KISAH HIDUP

ODHA Ini Berjuang Hidup Lebih Baik, Bersahabat dengan Stigma Negatif

Menengok Pertahanan Hidup Orang dengan HIV Aids di Wilayah Kabupaten Majalengka

MAJALENGKA – MACAKATA.COM – Mereka bukan saja hidup tertekan, karena teman dan tetangga yang memandang hina dan terkadang mencibir.

Setiap kali ada yang bertanya langsung kepada mereka, dengan langsung menjurus konotasi kalimat, “Apakah benar kamu pengidap Odha?” Atau sikap dan perilaku yang mencerminkan mereka jijik bila bertemu dengan penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) Aids (Acquired Immuno Deficiency Syndrom), saat itu pula mental mereka turun. Moodnya hancur. Saat itu pula timbul keinginan untuk mengakhiri hidup.

Inilah yang dialami oleh Harum Manis (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 39 tahun itu berjuang dan bertahan untuk menutupi rahasia terbesar dalam hidupnya. Menjaga supaya dua anaknya itu tidak mengetahui bahwa dirinya, telah hampir lima tahun divonis positif. Dalam tubuhnya ada virus yang bernama HIV.

‎Harum Manis tertib menjaga ‎kesehatannya. Setiap hari, tanpa boleh kurang satu menit pun, ia harus minum obat yang bernama ARV -Rejimen Anti Retroviral. Alarm sore dan pagi, tertanam kuat dalam hati dan memory mereka. Mereka tak akan lupa, karena hidupnya tergantung dari rutinitas minum obat itu.

Harum Manis tentu sadar, bahwa usianya bisa kapan saja berhenti. Sama seperti orang normal pada umumnya. Tetapi bagi dirinya, selalu ada kekhawatiran untuk terus berjuang lebih baik dalam menghadapi hidup, untuk membiayai dua anaknya, yang sudah besar-besar itu, tetap lebih penting dan diutamakan.

Harum Manis tervonis HIV Aids sejak tahun 2015 lalu. Kondisinya waktu itu sedang hamil 8 bulan. Anaknya yang kedua‎. Ada himbauan bahwa setiap ibu hamil, harus diperiksa tes darah. Datanglah dirinya ke salah satu tempat pemeriksaan kesehatan. Hanya beberapa menit setelah diambil sampel darahnya. Petugas yang menangani berbicara serius di ruangan tertutup.

“Waktu itu s‎aya kaget. Tidak terima. Karena mohon maaf, saya bukan PSK ataupun berbuat yang aneh-aneh. Kehidupan saya lurus-lurus saja. Ibu rumah tangga yang patuh pada suami. Tetapi kenapa tiba-tiba saya terkena HIV? Saya menangis selama seminggu.” ungkapnya kepada Macakata.com, dalam suatu obrolan di sebuah kafe. Ia minta identitas dirinya tak disebutkan.

Harum Manis mencoba tegar, namun tetap saja mentalnya terus menerus turun. Untunglah anak dalam kandungannya memotivasi. Dia harus hidup sehat. Tak boleh seperti ibu kandungnya. Dokter bilang si anak tidak akan tertular, caranya jangan disusui menggunakan ASI. Maka setelah lahir, susu formula diberikan kepada anaknya.

Sepekan menangis tertahan, ia pun memberitahu sang suami. Seperti sambaran halilintar, suaminya kaget. Ia tidak menerima apa yang didengarnya langsung dari sang istri. Sejak saat itu, Harum Manis dicuekkan oleh sang suami.

Ada percekcokan rumah tangga adalah hal wajar. Tapi didiamkan dan cuek terus menerus terasa menyiksa. Setelah beberapa bulan, sang suami pun sadar, ia pun diperiksa. Supaya adil, akhirnya dia pun memenuhi anjuran sang istri. Memeriksakan diri, darahnya diambil. Hasilnya positif. Suaminya pun mengidap HIV.

“Kini jelas, saya tertular suami. Untuk yang ini saya tak mau cerita. Intinya virus itu berasal dari suami. Tetapi sudahlah itu mungkin sudah menjadi nasib saya dan suami.” ujarnya.

Ketika mengobrol dengannya, Harum Manis tampak sehat. Sama seperti wanita Energik pada umumnya. Itu terpancar dari sorot matanya. Tidak gugup. Ia mencoba untuk terus berjuang ‎tetap sehat. Demi kedua anaknya.

“Yang pertama sudah besar. Yang kedua masih kecil. Saya terus menjaga rahasia ini.”

Kisah ini bukan cerita super hero yang bertopeng. Ini bukan cerita super girl atau super man, atau wonder women. Harum Manis harus tetap menyembunyikan identitas aslinya ketika berbaur dengan masyarakat. Ini kisah dan cerita hidup seseorang, yang tetap berjuang untuk hidup lebih baik.

Sempat terpikirkan, bahwa dulu ia merasa salah memilih suami atau teman hidup. Tetapi itu pun percuma, karena saat ini sudah terinfeksi. Hidup masih harus terus dijalani.

“Saya hanya ingin, anak-anak saya ‎tumbuh sehat. Berprestasi. Ke depan kelak, menjadi orang yang berguna. Selalu saya arahkan mereka untuk berkegiatan positif. Di depan mereka saya tunjukkan rasa gembira. Itu semua untuk menutupi rahasia besar.” tandasnya.

Kisah Tomat, Odha Lainnya‎

Penderita Odha lainnya di wilayah Kabupaten Majalengka, juga merasakan hal yang sama. Yang satu ini dari kalangan kaum adam. Usianya baru 33 tahun. Saya sebut namanya Tomat (bukan nama sebenarnya) untuk menjaga identitas kerahasiaannya. Selama ini, ia pun berhasil menyembunyikan itu semua dari kedua orangtuanya.

‎Tomat divonis positif HIV pada Agustus 2016 lalu. Ia jelas berontak tidak terima. Ia sempat dirujuk ke sebuah rumah sakit. Ia pun menghindar. Pria kurus ini terus mengurung diri di kamar kosnya. Ia masih tak terima dengan kondisi tubuhnya yang ada virus mematikan itu.

“Empat tahun saya hidup dengan HIV. Setahun pertama, berat badan saya turun drastis menjadi 39 kilogram. Sangat kurus,” ujarnya, kepada macakata.com, sambil memperlihatkan foto dirinya sewaktu punya badan seberat 39 kilogram.

Setahun terpuruk, tiga temannya yang memahami betul dan selalu melindungi identitasnya, mereka membujuknya untuk selalu rutin memeriksa kesehatannya. Setelah menjalani pengobatan, tiga bulan berat badannya kembali normal, jadi 60 kilogram.

“Saya disemangati teman-teman. Alhamdulillah, saya kembali sehat. Meski dalam tubuh saya masih ada virus. Obat yang saya minum hanya mencegah perkembangan virusnya saja.” ujarnya lirih.

Tomat mengaku cukup sulit untuk berhadapan dengan masyarakat. Ia selalu khawatir dan takut, manakala ada orang yang tiba-tiba menudingnya “Odha” atau perkataan lain yang semakna. Atau sikap dan perilaku yang mencoba menghindari dirinya.

“Itu yang selama ini dihindari oleh saya. Bahkan ada sebagian orang di instansi kesehatan, ketika tau saya begini, dia langsung menghindar. Sakit hati saya, kang. Padahal virus ini tidak akan nyebar hanya karena ngobrol atau menyapa,” katanya.

Selama setahun hidup dengan mental yang turun dan hendak bunuh diri itu, Tomat mematikan semua akses komunikasi. Nomor hape diganti. FB dinonaktifkan. Dan semua hal yang ada kaitannya dengan akses komunikasi, dijauhkan dari aktifitasnya.

“Semua saya off. Saya betul betul ingin mati saja waktu itu.” ujarnya.

‎Tomat telah merasakan hati yang selalu tersayat ketika melawan ‎berbagai macam stigma negatif, ia pernah mendengar koleganya mengatakan “Kamu Odha ya!”, saa itu juga ia pun sakit hati. ‎Namun, teman-teman saya selalu mensuport. Selama tiga tahun berjuang, stigma itu tercipta bukan hanya dari orang lain, tapi dari diri sendiri juga ada.

“Terima kasih kepada seorang teman, dia mengatakan begini‎ –Patahkan opini orang lain dengan cara kamu bisa lebih sehat daripada orang lain.- itu benar-benar memotivasi saya. Hasilnya saya sehat, dan saya biasa lagi.” kenangnya.

Selama enam bulan dari Januari hingga Juni 2018 lalu, Tomat hidup di sebuah tempat rehabilitasi di wilayah Sukabumi. Ia mendapatkan pelatihan memasak, tata boga, berlatih bikin kue dan menjahit. Ia pun menerima bekal ilmu tentang kesehatan.

‎”Sekarang aktifitas saya‎, enjoy dengan berbagai kegiatan positif. Saya pun terus memotivasi tiga orang kawan, mereka bertiga saya edukasi. Mereka hidup dengan bergaul bebas, tapi saya sarankan harus lebih sefty, jangan sampai terlalu bebas, harus lebih disiplin lagi. Harus terus menjaga diri.” ujarnya.

Tomat juga merasa bangga. Ia selalu diajak oleh instansi untuk ikut kegiatan di tingkat provinsi. Ia bahkan pernah diajak keliling Kabupaten Majalengka untuk memberikan motivasi kepada kaum Odha lainnya, supaya terus semangat menjalani hidup.

Ditanya tentang keinginan berumah tangga, Tomat mengakuinya. Namun ia pun tahu diri. Ia harus menyiapkan mental untuk memberitahu calon pasangannya, sekaligus mau menerima kondisinya.

“Pacar? Gak ada, Kang. Kalau menikah jelas ingin. Tetapi itu kan sulit, karena saya harus menyiapkan dulu. Mental saya dan mental calon pasangan saya. Apakah dia mau menerima saya?” ungkapnya retoris.

Sementara itu, berdasarkan data yang ada di Dinas Kesehatan Majalengka, selalu menjadi narasumber workhsop pelatihan tentang HIV Aids, Dede Pranoto mengatakan kasus HIV Aids sejak 2012 sampai 2018 di Kota Angin terus meningkat. Dari 18 kasus meningkat menjadi 352 kasus, 14 persen diantaranya ODHA, sementara kematian Odha karena TB sebanyak 66 persen.

“Mereka sedang berjuang, bertahan untuk hidup lebih baik. Hentikan stigma negatif untuk mereka. Mereka tidak berbahaya,” ungkapnya. ( MC-02 )

Comment here