BERITAKISAH HIDUPWorld

Obrog-obrog Ramadan, Gambyung dan Transpuan Majalengka

Penulis : Herik Diana

MAJALENGKA – Penyanyi itu terlihat feminim. Bibirnya menyala merah karena lipstik. Ia melantunkan sebuah lagu versi dangdut yang sedang populer. Terkadang jika ada permintaan menyanyikan ‘lagu Jawa’, maka ia membawakan lirik berbahasa Jawa. 

Dia memainkan kecrek dan berduet dengan penyanyi lainnya. Satu tangan memegang alat musik bulat yang terbuat dari bahan campuran alumunium besi, ditabuh, dan dipukul-pukul lewat tangan lainnya. Penabuh musik mengiringi di bagian belakang. Semua anggota grup musik yang membangunkan sahur itu bergembira melihat transpuan lihai bernyanyi dan memainkan alat musik kecrek.

Ada anggota grup musik yang terlihat memainkan gembyung. Alat musik‎ lainnya, yang berbahan kayu dan kulit sapi mirip dulag ditabuh mengiringi pelengkap kecrek. Kelompok musik itu meramaikan suasana kampung saat sahur setiap Ramadan. Mereka menggelar obrog-obrog, tradisi yang warga lestarikan dengan mendatangkan transpuan. Kehadiran transpuan mendapat tanggapan baik warga.

Tradisi membangunkan orang saat sahur itu membuat transpuan di Kabupaten Majalengka senang. Mereka selalu terlibat dalam tradisi itu. Para transpuan juga mengajak transpuan lainnya yang tersebar di Sumedang, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan. Terkadang mereka bertukar tempat secara bergantian. Urbanisasi para transpuan ini terjadi sepekan sebelum Ramadan. ‎Semula mereka saling memberi kabar. Bilamana tertarik silang tempat, maka mereka akan berkunjung atau sebaliknya. 

Honor menjadi pengiring obrog-obrog lebih murah ketimbang menyanyi saat hajatan kampung. “Kalau upah tidak banyak sih‎. Jauh lebih besar ketika kami manggung saat hajatan. Jadi artis membangunkan orang sahur itu panggilan hati. Senang rasanya dapat pengakuan lebih dari masyarakat,” ujar Ceu Desi, transpuan asal Majalengka.

Transpuan lainnya, Alika, 33 tahun, punya pengalaman serupa. Menjadi bagian dari masyarakat dalam tradisi obrog-obrog merupakan pengakuan sekaligus ibadah. Bila dibandingkan dengan pemasukan saat manggung pada hari-hari biasa, maka honor pembayaran artis obrog-obrog lebih kecil. 

“Hanya saja, terkadang ada warga yang jadi bos gituh ya. Ketika kami berhenti di rumah bos misalnya, dia merasa terhibur. Akhirnya dia malah ngasih saweran uang, kadang selembar uang berwarna biru, terkadang lembar warna merah,” ungkapnya. 

Pemuda Majalengka, Willy Sugirman mengatakan semula ia kesulitan mencari penyanyi untuk membangunkan orang sahur saat Ramadan. Empat tahun lalu pihaknya mendengar bahwa ada transpuan yang biasa menyanyi saat ada obrog-obrog. 

Willy dan pemuda blok sekitar rumahnya sangat senang menemukan penyanyi transpuan. “Kami sepakat dengan transpuan bahwa kami tak bisa membayar penuh. Jika ada saweran dari warga ketika mereka menyanyi, maka hasilnya dibagi secara merata atau tergantung kesepakatan,” ujarnya. 

Membludak Awal 2001

Kehadiran transpuan mengisi obrog-obrog saat sahur telah eksis sejak 1980-an. Semula warga kesulitan mencari penyanyi laki-laki dan perempuan yang sanggup membangunkan warga untuk bersantap sahur.

Ketua Komunitas Group Madjalengka Baheula (Grumala), Nana Rohmana atau akrab disapa Mang Naro mengatakan permintaan transpuan mengisi obrog-obrog meningkat sejak 2011. Bagi para transpuan, undangan mengisi obrog-obrog oleh tokoh pemuda atau tokoh masyarakat adalah bentuk pengakuan yang sangat istimewa.

“Mereka itu kan terpinggirkan. Ketika  puasa ada banyak kelompok musik yang mau tampil untuk membangunkan orang-orang sahur. Artis yang mudah didapat adalah transpuan,” ujar Mang Naro. 

Transpuan biasanya mengumpulkan honor dari mengisi obrog dan jumlahnya semakin banyak pada tiga atau dua hari menjelang ‎Lebaran. Warga senang karena transpuan menghibur mereka dengan suara yang merdu. Di Majalengka tradisi obrog-obrog terus berlangsung hingga sekarang dan dijaga kelestariannya. 

Naro menceritakan transpuan yang hendak keliling untuk menyanyi dalam tradisi obrog-obrog bangun setiap pukul 00.30 WIB. Mereka berdandan, mengenakan kebaya, dan sanggul (rambut asli maupun palsu yang dibulatkan, khas dandanan perempuan). Sekarang transpuan mengenakan busana dan tampil seperti dandanan perempuan masa kini saat tampil mengisi obrog-obrog.  

Sepekan sebelum Ramadan, transpuan yang berasal dari Sumedang, Cirebon, dan Indramayu berdatangan ke Majalengka karena mendapat undangan dari sesama komunitas untuk membantu saat musim obrog-obrog. Ceu Desi, Ateu Iin, dan Ceu Eva menyebutkan transpuan dari berbagai daerah itu sangat membantu mengatasi kekurangan penyanyi. Kedatangan mereka juga menambah banyak kawan. Bagi mereka, menyanyi saat obrog-obrog bukan sekadar hiburan dan mencari uang, melainkan bagian dari ibadah. 

Sejarah Gambyung dengan Penyanyi Transpuan 

Pada 555 Masehi, putri raja kesultanan yang ada di Cirebon singgah di Sukaraja (Kabupaten Majalengka) dan ingin menikah‎ di Sukaraja. Dia menginginkan hiburan dengan alat musik gembyung (alat kecrik berukuran jumbo sebesar ban mobil bus). Kecrik biasanya dipakai transpuan untuk bernyanyi, namun sultan melarang. 

“Putri sang raja sultan itu kemudian terus membujuk. Setelah raja luluh, dia mau menikah dan memberi syarat agar yang main gambyung harus laki laki yang didandani menyerupai perempuan,” ujar Bapak Empat, Kuncen Depok atau sesepuh Sukaraja Kulon sewaktu ditemui pada Jumat sore, 5 Juli 2024. 

Lelaki berusia 80 tahun itu menjelaskan, ilahar atau silsilah aturan itu telah lama diterapkan. Ia masih ingat tata tertib yang mengatur bahwa pemain gambyung tidak boleh wanita (cewek dalam bahasa gaul remaja) dan harus transpuan. Aturan itu mulai diterapkan sejak ‎zaman Wali Songo atau sekitar Tahun 555 Masehi. 

“Mungkin sejak zaman Wali Songo, berdasarkan cerita dari orangtua saya secara turun temurun. Itu jauh sebelum penjajahan Belanda,” ujarnya. 

Dalam cerita tersebut, sultan atau raja memberi syarat bahwa artis yang memainkan gambyung tidak boleh perempuan. Saat itu banyak warga yang masuk Islam di Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. Mereka khawatir hiburan yang mendatangkan artis perempuan akan mengundang hasrat seksual berlebihan sehingga harus digantikan laki-laki yang menyerupai perempuan. “Sejak saat itu, setiap kali ada hajatan dan hiburan dangdut atau organ tunggal, maka artisnya harus transpuan. Yang punya hajat juga tak boleh berjoget. Hanya cukup menonton saja,” ungkapnya. 

Abah Kuncen menjelaskan hajatan berlangsung saat Maulud Nabi Muhammad atau Muludan dan setelah Idul Fitri. Hajatan berupa hiburan dangdutan atau organ tunggal yang mendatangkan transpuan terus eksis di Desa Sukaraja Kulon. Mereka mengenal ilahar atau silsilah yang tidak boleh dilanggar dalam tradisi itu. Jika ada yang melanggar, maka orang yang punya hajatan terkena musibah. Contohnya rumah seorang warga pernah terbakar. Hartanya ludes. Setahun kemudian keluarga itu berangsur-angsur bangkrut. Ada juga orangtua pemilik hajatan yang tiba-tiba meninggal. Menurut Abah Kuncen, orang boleh percaya maupun tidak karena situasi buruk kerap menimpa orang Sukaraja yang melanggar pantangan.

Tokoh masyarakat lainnya, Bapak Ina, 54 tahun, mengatakan kewajiban menghadirkan transpuan saat hajatan merupakan wasiat leluhur yang harus dilaksanakan. Masyarakat Sukaraja mengenal banyak larangan. Dia mengerucutkan tiga pantangan utama yakni larangan hiburan wayang golek, hiburan wayang kulit, dan jika ada hiburan dangdutan atau organ tunggal maka artisnya harus transpuan. 

Larangan lainnya setiap hajatan yakni taplak meja atau kain alas di setiap meja tidak boleh memuat gambar atau simbol wayang. Si pengantin, jika itu hajatan pernikahan, maka si pengantin tak boleh memakai mahkota (simbol raja dan ratu). Jika itu semua dilanggar, cepat atau lambat musibah itu akan menimpa pemilik hajatan. 

“Tahun 2023 ada pemilik hajatan yang rumahnya terbakar. Ada juga yang  terpaksa pindah domisili ke Sumatera dan Kalimantan. Ada juga orang kaya yang habis hartanya dan bangkrut. Adik boleh percaya atau tidak, tapi itulah faktanya,” ujarnya.

Bapak Ina menuturkan bahwa setiap ulama keturunan Sukaraja selalu mematuhi aturan itu. Ulama pendatang atau baru kerap mendapatkan pemahaman tentang silsilah larangan dan aturan sosial. 

“Tak ada masalah dan tokoh agama di Sukaraja semuanya sepakat. Bagi yang melanggar siap-siap saja menerima konsekuensinya,” ucapnya. 

Praktisi sosial, yang saat ini masih aktif sebagai seorang penyiar di salah satu studio radio, Wawan Gunawan membenarkan bahwa warga Desa Sukaraja Kulon, Kecamatan Jatiwangi, wajib mendatangkan transpuan saat menggelar hajatan. 

“Dengan catatan, hajatan tersebut ada organ tunggalnya, maka artisnya itu ya transpuan. Masyarakat sangat mengakui eksistensi transpuan,” ungkapnya. 

***

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan koalisi #RawatHakDasarKita dan Embassy of Canada to Indonesia, in Jakarta.

Comment here