MACA – Di sebuah pesantren kecil yang terletak di pinggiran kota, kehidupan para santri berjalan dengan ritme yang teratur. Setiap hari, mereka dibangunkan oleh suara beduk dan azan yang menggema di antara dinding-dinding asrama. Namun, di bulan Ramadan, waktu seolah berdetak lebih cepat. Imsak—batas akhir makan sahur—menjadi penanda dimulainya puasa, dan bagi santri baru seperti Ali, adaptasi dengan jadwal ketat ini bukanlah hal mudah.
Malam itu, Ali tertidur larut setelah begadang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an untuk persiaban ujian pekan depan. Ketika suara beduk sahur terdengar, ia masih terlelap. “Ali, bangun! Hanya tersisa 15 menit sebelum imsak!” teriak Farid, sahabat sekamarnya, sambil mengguncang tubuhnya. Ali melompat dari tempat tidur, matanya masih berkabut. Dengan langkah gontai, ia menyusuri koridor menuju ruang makan. Di sana, para santri sudah antre mengambil nasi dan lauk. Namun, saat gilirannya tiba, sang koki senior, Pak Harun, sudah mulai membersihkan panci sayur bayam.
“Maaf, Nak, sayurnya habis. Imsak tinggal 3 menit,” katanya dengan suara lembut. Ali hanya bisa memandang sepiring nasi dengan telur dadar dan sambal. “Tak apa, Pak,” bisiknya, hatinya sesak. Ia menyantap sahur seadanya, menyesali detik-detik yang terbuang.
Sepanjang hari, perut Ali keroncongan lebih keras dari biasanya. Biasanya, sayur bayam di sahur memberinya serat yang membuatnya kenyang lebih lama. Tanpa itu, ia merasa lemas saat menghadapi pelajaran Fiqh pagi itu. Kepalanya pening, dan konsentrasinya buyar. Ustadz Ahmad, yang mengajar, bahkan menegurnya karena tak bisa menjawab pertanyaan tentang hukum puasa.
“Astaghfirullah, Ustadz… Saya kurang fokus,” gumam Ali malu. Saat dzuhur tiba, ia hampir pingsan saat sujud. Farid, yang berada di sebelahnya, segera menopang tubuhnya. “Kamu sahurnya cuma makan nasi sama telur, ya?” tanya Farid khawatir. Ali mengangguk lemas. “Besok aku akan bangunkanmu lebih awal. Jangan sampai terulang lagi,” janji Farid.
Malam berikutnya, Farid tak hanya membangunkan Ali, tetapi juga memastikan ia sudah berdiri sebelum beduk berkumandang. Kali ini, mereka tiba di ruang makan saat sayur kangkung tumis masih mengepul. Ali tersenyum lega. “Terima kasih, Rid. Aku kemarin seperti diingatkan betapa pentingnya bersegera dalam kebaikan,” ujarnya sambil mengisi piringnya. Pak Harun, yang melihatnya, mendekat dan meletakkan semangkuk kecil sayur ekstra di hadapan Ali. “Ini untukmu, Nak. Kau kan perlu tenaga buat menghafal,” katanya dengan mata berbinar. Ali terharu. Ia menyadari bahwa di pesantren, solidaritas adalah nutrisi tak terlihat yang menguatkan hatinya.
Pengalaman itu mengajarkan Ali tentang *hikmah* di balik disiplin waktu dalam Islam. Imsak bukan sekadar batas makan, melainkan latihan untuk menghargai setiap kesempatan. “Rasulullah SAW bersabda, ‘Bersegeralah melakukan amal sebelum datangnya tujuh hal…’ Salah satunya adalah waktu sempit yang membuatmu lalai,” ujar Ustadz Ahmad di kelas keesokan harinya. Kalimat itu terngiang di benak Ali. Ia pun mulai mengatur waktunya lebih baik: tidur lebih awal, menyiapkan buku sebelum subuh, dan tak lagi menunda saat beduk sahur memanggil.
Kisah Ali menyebar di antara para santri. Tanpa disuruh, mereka mulai saling mengingatkan untuk tak terlambat sahur. Bahkan, Pak Harun dan koki lain sepakat menyisihkan sedikit sayur di panci terpisah untuk santri yang datang telat. “Makanan bergizi adalah bagian dari ibadah,” ujarnya suatu sore. Ali, yang kini tak lagi melewatkan sayurnya, merasa lebih segar dalam menjalani puasa. Ia paham: Ramadan mengajarkan bukan hanya menahan lapar, tetapi juga mengelola waktu, mensyukuri nikmat, dan peduli pada sesama.
Pengalaman Ali adalah cermin bagi banyak santri: di balik rutinitas yang kaku, ada ruang untuk tumbuh. Sepiring sayur yang tertinggal mengajarkannya bahwa dalam setiap keterbatasan, selalu ada rahmat yang tersembunyi—entah itu sahabat yang setia, guru yang bijak, atau sepiring sayur hangat yang menunggu di pagi berikutnya. Di pesantren, Ramadan bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang kebersamaan yang menguatkan. Dan bagi Ali, itu adalah pelajaran yang lebih berharga dari ribuan ayat yang ia hafal. *****
Comment here