EKONOMI

Sejarah Gas Elpiji 3 kg di Indonesia: Dari Kerosin ke Energi Bersih

MACA – Gas Elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG) 3 kg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya rumah tangga menengah ke bawah. Tabung berukuran kecil ini merupakan simbol transisi energi Indonesia dari bahan bakar minyak tanah ke energi yang lebih bersih dan efisien. Artikel ini akan mengulas sejarah program konversi energi yang melahirkan gas elpiji 3 kg, dampaknya, serta tantangan yang dihadapi.

Latar Belakang: Era Kerosin dan Kebutuhan Perubahan

Sebelum 2007, mayoritas rumah tangga Indonesia mengandalkan minyak tanah (kerosin) sebagai bahan bakar memasak. Namun, penggunaan kerosin menimbulkan masalah multidimensi:

  1. Subsidi Beban Negara: Subsidi kerosin membebani anggaran negara. Pada 2006, subsidi energi mencapai Rp 65 triliun, dengan kerosin menyumbang porsi besar.
  2. Polusi dan Kesehatan: Pembakaran kerosin menghasilkan asap yang mencemari udara dalam ruangan, meningkatkan risiko gangguan pernapasan.
  3. Inefisiensi Distribusi: Kerosin sering langka di daerah terpencil, dan rentan penimbunan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggagas program Konversi Minyak Tanah ke LPG 3 kg pada 2007. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan pada kerosin, menghemat subsidi, dan mendorong penggunaan energi ramah lingkungan.

Implementasi Program

Program ini dijalankan oleh Pertamina, BUMN energi Indonesia, dengan tiga komponen utama:

  1. Distribusi Tabung dan Kompor Gratis: Rumah tangga miskin menerima paket awal berisi tabung 3 kg, kompor, dan regulator secara gratis.
  2. Subsidi Harga: Elpiji 3 kg dijual dengan harga terjangkau (Rp 15.000–20.000 per tabung) berkat subsidi pemerintah.
  3. Edukasi Publik: Kampanye penggunaan aman LPG digencarkan untuk mencegah kebocoran atau ledakan.

Pada 2012, program ini berhasil mengalihkan 56 juta rumah tangga dari kerosin ke LPG. Pertamina mendistribusikan lebih dari 60 juta tabung 3 kg, menjadikan Indonesia salah satu pengguna LPG terbesar di Asia Tenggara. Tantangan dan Kritik

Meski sukses, program ini menghadapi sejumlah masalah:

– Distribusi Tidak Merata: Daerah terpencil kesulitan mengakses tabung, memicu kelangkaan.

– Penyalahgunaan Subsidi: Tabung 3 kg sering dijual ke industri atau dicampur dengan gas nonsubsidi untuk mengambil untung.

– Kesadaran Keamanan: Kurangnya pemahaman masyarakat menyebabkan kebocoran gas, yang berujung pada ledakan di beberapa kasus. Dampak Sosial dan Lingkungan

Transisi ke LPG membawa perubahan signifikan:

  1. Ekonomi: Rumah tangga menghemat hingga Rp 50.000 per bulan dibandingkan biaya kerosin.
  2. Kesehatan: Penurunan polusi udara dalam ruangan mengurangi risiko ISPA, terutama pada anak dan ibu rumah tangga.
  3. Lingkungan: Emisi CO₂ berkurang karena LPG lebih rendah karbon dibandingkan kerosin. Perkembangan Terkini

Pemerintah terus memperbaiki sistem distribusi dengan:

-Digitalisasi: Aplikasi MyPertamina dan sistem QR Code untuk memastikan tabung subsidi tepat sasaran.

– Penambahan Agen: Jaringan agen LPG diperluas hingga ke pelosok desa.

– Revisi Kebijakan: Wacana menaikkan harga atau mengganti ukuran tabung terus dibahas, tetapi masih ditolak karena berpotensi membebani masyarakat.

Kesimpulan

Gas elpiji 3 kg adalah kisah sukses transisi energi Indonesia yang berorientasi pada keadilan sosial. Meski masih ada tantangan, program ini telah membuktikan bahwa kebijakan energi yang inklusif dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekaligus menjaga lingkungan. Ke depan, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan pasokan dan keamanan penggunaan LPG subsidi.

Comment here