BERITAScience

Hukuman Kebiri Bukan Solusi

 

‎Hukuman Kebiri Bukan Solusi
 
MAJALENGKA – Penerapan hukuman kebiri bagi pelaku pelecehan seksual kepada anak di bawah umur‎ menuai pro-kontra. Bahkan, tak sedikit lembaga yang mengajukan keberatan dan menyatakan menolak. 
Kasus ini bermula atas putusan sidang di Pengadilan Negeri Mojokerto akhir Agustus 2019. Waktu itu, pegadilan memutuskan pelaku yang telah terbukti memaksa belasan anak di bawah umur melakukan persetubuhan divonis, salah satu hukumannya yakni hukuman kebiri kimia.‎
 
Pelaku pelecehan seksual ini juga dijerat pasal 76 D juncto pasal 81 ayat 2 UU 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman penjara 12 tahun penjara.‎
Selain Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Komnas HAM juga menolak keputusan hukuman kebiri bagi pelaku pelecehan seksual. Pertimbangannya, organisasi kesehatan dunia, WHO telah melarang tindakan kebiri yang dilakukan secara kimia. ‎
 
Selain itu, para profesional dokter yang tergabung dalam IDI itu beralasan, bahwa melaksanakan hukuman kebiri dinilai bukan termasuk pelayanan medis, dan tak ada hubungannya dengan tugas dokter atau tenaga medis.
 
 
Sementara itu, dikutip dari berbagai sumber, hukuman kebiri kimia tersebut berarti menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke tubuh. Akibatnya nanti, hormon testosteron akan menurun. Gairah seksual pun menghilang. 
‎Menanggapi hal itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Majalengka, Aris Prayuda mengatakan bukan hanya LPA yang menolak rancangan UU kebiri tersebut. IDI dan Komnas HAM juga tak setuju alias menolak. Menurutnya, berdasarkan hasil diskusi ‎dengan Kak Seto, hukuman kebiri bukan solusi.
“LPA juga menolak, lebih baik direhabilitasi saja. ‎Logika sederhananya, jika nafsu syahwat dibendung dalam kurun waktu tertentu, maka ketika dihidupkan lagi, syaraf syahwatnya yang dikekang itu, akan menyala lebih ganas lagi.” ujarnya, di aula DP3AKB Majalengka, Jumat (6/9).
‎Sebagian  ibu rumah tangga, yang dimintai pendapatnya oleh Macakata.com ‎juga mengutarakan pendapatnya yakni tak setuju. Argumennya lebih pada sisi manusiawi pelaku, yang mempunyai istri sah di rumahnya. Pertimbangan efek lainnya juga perlu dipikirkan. Mengingat jika berurusan dengan persoalan nafsu syahwat, baik wanita ataupun laki-laki punya persentase yang hampir sama. 
 
“Seharusnya, hukuman itu hanya khusus untuk pelakunya saja, sebagai tindakan efek jera dirinya. Kalau kebiri, si pelaku juga punya istri, kasihan kan.” ungkapnya. (IMR)‎

Comment here