ceu Eva, 60 tahun lain lagi. Dia menjadi tokoh pemuda yang dipercaya menyusun berbagai acara dan terlibat dalam kegiatan tersebut. Di lingkungannya, di RT 8 RW 3 Kelurahan Tonjong Kecamatan Cigasong Kabupaten Majalengka, Ceu Eva menjadi pengatur acara dan terlibat dalam penyembelihan hewan qurban saat Idul Adha. Ceu Eva tidak berhias dan lebih nyaman mengenakan pakaian laki-laki.
Masyarakat di sana menyapanya “eceu” atau “Ceu Eva”. Ia pun mengatur penyembelihan hewan qurban milik tetangganya.
“Alhamdulillah saya masih dipercaya. Saya juga ikut membagikan daging qurban,” ujarnya, saat ditemui pada hari pertama perayaan Idul Adha.
Tetangga yang mengenalnya juga tak merasa risih dengan kehadiran Ceu Eva. Mereka justru senang karena terbantu. Saat menyembelih hewan qurban, Ceu Eva dan masyarakat kerap bercanda sembari membahas hal-hal yang ringan.
“Warga di sini tahu Ceu Eva itu transpuan. Dalam bersosial apalagi dalam momen ibadah kami tak pernah mempersoalkan dia. Urusan ibadah itu bukankah urusan dirinya dengan sang Tuhan, dengan gusti Allah?” ujar Usih, tetangga Ceu Eva.
Ceu Eva tak merasa risih disapa eceu oleh bocah-bocah hingga remaja di sana. Seusai mendapatkan sapaan itu, Ceu Eva lantas tersenyum dan kembali menyapa dengan memanggil nama mereka.
“Saya enjoy saja. Semua warga di RT dan RW sini sudah mengenal bahwa saya transpuan. Dalam hal kegiatan positif, saya pun ingin terlibat dan inilah saya. Saya justru senang dipanggil euceu,” ucapnya.
Ketiga transpuan itu percaya dan yakin bahwasanya ibadah dan mengingat Allah SWT merupakan kebutuhan yang tak bisa dipisahkan.
“Kami manusia, kalau sedang sedih dan merasa tak berguna, maka kami bersujud kepada sang khaliq, berdoa, dan meminta ampunan. Sebaliknya, ketika gembira, kami pun bersyukur atas nikmat dan barokah dari-NYA,” ujar ketiganya.
Mengaji Bersama
Saat ditanya tentang pernahkah mereka mengaji dan membaca bersama dengan komunitas transpuan? Ketiganya menjawab hal itu pernah dilakukan, terutama ketika ada ayah dan ibu angkat mereka. Ayah dan ibu angkat mereka adalah aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kabupaten Majalengka. Saat bertemu dan bersilaturahmi, mereka sering mengikuti sesi berdoa dan mengaji bersama.
“Kami mah nunggu ada perintah berkumpul dulu. Kalau sudah ada perintah yang jelas, maka kami siap. Karena kalau kami yang meminta teman-teman se-komunitas transpuan, terkadang banyak yang tidak hadir. Harus ada komando dari PKBI,” ujar Ceu Eva.
Pengelola Program PKBI Majalengka, Beben Badruzaman mengatakan, lembaganya punya berbagai program diantaranya pencegahan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), konseling untuk pelajar, dan pelatihan komunitas transpuan.
“Khususon transpuan setiap tiga bulan sekali PKBI mengumpulkan mereka di rumah makan. Sebelum pulang dan berdoa, mereka mengaji dan membaca Al-Quran. Transpuan sering rindu beribadah. Sementara kalau datang ke masjid nyaris tak pernah bisa diterima,” ujarnya.
Beben menambahkan banyak transpuan yang rajin dan konsisten beribadah. “Suka ada saja teman-teman transpuan yang curhat ke saya, misalnya ingat kepada orangtua yang sudah tiada. Atau ingin sesuatu, saya bilang ke mereka, kamu harus rajin salat tahajud, minta sana kepada Allah, jangan lupakan juga baca Al-Quran, insyaallah kalau sudah berdoa dan beribadah pasti plong dan harapan itu insya allah terkabul. Dan itu dilaksanakan,” ucapnya.
Beben melanjutkan, tidak boleh ada orang yang memaksakan kepercayaan terhadap siapapun atau kembali kepada setiap individu. “Mayoritas transpuan di Majalengka itu muslim, hanya satu dua orang saja yang non-muslim,” ungkapnya.
Beben menjelaskan di Majalengka terdapat 350-an transpuan. Mereka kebanyakan beribadah di rumah atau kamar kos. Data itu diperoleh dari hasil kunjungan bersama komunitas transpuan dan jaringan PKBI di setiap kecamatan.
“Di Majalengka ada 26 kecamatan dan tak semua kecamatan menampung transpuan. Tetapi jika dilihat dari titik kumpul ngekos, maka hanya ada enam titik yakni Cigasong, Kadipaten, Rajagaluh, Leuwimunding, Palasah dan Sumberjaya. Di luar kecamatan yang enam itu, biasanya mereka berasal dari lintas kabupaten,” ucapnya.
Transpuan Srikandi Sindangkasih pernah Terbentuk
Pada 2014 pernah terbentuk wadah khusus untuk transpuan bernama Srikandi Sindangkasih. Komunitas itu berjalan lima tahun. Tapi, kemudian tak aktif karena tokoh transpuan yang menjadi panutan atau “dorce” mereka di Majalengka meninggal. Setelah kepergian ketua Srikandi Sindangkasih itu, pengurus dan anggota tak peduli pada lembaga yang telah dideklarasikan tersebut.
Beben mengatakan Srikandi Sindangkasih merupakan komunitas resmi. Tapi, komunitasnya tidak jalan setelah ditinggal tokohnya. “Hingga saat ini belum ada lagi sosok seperti ketua sebelumnya. Saat ini memang ada beberapa yang ditokohkan dari kalangan transpuan, namun belum selevel ketua sebelumnya,” ujarnya.
Beben menjelaskan sosok ketua Srikandi Sindangkasih dahulu mampu mengatur dan mengorganisasi transpuan di Kabupaten Majalengka, sehingga jika ada momentum khusus yang mengharuskan mereka berkumpul, maka hanya cukup satu komando saja.
“Ketika ada perintah langsung dari ketua sebelumnya yang hadir mencapai 80 persen,” ungkapnya.
Hingga saat ini eksistensi bersosial transpuan di Majalengka mendapat pengakuan di desa tertentu di Kecamatan Jatiwangi. Warga melibatkan transpuan ketika ada hajatan pernikahan maupun syukuran dan ada hiburan. Artisnya wajib dari Transpuan.
“Di Desa Sukaraja Kecamatan Jatiwangi itu hingga sekarang transpuan wajib hadir dalam hajatan tersebut. Artisnya harus transpuan,” ungkap Beben.
Tak Perlu Risih Melihat Transpuan Beribadah
Di suatu masjid di Kabupaten Majalengka, ada satu orang yang sedang salat dan menyendiri (tidak berjamaah). Seusai salat, dia didekati dan dihardik pengurus masjid (marbot atau DKM masjid tersebut). Pengurus masjid tersebut menegur transpuan. Dia terlihat meminta maaf dan membela diri. Setelah itu ia pergi.
Suatu hari ada diskusi dan perdebatan. Peserta saling mempertahankan argumen dan pendapatnya. Pemerhati komunitas transpuan di Majalengka, Wawan Bachtiar Gunawan mengenang peristiwa yang terjadi tiga tahun lalu itu. Dia menyebutkan transpuan Majalengka menjalankan ibadah sebagai bentuk kebutuhan spiritualitas dan dukungan mental.
Sayangnya, masih ada orang yang merendahkan transpuan yang sedang beribadah. Sebagian orang menganggap transpuan tidak pantas berada di tempat ibadah, salah satunya masjid. Mayoritas anggota komunitas transpuan di Kabupaten Majalengka beragama Islam.
Penggemar penceramah Buya Syakur Yasin (almarhum) itu mengatakan transpuan seharusnya dihormati sebagai sesama makhluk hidup yang punya kehidupan pribadi dan sosial. Saat beribadah, mereka mengingat sang pencipta yang maha kuasa.
“Transpuan yang rajin mengaji dan beribadah tak perlu dipersoalkan. Menunaikan salat dan mengaji bagi umat Muslim suatu kebaikan dan kewajiban individu masing-masing. Mereka yang bukan transpuan kadangkala lupa beribadah,” ujarnya.
Wawan menjelaskan, ia mengagumi pemikiran almarhum Kiai Buya Syakur Yasin dalam sejumlah diskusi keagamaan yang menghormati transpuan. Menurutnya, pemahaman almarhum Buya Syakur Yasin harus diteladani.
“Tak perlu risih atau menganggap aneh ketika melihat transpuan salat atau mengaji Al-Quran. Seharusnya terpacu setelah melihat transpuan yang bagus mengaji dan rajin salat. Bisa tidak seperti itu?” ungkapnya.
Menurut dia, beribadah merupakan urusan setiap individu yang bertanggung jawab kepada Tuhan. Pihaknya mengingatkan setiap tokoh agama maupun pengurus masjid tidak mempersoalkan transpuan yang salat di masjid. “Biarkan mereka beribadah dengan bebas. Mereka butuh sandaran kepada Tuhan,” tandasnya.
Tokoh agama di Majalengka yang juga mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Majalengka, Alan Barok Ulumuddin mengatakan salut kepada transpuan yang mengaji dan salat. Ia takjub ketika melihat video azan yang dilantunkan oleh seorang transpuan.
“Ibadah transpuan itu diterima atau tidak, itu bukan urusan kita. Justru, saya acungi jempol ketika ada transpuan yang salat dan mengaji. Lah yang non-transpuan saja belum tentu bisa azan dan mengaji, ” ujarnya.
Alan menambahkan transpuan yang menjalankan ibadah dan mengaji perlu mendapatkan perlindungan. Ibadah merupakan hak setiap orang dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila pertama dan sila kedua.
Transpuan yang salat dan mengaji di masjid, kos, dan rumah dengan pakaian yang layak, sopan, serta menjaga kebersihan patut mendapatkan apresiasi. Itu sesuai fatwa yang tertulis di masjid yakni kebersihan sebagian dari iman sehingga orang tak perlu mempersoalkan transpuan yang salat di masjid.
Menurut dia, agama memandang waria secara beragam, tergantung pada interpretasi atas teks suci dan tradisi masing-masing agama. Sejumlah agama melarang ekspresi gender non-biner dan menganggap transpuan sebagai pendosa. Hal itu melanggengkan stigma dan penolakan terhadap transpuan. Perlu dialog dan pemahaman yang lebih baik antara transpuan dan pemimpin agama untuk membangun hubungan yang lebih toleran dan inklusif.
Agama, kata dia pada hakikatnya tentang penerimaan dan kasih sayang. Prinsip-prinsip ini harus dijunjung tinggi dalam menyikapi keragaman gender, termasuk transpuan. Setiap individu berhak untuk mencari makna dan kedamaian dalam agamanya dengan cara yang sesuai dengan keyakinan dan pengalamannya.
“Islam itu agama yang penuh kedamaian. Islam itu inklusif. Islam terbuka terhadap siapapun, tak pernah membeda-bedakan agama, ras atau warna kulit,” tegasnya.
**
Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan koalisi #RawatHakDasarKita dan Embassy of Canada to Indonesia, in Jakarta.
Comment here