MACA – Di sudut kumuh ibukota, di balik riuh klakson dan gemerlap lampu neon, ada sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter. Dindingnya retak, kasur tua dengan seprai lusuh, dan aroma dupa yang menyengat—tempat itu adalah “kantor” Sari. Setiap malam, ia duduk di tepi jendela, memandangi jalanan sambil merapikan jilbab kotak-kotak yang selalu ia kenakan sebelum pulang. Jilbab itu adalah batas simbolis antara dua identitasnya: perempuan yang menjual tubuhnya demi bertahan hidup, dan hamba yang berusaha menyucikan jiwa di sela-sela keputusasaan.
Pukul 5 sore, Sari membuka mata. Tangannya langsung meraih tasbih kayu di bantal—pemberian almarhum ayahnya. Jarinya membelai butiran tasbih sambil berbisik, *”Astaghfirullahal ‘adzim…”* Ia bangkit, mengambil air wudhu dengan air galon yang hampir habis, lalu shalat Asar di sudut kamar. Saat sujud, air matanya jatuh ke sajadah usang. “Aku tahu ini salah, Ya Rabb. Tapi bagaimana lagi?” gumamnya. Di luar, suara langkah klien pertama sudah mengetuk pintu.
Malam harinya, ia berjalan ke lokalisasi dengan dandanan mencolok: lipstik merah darah, eyeshadow keemasan, dan baju ketat. Tapi di balik tas kecilnya, selalu ada mushaf mini. Saat kliennya tertidur pulas usai “transaksi”, Sari menyelinap ke kamar mandi umum, membasuh diri sambil mengulang-ulang *”La ilaha illallah”* dengan getir. “Aku bukan najis,” bisiknya pada cermin retak, “Aku hanya tersesat.”
Sari bukanlah perempuan bejat. Dulu, ia mahasiswi semester tiga jurusan akuntansi. Semua berubah ketika ayahnya tewas dalam kecelakaan truk, meninggalkan ibu yang stroke dan adik lelaki yang masih SMP. Utang menumpuk, tetangga menghindar. Paman di kampung pernah menawari jadi istri kedua, tapi ia memilih mengadu nasib ke kota. “Lebih baik tubuhku yang ternoda daripada adikku putus sekolah,” katanya pada malam pertama di lokalisasi, menggigit tangan hingga berdarah agar tidak menjerit.
Setiap akhir pekan, ia mengirim uang ke kampung. Di balik amplop, ia selipkan surat pendek: *”Bu, doakan anakmu jadi lebih baik.”* Ibunya tak pernah tahu sumber uang itu—Sari berbohong dengan bangga: “Aku kerja di toko pakaian, Bu.”
Suatu malam, klien tua dengan kemeja lengan panjang datang. Matanya teduh, berbeda dengan sorotan liar klien lain. Saat Sari mulai membuka baju, pria itu menggeleng. “Saya bayar untuk mengobrol saja,” katanya. Ternyata ia seorang ustaz yang kehilangan anaknya—seumuran Sari—dalam kecelakaan. “Setiap kali melihat perempuan muda terpuruk, saya merasa wajib menolong,” ujarnya.
Mereka berbincang hingga subuh. Ustaz itu tak menghakimi, hanya mendengar. Saat Sari menangis mengisahkan mushaf mini di tasnya, pria itu mengeluarkan kertas bertuliskan ayat: *”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”* (QS Az-Zumar: 53). “Dia tahu isi hatimu, Nak. Dzikirmu adalah benih yang akan tumbuh.
Sejak itu, Sari menemukan cara baru bertahan. Setiap kali tubuhnya diinjak-injak, bibirnya berkomat-kamit mengulang *”Ya Hayyu Ya Qayyum”*. Saat klien kasar mencakar, hatinya berteriak *”Hasbunallah wa ni’mal wakil”*. Di sela transaksi, ia menyelundupkan sedekah—roti untuk pengemis buta di sudut jalan, susu untuk anak jalanan. “Mungkin ini cara Tuhan membersihkan niatku,” pikirnya.
Suatu subuh, usai klien mabuk pergi, Sari menemukan tasnya terbalik. Mushaf mini jatuh terbuka di lantai. Dengan gemetar ia mengangkatnya, lalu terkejut melihat secarik kertas terjepit di halaman Surah Ar-Rahman: *”Tahukah kamu ada jalan terjal? Melepaskan belenggu.”* (QS 90:11-13). Air matanya menderas. “Ini tanda,” bisiknya. Ia mulai menabung rahasia, mengurangi rokok, menolak klien yang sadis.
Dua tahun kemudian, di pagi yang sama basah oleh hujan, Sari berdiri di stasiun kereta. Di tangannya, tiket ke kota kecil—sebuah pesantren membuka program rehab untuk perempuan seperti dirinya. Ustaz itu yang menjamin beasiswa. Di tas ransel, ada surat untuk ibu: *”Aku dapat promosi jadi manajer toko. Akan kuliah lagi.”*
Saat kereta melaju, jarinya masih memutar tasbih. Kali ini, dzikirnya berbunga harap: *”Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik.”* (Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku pada agama-Mu). Di kejauhan, matahari terbit menyibak kabut—seperti hatinya yang mulai sembuh. Ia bukan lagi korban, tapi pejuang yang menemukan kembali cahaya di balik kegelapan.
Malam terakhir di kamar tiga kali tiga meter itu, Sari menulis di dinding dengan pensil alis: *”Maafkan aku, Tuhan. Aku pulang.”* Kalimat itu akan tertutupi cat baru, tapi di sanalah sejarah perjuangan seorang perempuan tercatat—antara noda dan tobat, antara hina dan mulia, antara kehilangan dan pencarian. Seperti dzikir yang tak pernah putus: sunyi, tapi menghunjam ke langit. (Cil )
Comment here