Uncategorized

Sejarah Arema FC: Kebanggaan Malang yang Menggelora

MACA – Arema FC, atau yang dikenal sebagai Arema Cronous, adalah salah satu klub sepak bola paling ikonik di Indonesia. Berbasis di Kota Malang, Jawa Timur, klub ini memiliki basis penggemar fanatik yang disebut “Aremania”. Sejarah panjang Arema FC tidak hanya mencerminkan perjalanan sepak bola Indonesia, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan masyarakat Malang dan sekitarnya. Dari awal berdirinya hingga menjadi salah satu klub terbesar di tanah air, kisah Arema dipenuhi dengan dinamika, prestasi, dan dedikasi yang tak tergoyahkan.

Arema FC lahir pada 11 Agustus 1987 melalui proses merger dua klub lokal: Persema Malang dan Persema 1953. Penggabungan ini diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Jawa Timur dan TNI Angkatan Darat (khususnya Kodam V Brawijaya) yang ingin menciptakan tim kuat mewakili Malang di kompetisi nasional. Nama “Arema” sendiri diambil dari singkatan “Arek Malang” (anak muda Malang), sekaligus menjadi identitas kultural yang mencerminkan semangat juang masyarakat kota tersebut.

Pada era 1980-an, sepak bola Indonesia terbagi dalam dua liga: Galatama (liga semi-profesional) dan Perserikatan (liga amatir di bawah PSSI). Arema bergabung dengan Galatama pada 1987, menjadikannya satu-satunya wakil Malang di kasta tertinggi sepak bola nasional. Warna kebesaran klub, biru dan merah, dipilih sebagai simbol keberanian (biru) dan semangat (merah), sementara julukan “Singo Edan” (Singa Gila) mencerminkan karakter permainan yang agresif dan tak kenal menyerah.

Di masa awal, Arema menghadapi tantangan besar dalam bersaing dengan klub-klub mapan seperti Persib Bandung atau PSIS Semarang. Namun, dukungan finansial dari sponsor dan loyalitas Aremania mulai memperkuat fondasi klub. Prestasi pertama Arema datang pada 1992-1993 ketika mereka finis sebagai runner-up Galatama di bawah asuhan pelatih Deddy Dores. Posisi ini menjadi bukti bahwa Arema layak diperhitungkan di peta sepak bola nasional.

Selama era Galatama, Arema dikenal sebagai tim yang mengandalkan pemain lokal. Kebijakan ini tidak hanya membangun identitas klub, tetapi juga memupuk rasa kepemilikan masyarakat Malang. Pemain seperti Budi Sudarsono, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Aji Santoso (yang kemudian menjadi pelatih) menjadi legenda awal Arema.

Pada 1994, PSSI menggabungkan Galatama dan Perserikatan menjadi Liga Indonesia. Arema menjadi bagian dari liga baru ini, meskipun harus melalui pasang surut. Di akhir 1990-an hingga awal 2000-an, klub ini kerap terlibat dalam persaingan sengit dengan Persebaya Surabaya, yang melahirkan derby legendaris “Jawa Timur” atau “Derby Jatim”. Pertandingan antara Arema dan Persebaya selalu diwarnai tensi tinggi, baik di dalam maupun luar lapangan, mencerminkan rivalitas kultural antara Malang dan Surabaya.

Namun, krisis finansial melanda Arema di pertengahan 2000-an. Klub sempat terdegradasi ke Divisi I pada 2005, tetapi berhasil kembali ke Liga Super Indonesia (ISL) pada 2007. Kebangkitan ini dipicu oleh manajemen baru yang dipimpin oleh pengusaha lokal dan dukungan penuh Aremania. Di bawah pelatih Miroslav Janu, Arema meraih gelar juara ISL musim 2009-2010, disusul gelar kedua pada 2010-2011. Prestasi ini menegaskan Arema sebagai kekuatan baru sepak bola Indonesia.

Di pentas Asia, Arema pertama kali tampil di AFC Cup 2010-2011, meski belum mampu melaju jauh. Namun, partisipasi ini menjadi tonggak penting bagi eksposur internasional klub. Pada 2013, Arema kembali menjuarai Piala Indonesia setelah mengalahkan Sriwijaya FC di final.

Sayangnya, sejarah Arema juga diwarnai tragedi kelam. Pada 1 Oktober 2022, kerusuhan dalam laga melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan menewaskan 135 orang, sebagian besar Aremania. Insiden ini menjadi catatan kelam bagi sepak bola Indonesia dan mengubah wajah Arema selamanya. Klub sempat dihukum larangan tampil di kandang sendiri, sementara Stadion Kanjuruhan direnovasi total. Tragedi ini memperkuat solidaritas Aremania, yang tetap setia mendukung tim.

Aremania bukan sekadar suporter, tetapi bagian dari jiwa Arema FC. Sejak awal, mereka dikenal dengan kreativitas tifos, nyanyian, dan dedikasi yang menginspirasi. Dalam setiap laga kandang, Stadion Kanjuruhan kerap dipadati puluhan ribu Aremania dengan kostum biru-merah. Mereka juga aktif dalam aksi sosial, seperti membantu korban bencana atau menggalang dana untuk pemain yang sakit.

Rivalitas dengan Persebaya (Bonek) menjadi salah satu yang terpanas di Asia. Namun, di balik tensi, kedua suporter kerap bersatu dalam kampanye anti-kekerasan, terutama pasca-tragedi Kanjuruhan.

Pasca-tragedi 2022, Arema FC fokus pada pembenahan internal. Klub yang kini bermain di BRI Liga 1 ini berkomitmen meningkatkan manajemen, infrastruktur, dan kesejahteraan pemain. Nama “Arema Cronous” digunakan sejak 2019 setelah kerja sama dengan PT. Cronous Global Sinergi.

Di lapangan, Arema tetap mengandalkan pemain muda lokal seperti Rizky Dwi Febrianto dan Dedik Setiawan, sambil membina akademi sepak bola untuk regenerasi. Meski belum kembali ke puncak, semangat Singo Edan tetap hidup di hati Aremania.

Arema FC bukan sekadar klub sepak bola. Mereka adalah simbol resistensi, kebanggaan lokal, dan bukti bahwa sepak bola bisa menjadi pemersatu masyarakat. Dari masa kejayaan di Galatama hingga duka di Kanjuruhan, Arema mengajarkan arti ketangguhan dan loyalitas.

Legenda pemain seperti Cristian Gonzales (yang dinaturalisasi dan dijuluki “El Loco”), Kurniawan Dwi Yulianto, dan pelatih seperti Robert Alberts telah memberi warna tak terlupakan. Arema juga menjadi contoh bagaimana klub bisa bertahan dengan mengandalkan dukungan komunitas, bukan hanya modal korporat.

Di usianya yang ke-37 tahun, Arema FC terus berjuang untuk bangkit. Dengan Aremania di belakangnya, Singo Edan akan tetap mengaum, membawa harapan baru bagi sepak bola Indonesia yang lebih baik.

Sejarah Arema FC adalah cerminan dinamika sepak bola Indonesia: penuh gelora, tak terduga, namun sarat makna. Klub ini mengajarkan bahwa di balik setiap gol, ada cerita tentang dedikasi, kebersamaan, dan cinta terhadap tanah kelahiran. Selama Arema masih berdiri, selama itu pula semangat Arek Malang akan terus hidup, menginspirasi generasi demi generasi.

Comment here